Di luar, hujan turun sangat deras. Genangan air tampak di mana-mana. Banyak orang yang mengeluh, karena sedari tadi hujan belum juga reda. Padahal hujan turun dari jam sebelas siang, hingga sekarang sudah jam empat sore. Lama sekali, bukan? Apakah langit sangat bersedih? Sehingga ia menumpahkan air yang begitu banyak. Milka sungguh tak habis pikir.
Ia berdiri di balik jendela rumahnya. Menatap hujan yang terus menetes. Dari tadi, Milka terus mendumel tidak jelas karena ia tidak boleh keluar rumah.
Milka menoleh ke kanan dan kirinya, melihat apakah ada seseorang di sampingnya. Ternyata tidak ada. Fiuh, Milka bernafas lega. Ia segera mengambil payung yang berada di dekat jendela tempat ia berdiri.
Dengan langkah mengendap-endap, Milka berusaha untuk sampai di pintu rumahnya. Ia terus mengawasi seluruh sudut ruangan. Ia benar-benar seperti maling sekarang.
Cklek!
Akhirnya, pintu bisa terbuka. Tetapi, saat itu juga Milka menghentikan langkah karena ada sebuah tangan halus yang menyentuh pundaknya. Milka memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat menghadap orang tersebut.
"Eh, Mama," ucap Milka dengan nyengir. Jemari tangannya membentuk huruf V sebagai tanda permintaan maaf.
"Mau kemana, sih, kamu? Sudah dibilangin jangan keluar, masih aja ngeyel," ucap Monika --mama Milka-- dengan heran.
"Ng ... itu, Ma. Milka mau beli permen kapas," ucap lirih pada kalimat yang kedua dan ia menunduk.
Monika menggeleng seraya tersenyum tipis. Ia heran mengapa anak semata wayangnya ini suka sekali dengan permen kapas. "Boleh-boleh aja kamu beli permen kapas, tapi nggak sekarang, Milka. Tunggu hujannya reda," ujar Monika dengan mengacak rambut Milka.
"Milka udah gak tahan, Ma. Dari tadi pagi, Milka belum makan permen kapas sama sekali. Rasanya, dalam mulut Milka ada yang kurang, Ma," rengek Milka dengan ekspresi meminta belas kasihan. Supaya ia diizinkan untuk keluar, walau keadaanya sedang hujan.
Monika jadi tidak tega melihatnya. Milka selalu tau, senjata apa yang mampu membuat mamanya meluluh. "Iya, kamu boleh keluar. Tapi, jangan lupa pakai jas hujan, terus pakai payung juga. Mama gak mau kamu main hujan-hujanan, nanti kamu bisa sakit."
"Iya, Mama. Milka ngerti. Makasih Mamaku sayang," ucap Milka sembari memeluk Monika penuh dengan ketulusan.
Setelah itu, Milka benar-benar menerjang hujan dan segera membeli permen kapas sebanyak mungkin.
Tiada hidup tanpa permen kapas. Itu istilahnya sebuah prinsip yang selalu menjadi andalan Milka.
Dan orang-orang terdekatnya mengetahui itu.
🐥🐤🐥🐤🐥🐤🐥
A/N:
Ada yang suka permen kapas?
Ada? Ada?
Ada aja lah, yaa😜Mungkin, kalian biasa nyebut permen kapas itu gulali, ya? Tapi, permen kapas sama gulali sama aja, kan? Tapi, gak tau kenapa, gue pengin aja nyebutnya permen kapas, gitu.
HO
How? Adakah yang tertarik dengan cerita ini?
Ini masih –sejenis– prolog, ya. Jadi, pendek aja. Tapi, kemungkinan besar, untuk chapter selanjutnya juga pendek-pendek. Biar lebih santai aja. Dan, konflik-konflik ke depan, juga sama ringan. Biar gak terlalu mikir/gue kan orangnya males mikir/wkwk/Oke. Ikutin terus Milka dan permen kapasnya, yaa! 😂 /semoga ada yang baca deh/wkwk/
Satu lagi, jangan lupa vote dan komen. Thanks❤
Kebanyakan bacot
👄Sincerely
iyiinn💃
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Published; 18 November 2017
n e x t t i d a k?
KAMU SEDANG MEMBACA
A N T I D O T E
Teen FictionMilka baru saja menyadari. Ternyata, ada yang lebih manis dari permen kapas yang biasa ia beli setiap hari. Milka paham betul, resiko apa saat ia terus-terusan mengonsumsi permen berasa manis itu setiap hari. Pasti suatu saat ia akan sakit gigi. Dan...