Chapter Twenty

88 11 72
                                    

Pagi yang cerah…

“Ya ampun Chiru-Chan! Potongannya terlalu tebal!”

“Aku sudah berusaha menipiskannya, Sora-Chan! Tapi pisaunya tidak tajam, jadi aku kesulitan!”

“Sepertinya pisau yang itu sudah sangat tajam, Senpai.”

“Sudah kuduga Nishinoya Senpai hanya beralasan.”

“Hei!”

Taiga mendengus, dia menengok ke dapur dan berkata, “Kalian itu memasak atau debat politik, sih? Kalau memasak yang bekerja tangan, bukan mulut.” “Mulut juga bekerja untuk mencicipi makanan, kakakku,” balas Miyuki. Dia langsung bersembunyi dibalik punggung Sora saat Taiga memelototinya. “Sudah sana pergi, atau kau mau membantu disini?” tanya Sora. Belum sempat Taiga menjawab, Yasui menyahut dari ruang tengah, “Kau menyuruh Kyomoto-Kun memasak sama saja bunuh diri, Sora-Chan. Dia bahkan tidak lebih baik daripada Nishinoya.”

Suara tawa terdengar di rumah itu. Taiga mendengus kesal, dia melangkah meninggalkan dapur sambil menggerutu tidak jelas. “Sebentar lagi aku akan mengecek keadaan Yasui-San,” ucap Chika sambil mengiris kentang, “Miyuki-Chan, kau mau membantuku menyiapkan obat-obatan, kan?” Miyuki mengangguk semangat, dia tersenyum dan menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring. Chiru menghela napas, dia menatap kearah luar dapur dan berkata, “Sudah lama aku tidak merasakan kedamaian. Kai-Chan?” “Kau benar,” ucap Kai, “ini pertama kalinya kita berkumpul lagi sejak hari itu. Yah, walaupun masih ada yang kurang.”

“Haru-Chan, hm?” sahut Chiru, “aku merindukannya. Seperti apa, ya, dia sekarang?”

Brak!

Para gadis berjengit, mereka menengok kearah ruang tengah. Sora seketika sweatdrop melihat Taiga dan Hokuto saling menjambak, sementara Yasui bukannya memisahkan malah merekam pertengkaran mereka. Hagiya hanya duduk, dia kelihatan ingin memisahkan mereka tapi karena kondisi tubuhnya masih lemah jadi dia hanya mengamati. Jinguji, Myuto, dan Shoki juga terlihat tidak ada tanda-tanda ingin memisahkan mereka. Sora berdecak, dia berjalan kearah mereka dan menjitak kepala Yasui. “Ya ampun, kenapa kau malah membiarkan mereka berkelahi, sih?” sahut Sora, dia bergegas memisahkan Taiga dan Hokuto. “Kalian, jangan bertengkar lagi,” ucapnya, “ayolah, kenapa, sih kalian senang sekali bertengkar?”

“Sebenarnya yang bisa memisahkan mereka hanya Miyazaki,” ucap Shoki, “jadi kalau tidak ada Miyazaki, ya sudah biarkan saja mereka bertengkar sampai mati.” “Kalau mereka mati, sepertinya Haru-Chan tidak akan pernah mengerti kalau dia sudah salah memihak Chinen,” sambung Jinguji, “dan dia akan mati dalam keadaan seperti itu.”

Sora menatap Taiga dan Hokuto yang terdiam. Sepertinya ucapan Jinguji menohok mereka, dan sukses menghentikan pertengkaran. “Sudahlah,” ucap Sora, “ayo bersiap. Sarapan akan siap sebentar lagi. Yasui-San, tolong kau bantu ibuku bersiap untuk sarapan, ya.” Sora menghela napas, dia kembali melangkah menuju dapur. “Waw, tidak kusangka Jinguji-Kun bisa mengucapkan hal seperti itu,” ucap Chiru. Chika tertawa, dia berkata, “Kami para Haguro sudah sangat terbiasa dengan lidahnya itu. Tapi dibalik itu, dia sangat mempedulikan yang lain.”

“Ngomong-ngomong,” Miyuki menatap kearah lantai dua rumah Sora, “sepertinya sejak tadi aku tidak melihat Sanada Senpai.”
*
Sanada membuka mata, dia menghela napas dan membelai rambut Kaede. Sampai sekarang Kaede belum juga sadar. “Kumohon buka matamu, Yasui-San,” ucap Sanada pelan, “kau harus bertahan. Lakukan ini untuk kakakmu. Hanya kau satu-satunya keluarganya yang tersisa.” Sanada menghela napas lagi. “Setidaknya lakukan demi dia kalau kau tidak bisa melakukannya untukku,” ucap Sanada pelan. Sanada menggenggam erat tangan Kaede, dia bersandar di kursi. Sanada membenci Kaede yang tidak juga membuka matanya. Dia benci Kaede yang terlihat lemah seperti ini. Sanada ingin melihat Kaede yang bersemangat dan selalu mengucapkan kalimat-kalimat menusuk.

Monster √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang