18. Perasaan Lebih?

2.8K 154 1
                                    

      Aku dan Raffa mulai melihat rekaman CCTV. Benar, Papa membeli pakaian anak berumur 3 tahun. Pertanyaannya, untuk siapa baju itu? Mengapa Papa membelinya? Dan semua pertanyaan satu per satu datang di kepalaku.

"Fy, Papa lo bener-bener beli baju itu." aku hanya terdiam mendengar ucapan Raffa. Semuanya terlihat tidak masuk akal. Membingunkan. Rumit. Sampai sekarang aku masih belum mengerti. Maksudku, aku mengerti tapi, hah entahlah! Lupakan saja.

"Kalo lo udah gak mau terusin misi kita gapa--

"Nggak, Raf. Kita udah sampai sini, dan kita harus menyelesaikan semuanya sampai selesai." aku memotong ucapan Raffa. Raffa mengangguk mengerti.

"Selanjutnya gimana?" tanya Raffa. Aku berpikir sejenak.

"Kita selidikin bokap gue. Kita cari bukti-bukti bener atau nggaknya kalo bokap gue beneran selingkuh." Raffa mengangguk mengerti mendengar ujaranku.

"Mungkin, lo harus cari petunjuk di kamar bokap lo. Kali aja ketemu sesuatu yang bisa tunjukin kecurigaan kita." aku berpikir sebentar setelah mendengar ucapan Raffa.

"Kayaknya bokap gue gak mungkin simpen suatu petunjuk buat kita di kamarnya deh, Raf. Kamar bokap gue 'kan kamar nyokap gue juga. Kalo bokap gue simpen di kamar, otomatis nyokap gue pasti bakal tau cepat atau lambat. Bahkan asisten pribadi keluarga gue pun gak boleh beres-beres di kamar bokap nyokap gue. Biasanya nyokap gue sendiri yang bersihin kamar itu."

"Bener juga. Terus dimana menurut lo?"

"Ruang kerja bokap gue." jawabku setelah beberapa detik berpikir.

"Oke, berarti kita bakal geledah ruang kerja bokap lo. Tapi, apa ruang kerja bokap lo gak di kunci?" pertanyaan Raffa aku jawab dengan gelengan. Ya, karena sekitar 3 tahun lalu, lebih tepatnya sebelum kematian Kezia, aku pernah ingin masuk ke dalam ruang kerja Papa dan pintunya sama sekali tidak terkunci. Aku hanya penasaran saja waktu itu. Aku hanya melihat-lihat, setelah itu keluar.

"Lo yakin? Ruangan itu 'kan termasuk privasi."

"Kayaknya sih. Karena 3 tahun lalu, sebelum kejadian 'itu' gue pernah masuk ke ruang kerjanya, dan ruangnnya gak di kunci." ujaranku hanya dijawab anggukkan oleh Raffa.

"Hari ini lo pulang, jangan nginep di rumah Clara. Bikin diri lo sebiasa mungkin. Besokpun lo jangan nginep di rumah Clara, tetep tinggal di rumah lo. Nah, lusanya, baru kita beraksi." ujaran Raffa membuatku bingung. Mengapa harus seperti itu?

"Kenapa gue harus pulang dan tidur di rumah 2 hari? Lo 'kan tau sendiri, bagi gue rumah itu bagaikan neraka."

"Iya gue ngerti, tapi ini demi lo juga, Fy. Coba lo fikir, kalo tiba-tiba gue main ke rumah lo sedangkan akhir-akhir ini lo nginep di rumah Clara, dan lo ke rumah pas-pasan buat terima tamu, 'kan aneh keliatannya. Ntar yang ada anggota keluarga lo curiga. 'kan kalo dikasih jeda 2 hari lumayan samar. Mereka gak bakal curiga. Sekalian, lo jadi pengamat gimana keadaan sekitar sebelum kita geledah ruangan bokap lo. Lo awasin, bokap lo biasa pulang jam berapa, pastiin pas kita geledah bokap lo lagi bener-bener sibuk kerja dan orang rumah sepi alias pada pergi." aku tersenyum setelah mendengar penjelasan panjang kali lebar kali tinggi yang sangat jenius. Wah, Raffa berbakat jadi detektif kayaknya.

"Lo pinter juga ya. Oke-oke, terus setelah itu, kita ngapain lagi?"

"Kalo situasinya memungkinkan, gue ikut geledah sama lo, tapi kalo orang rumah gak pergi, gue cuman bisa ngawasin dari ruang tamu. Jadi nanti, kita pura-pura mau kerja kelompok atau belajar kelompok gitu, kalo gue cuman bisa jadi pengawas, gue bakal pc lo kalo tiba-tiba bokap lo pulang."

"Yaudah, jadi, kita tinggal nunggu lusa nih?"

"Iya. Lo jangan lupa, amatin gimana dan ingetin jadwal orang-orang pergi. Dan jangan keliatan curiga atau mencolok. Bersikap biasa aja. Okay?"

FRIENDZONE [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang