Writer's POV
"Rumah Sakit Hanyang? Ini kan rumah sakit yang akan kita datangi?'
Yoonri membaca brosur itu dengan seluruh rasa antusiasnya. Mata bulatnya menyusuri kalimat demi kalimat yang tertulis di sana.
"Yep. Aku menyimpan brosurnya karena perusahaan pernah menjadi sponsor di sana. Sekarang ini pun kita masih bekerja sama dalam suatu proyek amal."
"Hmm... begitu rupanya."
Keduanya terus mengobrol di dalam mobil yang melaju santai. Jalanan cukup sepi hari itu.
Namun entah bagaimana caranya sebuah pick-up bisa melaju kencang di ruas jalan itu, dengan arah berlawanan. Sepasang suami istri Lee terkejut. Hongbin bergegas membanting setir, namun semua sudah terlambat.
Mercedes terpelanting ke sisi jalan.
Pecahan kaca berserakan di sekitar badan mobil yang penyok. Dalam sekejap, baik mobil pick-up maupun sedan mewah Hongbin sudah tidak berbentuk.
Yoonri terjepit di kursinya. Dia tidak dapat menggerakkan kakinya. Dengan susah payah Yoonri menoleh ke sana-kemari, mencari Hongbin. Kira-kira di mana badan suaminya? Masih bernyawa jua kah?
Lalu Yoonri menemukannya. Telentang di depan badan mobil. Bantalan udara yang biasanya otomatis keluar jika mobil mengalami kecelakaan tidak mampu menghentikan tubuh Hongbin dari terlempar. Darah mengalir dari kepala Hongbin, membasahi jalan. Senyum bahagianya beberapa detik lalu lenyap. Tubuh itu sudah tidak ada bedanya dengan mayat.
"Hongbin..." bisik Yoonri lirih. Sebentar kemudian matanya tertutup.
-
Yoonri's POV
Beberapa film menggunakan peristiwa kecelakaan sebagai awal kisahnya.
Tapi tidak dengan kisah hidupku. Aku malah merasa semuanya berakhir setelah tabrakan itu terjadi. Aku sudah putus asa sejak terbangun kembali di sebuah ruangan serba putih.
Dokter-dokter dan perawat segera mengerubungiku. Seluruh tubuhku diperiksa. Akhirnya semua prosesi melelahkan itu selesai dan aku dipindahkan dari ICU.
Hanya ada Eomma dan seorang dokter di ruangan baruku.
"Syukurnya, Nyonya sama sekali tidak mengalami luka serius," jelas dokter itu, bahkan sebelum aku berkata apa-apa. "Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa dengan bayinya."
Saat itulah aku menyadari, gerakan-gerakan kecil di dalam perutku sudah tidak terasa lagi. Tendangan-tendangan halus dari anakku, pergerakan seluruh tubuhnya yang berenang di rahimku. Semuanya hilang.
Aku mengelus perutku yang masih membuncit. Sulit dipercaya, sudah tidak ada kehidupan di sana. Air mataku merembes tanpa sadar.
"Yoonri..." Eomma menghambur padaku.
Aku memeluk Eomma, menangis di dadanya. Eomma mengusap bahuku dan terus mengucapkan kata-kata sabar. Aku tidak bisa lagi menutupi kesedihan dan kemarahanku saat itu. Sambil berpegangan erat pada Eomma, aku menangis meraung-raung. Eomma adalah satu-satunya tumpuanku saat ini, mengingat Appa tidak pernah lagi memedulikanku kecuali urusan bisnis.
Prosesi pengeluaran jasad anakku segera dijadwalkan. Para dokter memang sengaja menungguku sadar dan pulih, karena terlalu berbahaya melakukan induksi ketika ibunya sedang koma. Seul sudah meninggal sejak aku dibawa ke rumah sakit, jadi terlambat mengeluarkannya tidak akan jadi masalah.
Obat penginduksi disuntikkan ke badanku. Tak sampai sepuluh menit getaran hebat menjalari seluruh tubuhku.
Perawat menginstruksikan aku untuk mengejan. Dengan sisa-sisa tenaga aku mengeluarkan Seul. Eomma menggenggam tanganku erat. Dia terus mendampingi di sampingku, sebisa mungkin terlihat tenang, walau air mata mengalir di pipinya.
Aku memang pernah mendengar, induksi itu menyakitkan. Dan memang sakit, bagiku berkali-kali lebih sakit karena aku tidak bisa mendengar tangis Seul. Terlebih lagi aku tidak punya siapapun untuk dijadikan pegangan. Tidak ada Hongbin di sampingku.
Aku bahkan tidak tahu dia ada di mana.
-
Aku mendesak Eomma untuk memberi tahu di mana Hongbin berada.
Cobaan ini sudah membuatku hampir gila, dan sepertinya aku siap menjadi benar-benar gila.
Tidak tahan dengan rengekanku, Eomma akhirnya setuju.
Sesegeranya setelah tubuhku benar-benar pulih seratus persen, Eomma membawaku ke ruang ICU 1 Rumah Sakit Hanyang.
ICU tidak pernah menjadi tempat yang menyenangkan untukku. Apalagi dengan Hongbin berada di dalamnya.
Tapi entah kenapa sekarang aku lega mengetahui dia ada di sini daripada kamar mayat.
But still.
Lututku melemas ketika mendapati Hongbin terbaring di salah satu ranjang ICU. Selang-selang dan peralatan medis membelit seluruh tubuhnya. Kalau saja tidak ada bunyi detak jantungnya di alat pendeteksi, aku benar-benar mengira dia telah meninggal.
Aku kembali menangis di balik masker rumah sakit. Seluruh tubuhku yang dibalut pakaian khusus pengunjung ICU bergetar.
"Karena tekanan darah dan detak jantungnya mulai stabil, Tuan Lee sudah bisa dipindahkan ke ruangan biasa," kata Dokter setelah aku keluar dari ICU.
Aku mengangguk. Seorang perawat kembali muncul ke hadapanku.
"Silakan ke meja administrasi untuk mengurus surat-surat Tuan Lee."
Aku kembali mengangguk paham. Aku mengikuti perawat itu ke meja administrasi. Sesampainya di sana aku disuguhi kertas-kertas dan pulpen. Aku membacanya dengan hati-hati dan mengisi satu-persatu kolomnya, sambil berdiri di depan meja besar itu.
Seorang pria tinggi-besar tiba-tiba ikut menyender di sampingku. Kukira dia ingin berurusan dengan perawat yang berada di depanku, jadi aku mengangkat kertas-kertasku dan bergeser. Tapi dia tidak bergerak sama sekali. Dia masih berdiri di sana dengan wajah menghadapku. Begitu aku selesai mengisi dokumen, aku mengangkat kepalaku dan menatapnya.
Dia bersedekap. Mata sipitnya menatapku intens. Dia terlihat masih cukup muda, namun tingginya jauh di atasku.
Tapi apa yang dilakukan pria ini, menatapku?
Aku mulai merasa risi karena dia terus memandangiku bahkan setelah dipergoki. Bagaimanapun dia tetap orang asing.
"Pe...permisi," aku menyapanya dengan panggilan formal. "Hm, Anda ada urusan apa? Apakah ada yang ingin Anda katakan?"
Tidak kusangka dia sama sekali bergeming. Malah bibirnya yang awalnya berbentuk garis lurus jadi tertarik ke atas, membentuk senyum. Aku melongo. Senyumnya semakin lebar. Malah sekarang deretan giginya yang putih juga terlihat.
Terdengar suara kekehan halus.
Pria itu tertawa. Ya, dia tertawa pelan sambil melihatku.
Aku semakin tidak bisa berkata-kata. Pria itu pergi sebelum tawanya semakin nyaring.
--

KAMU SEDANG MEMBACA
Escapism: Love At 21st Century
Fanfic"Aku tahu, aku sakit. Aku bahkan sudah menyusun kata-kata jika akhirnya merasa perlu pergi ke dokter." "Dokter, aku jatuh cinta pada seorang wanita. Yah, berkali-kali sudah aku jatuh cinta pada wanita, dan aku pernah memberikan semua kasih sayang ya...