2.5 - Botol Air

85 5 0
                                    

Setelah seperempat perjalanan, Milka sempat menelpon Monika. Sebatas memberitahu bahwa ia sedang lari pagi di sekitar alun-alun. Beruntung sekali Milka, sebab Monika memberi izin dengan mudah.

Dua remaja ini, berlari dengan pelan mengelilingi alun-alun. Topi yang melekat di kepala mereka sama persis, karena Dariel memang sengaja membeli topi couple. Bermaksud agar memiliki barang yang sama dengan Milka.

Semakin lama, lari Milka semakin pelan. Lebih cocok dikatakan Milka sedang berjalan, bukan lari. Dariel berhenti, menatap Milka yang berjarak cukup jauh. Kemudian, ia pun kembali menghampiri Milka yang tengah duduk di tengah jalan. Terlihat seperti gelandangan, tetapi lebih cantik.

"Kenapa duduk di situ? Itu kotor," ucap Dariel. Ia mengulurkan tangan kepada Milka, membantunya untuk berdiri. Dengan malas-malasan, Milka pun terpaksa kembali berdiri.

"Gue capek tau, Riel. Biasanya gue lari gak sejauh ini," balas Milka dengan mengerucutkan bibir. Menatap melas ke arah Dariel yang terlihat tidak kelelahan sama sekali.

"Udah nggak kuat lari lagi?" tanya Dariel menatap lekat-lekat wajah Milka. "Mau gue gendong?" sambung Dariel dengan cepat. Dia membuat Milka mengangkat satu alisnya, menatap ragu kepada Dariel.

"Yakin? Waktu itu lo bilang badan gue lebar," balas Milka dengan mengalihkan pandangan ke awan-awan putih di atas sana. Seolah menyindir Dariel, mengingatkan dengan kata-kata kasar yang pernah meluncur bebas dari bibirnya.

Dariel terkekeh pelan. "Waktu itu lo nggak terima dibilang badan lebar. Sekarang secara gak langsung, lo minta gue bilang badan lo lebar, Mil."

"Eh, gak gitu Riel. Kan gue takut lo kecapekan gegara gendong gue," elak Milka dengan halus. Terlihat bingung dengan perkataannya sendiri.

"Perhatian banget, sih. Kalo gue kecapekan, gue bisa minta dipijitin sama lo, kan?"

"Lah, dikira gue tukang pijit apa?" balas Milka dengan tawa pelan.

"Gue serius, Mil. Gue rela gendong badan lo yang lebar," ujar Dariel sembari jarinya membentuk huruf V. Setelahnya, dia nyengir lebar ke arah Milka.

Milka hanya memukul lengan Dariel pelan. Ia dengan hati-hati, naik ke punggung Dariel. Dengan seperti ini, Milka jadi teringat kepada ayahnya. Dahulu, ia sering kali digendong seperti ini oleh ayahnya. Hal itu sudah cukup lama, dan Milka menjadi kangen dengan setiap peristiwa bersama ayah.

Meninggalkan tempat yang baru saja terpijak, Dariel tetap berlari pelan seraya menggendong Milka. Ia sedikit bingung, mengapa Milka menjadi diam tak bersuara? Padahal, sebelumnya ia terdengar berisik dengan suara sedikit cemprengnya.

Namun, Dariel masih tak ingin bertanya. Ia tetap membiarkan Milka dalam pemikirannya sendiri. Dariel berlari seraya mencari tempat yang cocok untuk beristirahat.

Saat Dariel melihat keberadaan Daniel di taman ini, dia tersenyum miring. Ia pun sengaja memilih jalan yang berpapasan dengan Daniel. Saat bertatap muka, Dariel tersenyum lebar kepadanya. Sedangkan Daniel, tak banyak memberi balasan terhadap ekspresi Dariel. Lelaki itu hanya terfokus pada Milka yang juga sedang menatapnya.

Dalam hati, Dariel berteriak dengan keras. Melihat Daniel yang terperangah, sebab Milka berada dalam gendongannya. Mungkin, Daniel masih mencoba mencerna kejadian ini.

"Riel, itu Daniel, kan?" tanya Milka setelah keberadaannya cukup jauh dari posisi Daniel tadi. Milka sempat menoleh ke arah Daniel lagi, tetapi ia hanya bisa melihat punggung Daniel saja.

"Iya, kenapa?"

"Gak pa-pa ... Riel, turunin gue! Gak enak diliatin orang-orang," ucap Milka terdengar memohon.

Dariel pun memberhentikan langkah kakinya, ia menurut dengan perkataan Milka. Ia mengedarkan pandangan pada orang-orang di sekelilingnya. Ternyata memang benar, banyak orang yang tengah fokus pada keberadaan mereka berdua.

"Orang-orang kalo liat orang ganteng emang suka serem, Mil. Kayak mau nerkam," kata Dariel.

"Emang lo ganteng?"

"Ya, ganteng lah. Masa gue cantik?" tanya Dariel terkekeh. Setelah menghela nafas, dia kembali berucap, "Yang cantik itu lo, Mil."

Milka merespon dengan ekspresi tidak paham. Seolah ia yang dengar itu tidak jelas tertangkap pada pendengarannya.

"Lo ngomong apa, Riel?"

"Nggak ada siaran ulang," balas Dariel dengan menjulurkan lidahnya. Kemudian, ia segera berlari meninggalkan Milka.

"Dariel bilang gue cantik?" tanya Milka pada dirinya sendiri. Setelah terjeda beberapa saat, ia kembali mengeluarkan suara. "Ternyata Dariel baru sadar kalo gue emang cantik," ucap Milka dengan terkekeh pelan.

"Dariel! Tungguin gue ...." seru Milka dengan lantang. Ia pun segera menyusul Dariel yang jauh di depan.

Jika Dariel tak berhenti, Milka bisa dipastikan sudah kehilangan jejak Dariel. Dengan nafas yang terengah-engah, Milka ikut menselonjorkan kakinya di samping Dariel.

"Gue beli minum dulu, ya." Dariel bangkit dari duduknya setelah Milka mengangguk setuju.

Sembari menunggu kedatangan Dariel, Milka menjadikan topinya sebagai kipas. Dia merasa sangat gerah, keringatnya memenuhi jidat.

Ada seseorang yang lewat di hadapan Milka, tanpa Milka ingin melihat seperti apa wajahnya. Tetapi, setelah orang itu memberikan beberapa uang koin, Milka langsung mendongak untuk menatap orang itu. Tetapi, sudah terlambat. Orang itu sudah berlalu cukup jauh.

"Lah, gue dikira pengemis."

Setelah itu, Milka mengambil ponsel di saku celananya. Ia membuka aplikasi kamera, awalnya ia ingin berkaca. Apakah wajahnya terlihat menyedihkan? Sehingga harus dilempar koin oleh orang tadi.

Namun, tak sesuai rencana. Milka justru keblabasan. Ia sekarang malah berselfie ria. Milka menoleh ke samping, setelah di layar juga tampak wajah Dariel.

"Nih, minum," ujar Dariel memberikan botol kaca itu.

Milka membaca tulisan pada botol tersebut. Milka, itu tulisan yang terlihat cukup besar. Di bawah tulisan nama, ada beberapa deret kata yang mampu membuat bibirnya tertarik ke atas. Gadis penyuka permen kapas.

"Kok bisa dapet beginian, Riel? Gue suka banget," ucap Milka dengan jujur.

"Bagus deh, kalo lo suka. Disimpen baik-baik, ya!"

"Pasti lah. Gue bakal pake setiap hari," balas Milka dengan semangat.

Dariel pun mengacak rambut Milka dengan gemas. Milka hanya tersipu dalam diam. Mereka bagaikan dua remaja yang dilanda asmara.











🐥🐤🐥🐤🐥🐤🐥🐤🐥

A N T I D O T ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang