Chapter Five

106 13 10
                                    

Kaede menghela napas, dia bingung harus memilih bunga yang mana. Ada banyak bunga yang bagus disini, walaupun tidak sebagus di toko bunga langganannya. Tapi, sekarang toko bunga langganannya sedang direnovasi setelah terkena serangan monster dua hari lalu. Kaede mengambil setangkai bunga mawar, dia lalu meletakkannya kembali. “Aku harus membeli bunga apa?” erangnya, “dasar Nii-San, kenapa dia tidak membeli bunga sendiri saja?” Kaede diam sejenak, detik berikutnya dia tersadar. “Ooooh, aku tahu,” gumamnya, “dia pasti sengaja menyuruhku membeli bunga karena ingin berduaan dengan Hideyoshi Senpai. Ck, awas saja dia. Akan kubalas nanti.”

“Kau niat membeli bunga atau menggerutu soal kakakmu?”

Kaede terkejut, dia menoleh dan menatap kaget Sanada yang entah sejak kapan berdiri di dekatnya. Sanada menatapnya tenang, dia mengambil seikat bunga krisan berwarna putih dan menyerahkannya kepada Kaede yang memberi tatapan permusuhan kepadanya. “Untuk orang sakit, biasanya dibawakan bunga ini,” ucap Sanada, “atau bawakan saja bunga kesukaan si pasien.”

“Tidak usah mengajariku!” sentak Kaede, “gara-gara bangsamu, toko bunga langgananku direnovasi! Dasar makhluk barbar!”

Sanada diam saja, dia melangkah pergi meninggalkan Kaede. Kaede berdecih, dia melangkah masuk menuju kasir untuk membayar bunga pilihannya. Kaede menoleh, dia diam menatap Sanada yang menjauh. Ada sebersit perasaan bersalah di dirinya membentak Sanada seperti itu. Apalagi Sanada, kan, kakak kelasnya. Bagaimana kalau nanti dia dendam dan menyerang Kaede saat dia lengah?

Sanada berhenti melangkah, dia menoleh kearah toko bunga yang tadi. “Dia itu anak perempuan, tapi suaranya keras seperti anak laki-laki,” gumam Sanada, “jangan-jangan di lehernya ada toa, makanya suaranya sekeras itu.” Sanada berjalan sambil bersiul, dia berniat menjenguk Chiru. Menurut Shoki, Chiru sudah diperbolehkan pulang. Tentu saja, Chiru tidak terluka parah seperti Sora, dia hanya shock. Mungkin akan lebih shock lagi kalau dia tahu keadaan sahabatnya itu.

Hm?

Sanada berhenti, dia berbalik dan mengerutkan dahi menatap seseorang yang berjalan melewatinya barusan. Cukup lama Sanada diam, dia fokus memperhatikan orang berjaket hitam itu. ‘Kenapa aku merasa aneh dengan orang itu?’ batin Sanada, ‘auranya… gelap sekali.’ Sanada perlahan kembali melangkah, dia beberapa kali menoleh sebelum akhirnya memilih mengabaikan orang itu.
*
Kai berjalan pelan di koridor sekolah. Suasana sekolah sepi, hanya ada sebagian murid saja di sekolah. Karena serangan misterius beberapa hari lalu, sekolah mengalami kerusakan yang cukup parah. Sebagian kelas, terutama kelas para senior berganti jadwal menjadi siang hari, sementara pagi hari dipakai untuk murid tahun pertama dan sebagian murid tahun kedua. Haru dan Kaede tidak datang, Miyuki juga tidak terlihat sejak tadi. Kai mendengar rumah Haru hancur karena serangan di kota dua hari lalu, dia ingin menjenguk Haru tapi tidak pernah terlaksana. Kai masih takut menemui Haru, apalagi beberapa hari lalu dia membuat Haru marah.

“Yanase-San.”

Kai menoleh, dia berhenti menatap Jinguji yang berjalan kearahnya bersama Kishi. Kai memberi salam, dia gugup menatap Jinguji. “Terimakasih sudah membawa Chika pulang ke rumah,” ucap Jinguji, “aku berhutang kepadamu.” “Kalau saja kau tidak lewat sana, mungkin kami tidak tahu kalau Chika diserang,” sambung Kishi, “terimakasih.”

Kai mengangguk, jujur saja dia gugup. Ini pertama kalinya Jinguji mengajaknya bicara, biasanya dia hanya menatap Kai sinis. “Bisakah kau menjelaskan apa yang terjadi?” tanya Jinguji.

“Aku mendengar suara-suara di lorong, kupikir ada yang butuh bantuan jadi aku kesana,” Kai menjawab, “saat aku sampai, aku menemukan Konno-San sudah tergeletak di sisi lorong.” Kai menatap Jinguji dan Kishi, dia bertanya, “Sebenarnya ada apa ini? Belakangan ini sering sekali ada serangan seperti ini.”

Monster √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang