BAB XIV.

94 23 3
                                    

Adel berlari memasuki ruangan Abangnya dengan tangisannya. Arel yang melihat Adel menangis lantas berdiri dan menghampiri Adel. "Lo kenapa, Dek?" Adel tidak menjawab tetapi langsung memeluk abangnya.

"Dek, lo kenapa sih?"

"B..Bang..Ren..Reno.." ucap Adel terbata disertai isakannya.

Arel yang mendengar nama Reno seketika mematung. Apa Adel sudah tau apa yang terjadi pada Reno? Tapi, siapa yang memberitaunya? Apa Reno sendiri? Tapi, tidak mungkin. Bukankah Reno bilang pada Arel ia tak ingin Adel tau?

"Ha? Reno kenapa, Del?" tanya Arel berpura-pura tidak tau. Adel menghapuskan air matanya kasar. Tidak, ia tidak boleh memberitaukan Arel sekarang. Ia tau jika Arel mengetahui penyakit Reno. Tapi ia akan berpura-pura belum mengetahuinya. Ia harus membuktikan dulu.

"Gapapa, Bang. Gue kangen sama Reno,hehe" Adel nyengir kikuk.

Adel melihat Arel menghembuskan napas lega. Ia yakin, pasti Arel sudah mengetahui tentang Reno. "Terus, kalau kangen Reno ngapain kesini?" tanya Arel. "Ya..mm..gue butuh pelampiasan."

Dan akhirnya, Arel berjalan ke kantin dengan muka lesu. Adel memintanya membelikan makanan. Padahal, Adel kembali menangis di dalam ruangan Abangnya itu.

•••••

Oh,jadi lelaki itu yang membuatmu menolak ku Adel? Okay, lets play the game! batin seseorang yang berdiri di koridor dengan wajah yang ditutupi masker.

Lalu ia berjalan keluar dari area rumah sakit.

•••••

Adel pulang dengan keadaan yang terbilang tak wajar. Rambutnya berantakan, matanya sembab, hidungnya merah, jalannya lemah, mukanya lesu. Ia merasa bersalah saat melihat raut kecewa Leon saat ia menolaknya. Ia kaget melihat Reno memasuki ruangan kemoterapi. 

Adel tidak bisa untuk tidak peduli. Akhir-akhir ini Adel terlihat uring-uringan. Arel yang melihat Adel seperti itu hanya bisa menatap tanpa bisa membantu. Karena ini masalah Adel, dan ia tak berhak untuk ikut campur. Ia hanya sesekali menasehati Adel. "Dek, lo kangen Reno kan? Lebih baik lo samperin deh kerumahnya. Dari pada lo uring-uringan gini kaya orang gila. Hilangkan tuh gengsi!" saran Arel.

Adel berfikir sebentar, jika ia mendatangi rumah Reno, ia bisa bertanya kenapa Reno selalu kerumah sakit dan berakhir di ruang kemoterapi. Tapi kan gengsi, gaezz. Ketauan dong kalau masih sayang. Okey! Kali ini dengarkan hati, Adel batin Adel

Adel berdiri dari duduknya dengan semangat sampai membuat Arel terlonjak kaget. Adel berlari menaiki tangga lalu memasuki kamar. Tak lama, Adel berlari lagi menuruni tangga setelah memakai hoodie nya. Arel menggeleng melihat kelakuan Adel yang seperti dikejar setan. "Hati-hati, Dek! Jangan ngebut-ngebut!" teriak Arel. Lalu terdengar sahutan "IYA" dan suara pintu ditutup keras.

•••••

Reno duduk di teras rumahnya sambil memandang wallpaper handphone nya yang berisikan foto seorang perempuan yang menggunakan gaun hitam dibawah lutut. Adel. Perempuan itu adalah Adel. Ia mengucek matanya saat menatap kedepan dimana Adel berdiri. Apa ia sedang bermimpi? Lalu ia mencubit lengannya. Sakit. Tidak mungkin. Tidak mungkin Adel disini. Lalu perempuan itu berjalan mendekati Reno. Reno berdiri dan seketika mematung saat Adel memeluknya lalu menangis.
"Adel,lo..lo kok bisa ada disini? Terus, kenapa lo nangis?" tanya Reno lalu membalas pelukan Adel.

"Gue kangen sama lo. Gue masih sayang sama lo,Ren." eeanjir,kok kelepasan sih batin Adel lalu melepaskan pelukannya.

Reno yang mendengar itu sangat terkejut. Ia tak menyangka jika Adel masih menyayanginya dengan semua perlakuan yang dulu ia lakukan pada Adel. Lalu ia tersenyum dan memeluk Adel kembali.

"Adel, will u be mine?"

••••

Adel terima g ya?..

-uh akhirnya un selesai..

Salam,
Reno ganteng.

Patience (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang