Chapter Twenty-three

96 10 142
                                    

“Yanase. Yanase-San.”

Kai membuka mata, dia mendongak dan langsung berdiri melihat Jinguji berdiri di dekatnya. “Astaga syukurlah kau baik-baik saja,” Kai langsung memeluk erat Jinguji, dia sangat lega melihat Jinguji baik-baik saja. Jinguji tersenyum kecil, dia melepaskan pelukan Kai dan berkata, “Aku juga senang kau baik-baik saja. Ayo kita pulang, hari sudah semakin gelap.”

Kai mengangguk, dia berjalan bersama Jinguji. Kai perlahan berhenti, dia menoleh kearah pemakaman. “Jinguji-Kun, apa kau…” “Aku tidak punya pilihan lain,” sela Jinguji, “Inoo Senpai… ah sudahlah, sebaiknya kita pulang. Jangan bercerita soal kejadian tadi kepada yang lain. Aku tidak mau mereka khawatir.” Jinguji tersenyum, dia menggandeng tangan Kai dan melangkah menjauhi pemakaman. Kai menunduk menatap tangan Jinguji yang menggenggam erat tangannya, dia tersenyum kecil dan kembali berjalan bersama pemuda itu.

Ryosuke muncul dari balik pohon, dia memperhatikan Jinguji dan Kai yang berjalan menjauh. Ryosuke menghela napasnya, dia berjalan pelan menuju pemakaman. Dia berhenti di area bekas pertarungan dua Haguro itu, matanya mengawasi keadaan sekitar dengan serius. Ryosuke tidak suka ini. Dia tidak menyukai keadaan yang seperti ini. Ryosuke menoleh, dia memperhatikan sebuah bola hitam yang tergeletak di tanah. Perlahan Ryosuke mengambil bola hitam itu, dia mengamatinya dan kembali menghela napas.

“Apa kau senang?”

Ryosuke menoleh kaget, dia segera menatap waspada Haru yang berjalan mendekatinya. Kejadian waktu itu membuat Ryosuke sedikit ngeri menghadapi gadis ini. Dia hampir saja mati kalau saja Yuto tidak berusaha menjatuhkannya. “Kau senang dengan semua ini? Kau mendapatkan apa yang kau inginkan?” tanya Haru, “sepertinya tidak, hm?” Haru menghela napas. “Kau diusir karena menyelamatkan Chinen dari amukan golongan darah murni,” ucap Haru, Ryosuke menatapnya dengan mata terbelalak, “kau tahu Chinen salah karena dia berusaha menghabisi mereka, tapi kau tetap mendukungnya.”

“Mereka pantas mendapatkannya,” ucap Ryosuke, “kalau saja mereka tidak mengusir Chinen, semua ini tidak akan terjadi.”

“Tapi kau tidak menginginkan semua ini,” sahut Haru, “kau hanya ingin Chinen mendapat tempat diantara mereka, kenapa kau malah mengikuti keinginannya? Kau darah murni, setidaknya lakukan sesuatu agar dia bisa diterima.”

Ryosuke terdiam. Perkataan Haru ada benarnya. Dia seharusnya bisa melakukan sesuatu, paling tidak membujuk yang lain agar mau menerima Chinen. Haru menghela napas, dia mengulurkan tangannya. “Berikan bola hitam itu kepadaku, aku akan menjaganya,” ucap Haru.

Ryosuke menatap Haru. “Cepatlah, waktuku tidak banyak,” ucap Haru, “berikan saja bola itu. Apa kau berpikir aku akan menghancurkannya?”

Ryosuke menatap bola hitam di tangannya, dia menghela napas dan melemparkannya kearah Haru. “Dengarkan aku, Miyazaki,” ucap Ryosuke, “kau tidak mengerti kenapa Chinen memilih menghabisi semua darah murni. Orangtua dan kakaknya tewas dibunuh darah murni, jadi kuharap setelah ini kau bisa memahami perasaannya.” Ryosuke menatap Haru yang terdiam, dia meneruskan, “Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkannya. Hanya aku yang dia miliki sekarang. Hanya aku yang menerimanya.”

“Karena hanya kau yang menerimanya, maka kuharap kau bisa membuatnya mengerti kalau membunuh semua orang di dunia tidak akan menghidupkan keluarganya,” ucap Haru, “lagipula, tidak semua darah murni menolaknya. Aku juga masih berusaha mencari tahu golongan mana yang sangat menolak berhubungan dengan darah campuran.” Haru melangkah santai meninggalkan Ryosuke. Ryosuke terdiam menatap Haru, dia mendengus dan melesat pergi.

Haru berhenti di persimpangan jalan, dia merogoh sakunya dan memandang bola hitam itu. “Baka,” ucap Haru, dia menghela napas dan kembali mengantongi bola hitam itu lalu berjalan pulang ke rumah Sora.
*
Chika tersentak bangun, dia duduk dan berusaha menormalkan detak jantungnya yang tidak karuan. Chika menghela napas panjang, dia menyeka keringat di dahinya dan kembali berbaring. Mimpi itu kembali datang. Bukan mimpi, mungkin lebih pas disebut ingatan masalalunya. Ingatan di hari dia diserang dua monster itu sering menghantuinya. Dan yang paling menghantuinya adalah saat dimana seseorang itu datang menolongnya.

Monster √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang