DBHP'3

288 34 17
                                    

-----

Bel pulang telah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sebagian murid sudah pulang dan sebagiannya lagi masih tertampang di sekolah.

Terlihat tiga siswi tengah duduk di tepi koridor sekolah. Mereka terlihat sedang berbincang-bincang, canda tawa mereka menggelegar ke setiap sudut-sudut koridor.

"Hahaha..., kocak banget Jes!" Irene tertawa terbahak-bahak. Kedua temannya hanya tersenyum semringah.

"Eh, eh bentar deh." Jessi memberhentikan suara riuh mereka. "Gue ada yang aneh gak sih, atau ada sesuatu gitu sama gue?" Sambungnya sambil menunjuk-nunjukkan dirinya.

"Aneh kenapa?" Irene berbalik bertanya kepada Jessi.

"Aneh aja gitu." Menaikkan kedua pundaknya. "Kenapa cowok yang tadi ngeliat gue mulu, gue aneh?"

Irene langsung mengerti maksud Jessi. "Cowok yang mana, anak baru itu?" Tanya Irene Jessi hanya membalas dengan anggukkan kepala. "Mungkin dia naksir lo kali." Ledek Irene dan tersenyum semringah kemudian menaik-turunkan alisnya.

Jessi Mengerutkan keningnya. "Hah?" Ucap Jessi berbarengan dengan Dera, walaupun Dera tak terkejut seperti Jessi.

Irene menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Iya, mungkin dia naksir elo. Buktinya yang waktu di perpus dia ngeliriknya ke elo. Dan tadi juga kan." Irene terkekeh menceritakannya.

"Dih gak jelas! Tadi kan gue bilang jangan ngeledekin gue lagi tentang dia." Cibir Jessica.

"Ya kan elo sendiri tadi yang mulai ngebahas tentang cowok itu." Sahut Irene.

Baginya ocehan Irene tentang siswa baru itu tidak penting. Walaupun yang memulai duluan Jessi, tapi Jessi tidak suka kalau ujung-ujungnya diledek seperti ini. Dan Jessi berniat hanya untuk bertanya. Jessi sudah mulai risih dengan Irene. Ia bangkit dan segera pergi meninggalkan kedua temannya.

"Dih baper apa ngefly tuh!" Ledek Irene ketika melihat Jessi pergi. Jessi tetap meneruskan berjalan dan membawa raut wajah kesalnya. Tubuh Jessi semakin jauh diterjang langkahan kakinya.

¤¤¤

Seorang pria remaja sedang menguntit sesuatu dibalik sebuah mobil yang terpakir disisi jalan. Sesuatu yang tengah pria itu pandangi ia teman yang baru dikenal. Gio.

Agesta sedang menguntit Gio. Dia memfaktakan janjinya ---Dia akan membunuh Gio---. Gio tengah membeli sesuatu di sebuah toko material.

Begitu Gio sudah keluar dari toko itu dan membawa kantong plastik yang entah isinya apa. Agesta mulai beraksi. Sementara Gio tidak mengetahui bahwa ada yang menguntitnya. Gio melajukan motor Vespa-nya yang terparkir disisi jalan. Agesta mengikutinya dari belakang menggunakan motor dan helmnya agar tidak ketahuan bahwa yang mengikutinya adalah Agesta.

Tiba-tiba motor Gio mogok di jalan, lebih tepatnya di jalan yang sepi dan disisi jalan dipenuhi rumah tua. Seperti tidak ada yang menghuni di tempat itu. Sepanjang 1 kilometer sisi jalan dipenuhi rumah tua bahkan kebun kosong. Dan jarang sekali oranglain melalui jalan ini.

Agesta ikut berhenti, menurutnya jalanan ini tidak asing baginya. Bagaimana tidak asing bahkan salah satu rumah kosong yang tertampang disisi jalan ini ia jadikan markas.

Agesta menghampiri Gio menurutnya inilah waktu yang tepat untuk memusnahkan Gio. Terlihat Gio sedang mengecek keadaan motornya.

"Permisi." Sapa Agesta terhadap Gio yang sedang mengubak-abik motornya.

"Iya..., apaan sih! Udah tau motor gue mogok di suruh permisi lagi!" Gio menjawab dengan ketus dan tidak menoleh sedikit pun kepada orang yang menyapanya karena terlalu fokus kepada motornya.

"Hmm... inget gue gak?" Agesta membuka helmnya, mendengar kalimat itu Gio langsung menoleh ke sumber suara.

"Lo, anak baru yang tadi pagi udah bikin gue marah kan?" Gio mengerutkan keningnya.

"Iya, dan sekarang gue akan buat lo musnah!" Ujar Agesta menekankan di setiap kalimat. Agesta tersenyum sinis, ia bangkit dari motornya. Sebuah pisau ia keluarkan dari saku celana seragamnya. Bola mata Gio seketika membulat, ia terkejut.

"Lo mau ngapain?!" Ujar Gio histeris. Agesta membuka jaket hitamnya, lalu mencekik Gio dengan tangan kirinya. Pisau yang ada di tangan kanan ia tusukkan tepat di perut Gio. Gio meringis kesakitan ditambah lagi Agesta menarik pisau itu dengan keras. Darah segar langsung mengalir dari daerah perut yang tertusuk.

"Lo masih gak ngerti juga?" Agesta kembali mengembangkan senyuman sinis. Pisau yang sudah bersimbah cairan merah ia tusukkan tepat di salah satu bola mata Gio, kemudian Agesta memutarkan dan mencongkel hingga bola mata yang sudah bersimbah darah mendarat di pipi Gio. Agesta memotong saraf mata hingga bola mata Gio terjatuh.

"Akhh... sakit..." Ringis Gio. Ia tak bisa melihat apa-apa. Hanya sebelah matanya saja yang masih dapat melihat walaupun terasa sakit karena saraf mata sebelah mata terputus. "Ma... affin... gue..." Ucap Gio terbata-bata sambil meluruskan tangan kanannya kedepan.

Agesta berdecak kesal. "Ck, ini balasan buat lo! Percuma lo minta maaf dan gue gak bakal maafin lo!" Agesta menepis tangan Gio.

Agesta meraih tasnya, kemudian mengeluarkan sebuah benda persegi dari tasnya. Di balik benda persegi itu ada duri-duri kecil yang menancap. Benda itu adalah sebuah parutan kelapa manual.

Benda yang Agesta pegang, ia tempelkan di telapak tangan kanan Gio. Bukan bagian telapaknya tapi bagian runcing dan tajam yang terdapat di parutan kelapa itu. Lalu, tangan Gio Agesta gesekkan dengan benda tersebut. Seakan sedang memarut kelapa, tapi yang ini mengeluarkan bercak merah di telapak tangan Gio.

Gio meringis kesakitan, dia tidak bisa keluar dari perlakuan Agesta terhadapnya. Semua tubuhnya terasa lemah dan kesakitan, mungkin tinggal setengah nyawa lagi untuk bertahan. Andai saja ada manusia yang melihat ia diperlakukan seperti ini. Gio butuh bantuan untuk lepas dari sini.

Agesta tidah hanya menggesekkan satu telapak tangan Gio. Namun seluruh alat peraba milik Gio ia gesekkan dengan benda yang seharusnya untuk memarut kelapa bukan memarut alat peraba manusia.

Sudah hampir 15 menit Agesta menyiksa Gio, hingga baju seragamnya terkena cairan merah. Darah Gio. Namun nyawa Gio belum hilang. Ia masih dapat bertahan walaupun terlihat sangat lemas. Agesta tidak seharusnya berlama-lama disini. Ini tempat umum walaupun terlihat sepi, tapi takut ada seseorang yang lalu lalang di jalan ini. Dia ingin segera mencabut nyawa Gio seakan dia malaikat. Pisau yang sudah bersimbah darah Agesta ambil kembali.

Sebelah mata Gio yang masih utuh dan dapat melihat, matanya melihat Agesta menggenggam pisau. Kemudian mengarahkan pisaunya tepat di pergelangan tangan kanan Gio.

"Lo... mau... akh... akh.... nga... pain...?" Ucap Gio sambil menahan perihnya luka di sekujur tubuhnya.

"Pake nanya lagi!" Agesta menatap Gio sinis.

"Lo... bukan... ma... nusia..." Lagi-lagi Gio berucap. Kali ini ucapan Gio dibalas dengan cekikan dari tangan Agesta. Pisau yang baru Agesta pegang ia jatuhkan kembali.

"Bukan manusia?" Agesta menautkan alisnya.  "Bisa jadi sih, gue ngelakuin ini juga karena elo! Lo yang sok jagoan!" Agesta melepaskan cengkramannya di leher Gio. Ia kembali menggenggam pisau.

Pisaunya ia arahkan ke pergelangan tangan kanan Gio tepat di bagian pembuluh nadi. Ia gesekkan seperti sedang memotong daging. Darah segar kembali mengalir deras dan Gio tewas.

Agesta ingin segera pergi dari sini. Pisaunya ia ambil dan parutan kelapa yang tergeletak juga ia ambil, kemudian memasukkan ke dalam tasnya. Agesta kembali mengambil jaket dan helmnya yang terkapar di jok motor kemudian memakainya. Motor Gio, Agesta jatuhkan sampai Gio tertiban.

Tak menunggu lama lagi Agesta menaiki motornya kemudian melajukan motornya secepat mungkin.

¤¤¤

a.n Hai readers setia!! Comment donk gimana ceritanya? Biar tambah semangat nulis cerita ini^_^. Gapapa gak ngevote tapi seenggaknya comment, hehehe. Eh maksa^_^
Yaudah aku cuma bilang itu aja!! BYE!!
Hati-hati Typo!!

Salam-Dellazzoit_31😊

Di Balik Hati PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang