Chapter Twenty-nine

92 12 159
                                    

Kai berjalan menuju halaman, dia berhenti menatap Jinguji yang duduk membelakanginya. Kau menghela napas, dia melangkah dan duduk di sebelah Jinguji. Kai menghela napas lagi, sudah dua hari Jinguji bersikap seperti ini. Dia menjadi pendiam, dan sering menyendiri. Kai ingat ucapan Hagiya, yang mengatakan Jinguji bertemu dengan seseorang bernama Iwahashi Genki. Entah apa hubungan mereka berdua, yang jelas sepertinya Jinguji sangat terkejut melihat Genki itu berdiri di pihak Chinen. “Jinguji-Kun, kau baik-baik saja?” tanya Kai.

Jinguji menoleh sebentar, dia mengangguk pelan dan kembali membuang pandangan kearah jajaran tanaman milikSora. “Kalau kau diam terus, bagaimana aku bisa tahu apa masalahmu?” tanya Kai, “aku bukan peramal yang bisa membaca pikiran.”

“Aku baik-baik saja, Kai,” jawab Jinguji.

Kai mendengus kesal, dia beranjak dan langsung meninggalkan Jinguji begitu saja. Sampai sekarang Jinguji masih saja tidak terlalu terbuka dengannya. Sudahlah, percuma menanyainya, toh Jinguji tidak akan mau menjawab. Kai berjalan menuju ruang tengah, dia duduk di sofa. Kai menoleh menatap Jinguji yang masih duduk di kursi halaman rumah. Sebenarnya Kai tidak tega meninggalkan Jinguji, tapi dia masih kesal dengan pemuda itu. Apa sulitnya bercerita sedikit saja?

Jinguji menghela napas, dia memejamkan matanya. Sampai detik ini Jinguji masih tidak mengerti dengan situasi yang dihadapinya dua hari lalu. Genki, apa yang dia pikirkan? Apa dia sudah gila memilih bergabung dengan Chinen? Jinguji bersandar di kursi, kepalanya mendongak menatap langit yang mendung. ‘Kishi-Kun, apa kau melihatnya?’ batin Jinguji, ‘semua hal menjadi tidak terkendali. Aku tidak bisa mengatasinya, bisakah kau kembali dan membantuku?’ Jinguji memejamkan matanya yang terasa panas, dia tidak bisa menangis sekarang. Tidak ada solusi yang muncul dengan menangis. Tidak ada yang akan terjadi sekalipun dia menangis darah, kecuali dia melakukan sesuatu.

Tapi apa? Apa yang harus dia lakukan?

“Jinguji-Kun~”

Jinguji membuka mata, dia beranjak dan terkejut melihat seorang anak melambaikan tangannya sambil tertawa dari kejauhan. Jinguji beranjak, dengan cepat dia mengejar anak itu. “Oi! Tunggu!” Jinguji berteriak, dia terus mengejar anak yang berlari sambil terkekeh itu. Suara tawa itu sangat familiar di telinganya. Tawa itu sangat akrab di memorinya. Jinguji terus berlari, dia berhenti menyadari dirinya sampai di depan kuil Haguro. Jinguji menatap sekeliling, dia mencari anak kecil itu namun tak ada siapapun disana. Jinguji menghela napas, dia kembali menatap kuil yang tampak kotor dan tidak terawat itu. Segel terpasang di gerbang kuil, halaman depan tampak kotor seperti tidak ada lagi yang menghuni tempat itu.

“Jinguji. Yuta.”

Jinguji menoleh, darahnya seketika berdesir melihat Genki berjalan kearahnya. Genki mengenakan kimono berwarna putih dengan bawahan hitam, pakaian khas Haguro. “Aku benar-benar tidak mengerti kenapa orang sepertimu diangkat menjadi pemimpin Haguro,” ucap Genki, “tidak ada seorang pemimpin dimanapun yang meninggalkan kelompoknya sepertimu.” Genki melesat mendekat, dia langsung meninju perut Jinguji dan berucap, “Kau lemah, Jinguji.”

“Akh!” Jinguji meringis menahan sakit, dia berdiri dan langsung menghindari serangan Genki. “Iwahashi-Kun, bangunlah!” teriak Jinguji, dia juga melancarkan serangan balasan untuk melindungi dirinya, “kau memihak orang yang salah! Kau tidak punya masalah dengan kami, kenapa kau malah memusuhi kami!”

“Aku hanya membencimu, Jinguji!” Genki membalas, dia melayangkan pukulannya namun Jinguji menangkisnya. Jinguji tertegun, dia menatap heran Genki yang menatapnya penuh kebencian. “Aku hanya membencimu,” desis Genki, “hanya dirimu!” Genki berteriak, dia kembali menyerang Jinguji. Jinguji kembali menghindar, dia tidak bisa mengeluarkan semua tenaganya menyerang Genki. Dia tidak mau sampai lepas kendali melawan pemuda itu.
*
“Jadi… begitu,” Shori menghela napas, “yah, kalau begitu kita tidak bisa mengubah keputusan Jinguji-Kun.” “Tidak ada satu orangpun di dunia yang akan sanggup melawan keluarganya sendiri, kan?” sahut Taiga, “sama sepertiku, yang tidak sanggup begitu saja melawan ayahku sekalipun aku tidak sejalan dengan idealismenya.”

Monster √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang