Sembilan belas : Intuisi

201 16 0
                                    

   Laras menelan salivanya, ikut hanyut hatinya bergetar melihat sosok Adrian yang jauh berbeda dari biasanya, Adrian yang memeluknya kini bukan Adrian yang ia kenal. Bukan Adrian ketua OSIS senewen yang ia kenal.

   Adrian melepas pelukannya dari tubuh Laras, tersenyum getir menatap batu nisan ibunya. Mengusap air mata nya kasar lalu tersenyum kearah Laras yang masih setia berdiri disampingnya. "Pulang" ucap Adrian langsung menarik tangan Laras. Laras yang mengerti kacaunya perasaan Adrian, memilih diam dan mengikuti Adrian dibelakangnya.

   Sepanjang perjalanan hanya diisi dengan diam. Laras tidak angkat bicara, gadis itu memilih diam dan menikmati semilir angin sore jalan raya kota yang mereka lewati. Adrian cukup kuat, pria itu masih bisa mengontrol dirinya sendiri, meskipun dalam hati Laras bimbang tak karuan dengan perubahan sikap Adrian.

   Tiba didepan rumah Laras, Laras buru-buru turun dari motor Adrian. "Makasih ka" ucap Laras sambil menunduk tak berani menatap wajah Adrian.

   Adrian menghela nafas, ia tahu Laras takut padanya, takut pada sosok Adrian yang sekarang. Adrian yang mulutnya bau asap rokok, Adrian yang tidak lagi menjaga kerapihan tubuhnya, kacau. Adrian sadar akan hal itu.

   Tanpa pamit, Adrian pergi melesat meninggalkan Laras didepan rumahnya. Tidak seperti biasa, dimana Adrian pasti akan menunggu Laras sampai masuk kedalam rumah, sambil menyunggingkan senyuman terbaiknya.

   Laras menatap kepergian Adrian, sosok Adrian berubah. Ulu hatinya nyeri seketika, perasaannya ikut hancur melihat Adrian rapuh seperti itu. Gadis itu menggigit bawah bibirnya, menatap langit sore yang terlihat sedikit mendung. Laras memejamkan matanya, perlahan air matanya turun tanpa perlu dikomando, air matanya turun membentuk aliran sungai dipipi putih bersihnya.

   Laras membuka matanya, "Sekarang, giliran aku yang buat kak Adri senyum lagi. Aku janji, bakal kembaliin kak Adri yang dulu" Laras bergumam sendiri, tidak sadar hujan mulai membasahi tubuh mungilnya. Gadis itu malah memejamkan matanya, membiarkan hujan akrab dengan tubuhnya, diikuti air mata yang jatuh tak berirama.

***

   Adrian tiba dirumahnya. Rumah ini sepi sekarang, tidak ada lagi senyuman hangat yang selalu tersungging manis dari wajah almarhumah ibunya. Adrian mencoba mengingat-ingat, dulu setiap ia pulang sekolah ibunya akan duduk didepan meja makan, menunggu Adrian pulang lalu makan siang bersama. Setelah itu, mereka akan bercerita tentang apa saja, Adrian tidak akan pernah lupa tentang itu.

   Adrian mengepalkan tangannya, amarahnya tiba-tiba naik saat mengingat perlakuan ayahnya terhadap ibunya. Tanpa tameng, Adrian memukul dinding sekuat tenaganya, tak peduli tangannya mengeluarkan darah. Adrian mulai kalut, hatinya panas.

   Adrian terus memukul-mukulkan tangannya, sambil terus mengumpat meluapkan emosinya pada tembok putih yang tak bersalah. "Bangsat!" umpatnya, pukulan terakhir telak menimpa tembok putih itu.

   Adrian terlihat begitu menyedihkan, raut mukanya datar sesaat setelah semua emosinya terluapkan.

***
   Keesokan harinya, Laras lebih memilih berangkat lebih pagi. Karena gadis itu tahu, pasti Adrian akan datang kerumahnya. Sampai disekolah, Laras mengetik beberapa pesan singkat pada kakaknya yang masih berada dirumah.

   Isi pesan singkatnya tak lain dan tak bukan adalah, 'Bilang kak Adri aku ada kegiatan tambahan jadi harus berangkat pagi-pagi. Ohiya, dia kerumah ngga? Bang Fi bales plis -_-'

   Setelah menunggu beberapa menit, bukan balasan pesan singkat yang Laras terima, tetapi satu panggilan masuk dari Hanafi kakaknya.

   Laras mengangkat telepon dari Hanafi dan, "Bang Fi, tadi kak Adri kerumah kah?" tanya Laras langsung begitu telepon tersambung. Hanafi tidak bergeming, Laras bingung. Biasanya kakak nya akan lebih banyak berbicara, tapi ini tidak.

Adrian & KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang