DBHP'19

33 4 0
                                    

VOTE & COMMENT!!!
____

Brughh...

"Arghh." Ringis pengemudi sepeda motor tersebut yang tadinya hendak berdiri kemudian terjatuh setelah Agesta menancapkan pisau ke leher belakang orang itu. Darah keluar dari tubuhnya dan mengalir deras.

Agesta tersenyum kemudian kembali menusuk-nusuk dada pria yang masih setengah berjawa itu hingga,

Mati.

"Finally!" Sahut Agesta.

Agesta menyeret pria yang sudah tidak bernyawa tersebut ke gudang sekolah. Darah berceceran hingga meninggalkan jejak, tapi Agesta sudah merasa aman dengan memakai atribut yang biasa dia pakai ketika melakukan aksi brutalnya.

Setibanya di depan gudang, Agesta segera membuka pintu tersebut dan terlihat Chiko berdiri dengan angkuhnya. Dagunya menunjukkan mangsa yang telah ia dapati.

Raut wajah Agesta berubah menjadi geram, dipikiran dia Chiko pasti membuat rencana licik. Dilepasnya mangsa yang tadi ia pegang dan ditinggal begitu saja.

Dia menghampiri Chiko, "Ck, dasar licik!" Sahut Agesta dengan geramnya.

"Apa maksud lo? Gue licik, kalo lo udah tahu kenapa masih nerima taruhan ini." Ujar Chiko seraya melipatkan kedua lengannya di dada. "Bodoh!" Ucap Chiko.

Agesta yang mendengar ucapan Chiko bertambah geram, tangan kanannya sudah mengepal siap untuk meninju Chiko.

Brughh...

Kepalan tangan Agesta telah mendarat di pipi kiri Chiko dan membuat lebam di sudut bibirnya.

"Anjing loh!" Chiko membalas dengan meninju pipi kanan Agesta. Suasana menjadi sangat menegangkan mereka saling tinju-meninju tak ada yang mau kalah dia antara mereka.

Hingga terkaparnya Agesta di lantai, ia menahan sakit akibat pukulan Chiko. Warna biru keunguan hampir terdapat di wajahnya.

"Inget ya dalam taruhan ini lo kalah dan jangan sekali-kali lo ganggu gue diperkemahan nanti dengan Jessi atau lo tau akibatnya!" Pekik Chiko seraya pergi meninggalkan Agesta sendirian di gudang tersebut.

Mata Agesta memicing geram, menatap kepergian Chiko dengan amarah yang sudah diatas rata-rata.

¤¤¤

06:15

Kaki Jessi memijak teras rumahnya dengan beralaskan sepatu converse berwarna hitam dan putih. Hari ini Jessi telah kembali masuk sekolah dengan tubuh yang sudah fit.

Dan pagi ini juga  ia berangkat dengan memesan Ojek Online tanpa meminta Agesta untuk menjemputnya. Tak lama Jessi menunggu Ojek Online pesanannya telah datang.

Setibanya Jessi di gerbang sekolah terlihat mobil polisi dan ambulan terparkir di bahu jalan.

"Ada apaan ini?" Gumamnya.

Lagi, lagi, dan lagi.

"Jangan-jangan korban pembunuhan lagi, masa iya si." Pikir Jessi.

Dan ternyata benar dilihatnya kerumunan seluruh warga sekolah maupun warga sekitarnya menonton pengangkatan jenazah korban pembunuhan.

Dengan langkah cepat dan mungkin bisa dikatakan seperti lari, Jessi menghampiri kerumunan tersebut dirinya penasaran.

"Permisi..." Sahut Jessi seraya tangannya menyingkirkan orang di sekitarnya agar memberi celah supaya dapat melihat apa yang terjadi.

Raut wajah Jessi berubah menjadi takut, ia melihat darah bersimbah hampir di sekujur tubuh dua korban pembunuhan itu.

"Astagfirullah." Sahutnya.

¤¤¤

Kamar Jessi ramai disuguhi suara gosip tentang pembunuhan di sekolahnya tadi. Ketiga sahabat perempuannya menginap di rumah Jessi selama satu malam, berhubungan besok libur sekolah.

"Makin menjadi aja korban pembunuhan di sekolah kita." Ucap mesya yang sedang duduk di sandaran ranjang tempat tidur Jessi dengan memegang snack.

"Bisa-bisa itu sekolah jadi big news." Sahut Jessi.

"Gue merasa aneh deh, dulu sekolah kita tuh tenang-tenang aja nggak ada peristiwa kaya gini. Semenjak Agesta jadi murid baru di sekolah kita, jadi banyak peristiwa pembunuhan." Jelas Irene, megeluarkan semua rasa penasarannya.

"Iya juga si." Sahut Mesya.

"Jangan su'uzon dulu." Titah Jessi, "Dera coba lu ram..." Jessi tak sengaja mengucapkan kalimat 'ramal' yang ingin ditujukan kepada Dera, dan dahi Dera dikerutkan untuk memberi kode. Jessi baru saja keceplosan ingin mengucapkan kalimat itu di depan Irene dan Mesya.

"Ramal?" Irene langsung peka dengan kata-kata yang ingin diucapkan Jessi, ia langsung mempertanyakannya.

"Maksudnya gue Dera coba lo pikir, kan dia genius." Ucap Jessi terbata-bata entah di sadari Irene dan Mesya atau tidak.

"Yaudah coba, Der." Titah Irene, untung saja dia tidak memperpanjang soal kalimat tadi.

"Apaan si, gue bukan genius emang lo kata gue paranormal." Pekik Dera yang tak disadari baru saja mengucapkan kalimat cukup panjang dari biasanya.

"Gitu dong ngomongnya panjang lebar jangan cuma titik doang." Irene terkekeh, "Oh iya lu kan cuma ditampang doang kelihatan genius aslinya sama aja kaya siswa yang lain." Pekik Irene sedangkan Dera memutar bola matanya malas.

"Udah si kenapa di perpanjang, daripada ngomongin yang nggak pasti mending ngomongin tentang perkemahan nanti." Titah Jessi.

"Yaps, betul sekali."

"Bentar, hari ini gue nggak ketemu Agesta kalian ada yang lihat nggak?" Tanya Jessi yang baru menyadari hari ini dia tidak melihat Agesta sama sekali.

"Enggak." Ujar Irene dan Mesya sedangkan Dera hanya menggelengkan kepalanya.

"Coba lo chat dia." Titah Irene.

"Oh iya." Segeralah Jessi meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Agesta.

[Agesta Prajoerney]

                    Agesta kenapa lo tadi nggak
                                         masuk sekolah?
[Send]

Rasa khawatir muncul di benak Jessi ketika melihat Agesta sedang offline. Sahabat Jessi menyadari raut wajahnya yang berubah khawatir, mereka mencoba untuk menenangkannya.

"Coba lo telepon." Karena pesan kemungkinan dibalasnya lama, Mesya menyuruh Jessi menelpon Agesta.

"Hallo?"

¤¤¤

Salam-Dellazzoit31☇

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Balik Hati PsychopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang