Turvha, 12 Juni 2093
- - -
Di sebuah tempat, tepatnya di dalam sebuah ruangan laboratorium, terlihat seseorang dengan jubah berwarna putih sibuk menatap monitor hologram. Raut mukanya terlihat cukup serius. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya, di ruangan yang tak begitu besar itu ia mondar-mandir memikirkan sesuatu.
"Ayah, sarapannya sudah siap!"
Teriakan seorang gadis membuat pria tersebut tersentak kaget, karena terlalu serius ia sampai melupakan waktu untuk makan.
"Baiklah, tunggu sebentar!"
Ia membuka pintu laboratorium. Terlihat raut mukanya yang pucat, dari semalam ia begadang sehingga terlihat jelas kantung matanya dan rambutnya acak-acakan.
"Astaga Ayah! ada apa denganmu?"
"Tidak apa-apa, kulihat kau memasak banyak hari ini."
Iva, gadis yang merupakan anaknya tersebut merasa sedikit kecewa. Ia mendiamkan sendok yang ia pegang saat ingin menelan makanannya. Melihat Ayahnya yang sudah seperti gelandangan itu benar-benar membuatnya prihatin. Ayahnya langsung duduk di meja makan tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.
"Ayah?"
"Kalau makan jangan bicara dulu."
Dengan ucapan dari Ayahnya itu, Iva terdiam menunggunya selesai makan, ia pun ikut menyantap masakan yang sudah ia buat. Beberapa saat setelah selesai sarapan, Iva mencoba berbicara kembali.
"Ayah ..."
"Ini sangat penting, jadi bersabarlah sebentar!"
Ayahnya segera menuju ke lab tanpa menanggapi perkataan Iva lebih jauh. Sebab Ayahnya beberapa minggu lagi harus melakukan presentasi untuk penelitiannya. Sementara wajah Iva merengut melihat Ayahnya yang terlalu memfosir diri, sampai-sampai anak semata wayangnya hampir tak ditanggapi, Iva langsung membuka pintu rumah, dan duduk di teras, ia memandangi halaman rumah dengan taman mini yang tersusun rapi, di wajahnya terlihat melamunkan sesuatu. Ia kemudian menengadahkan pandangannya ke langit, terlihat kendaraan terbang lalu-lalang menghalangi kesunyian langit, terlalu lama ia memandanginya, hingga ia mengantuk dan tanpa sadar tertidur,
**
Beberapa saat kemudian di dalam rumahnya terdengar sebuah ledakan yang cukup keras hingga membangunkannya, Iva segera berlari ke dalam rumah. Ia tahu ledakan tersebut berasal dari Lab Ayahnya.
"Ayah, kau tidak apa-apa!?"
Ada banyak kepulan asap sehingga gadis tersebut tak mampu melihat apa yang berada di dalam asap tersebut.
"Uhkhh, aku tidak apa-apa."
Ayahnya terbatuk-batuk akibat kepulan asap hitam yang pekat sambil keluar dari ruangannya, dengan rambutnya yang berdiri seperti habis terkena setruman listrik di tubuh. Wajahnya gosong seperti aspal jalanan. Sementara baju yang ia kenakan sedikit terbakar di beberapa bagian.
"Tidak apa-apa bagaimana? Ayah hampir tamat!"
Raut muka Iva jadi khawatir melihat Ayahnya yang memaksakan diri, ada rasa marah yang bergejolak. Sudah beberapa hari Ayahnya mengurung diri di Lab untuk melakukan uji coba penemuannya, namun belum membuahkan hasil apapun.
**
Iva membersihkan puing-puing yang berserakan akibat ledakan tadi, setelah ia memarahi Ayahnya, akhirnya Ayahnya mau untuk istirahat dan melupakan pekerjaannya sejenak. Hari ini sekolahnya libur, jadi ia mengurus segala sesuatu di rumah. Semenjak Ibunya meninggal karena kecelakaan, Iva menggantikan semua pekerjaan rumah tangga. Saat ini ia hanya tinggal bersama Ayahnya, jadi ia khawatir jika terjadi sesuatu pada Ayahnya, sebagai ilmuan yang bekerja untuk pemerintah. Ayahnya mendapatkan dana penelitian dari yang sudah ia hasilkan, termasuk jatah untuk membiayai kehidupannya dan Iva.
Setiap setahun sekali, Ayahnya wajib memberikan laporan perkembangan dari hasil penelitian yang sudah ia teliti. Bila tak ada penelitian, bisa jadi pemerintah mencabut dana yang sudah diberikan.
"Eh, apa ini?"
Secara tak sengaja Iva menemukan sebuah benda yang cukup asing baginya. Sebuah bola berwarna pelangi, terdapat ujung lancip berwarna ungu di ujungnya.
Ia mengamati sekeliling bola tersebut, nampak asing. Namun sebelum ia mengamatinya lebih jauh. Ayahnya langsung menyahut benda tersebut dari genggaman Iva.
"Hati-hati Iva, jangan menyentuh benda ini!"
"Bukannya Ayah yang tak hati-hati dari tadi!"
Karena Ayahnya menyahut benda tersebut secara paksa, jari Iva sedikit terluka terkena jarum di benda tersebut, sehingga Iva langsung mengelap lukanya dengan kain.
Ayahnya tak memperhatikannya, ia langsung buru-buru menaruh benda itu ke sebuah meja, ia terlihat panik ketika anaknya memegang benda tersebut. Ia tak ingin anaknya ikut campur dalam masalahnya.
"Baiklah lupakan. Kau bisa pergi, biar Ayah yang bersihkan."
"Bukannya Ayah belum istirahat, mau memaksakan diri lagi?"
"Dengar Iva, Ayah juga tidak mau membuatmu lebih kerepotan."
Dalam beberapa minggu ini. Profesor Endy, yaitu Ayahnya Iva sudah tak punya banyak waktu, wajar saja ia cukup panik dengan situasi saat ini. Namun ia tak merasa bahwa anak semata wayangnya, sangat khawatir dengannya. Endy terlalu fokus pada pekerjaannya sehingga hampir melupakan hal di sekelilingnya.
"Kalau begitu, itu benda apa?"
"Bukan apa-apa."
"Kenapa Ayah panik!"
"Tentu saja, nanti ini kan bisa rusak! Kau tidak apa-apa? Kenapa dengan jarimu?" ucapnya baru menyadari ketika Iva membebal jarinya dengan kain.
"Tak apa, hanya tergores serpihan kayu, jadi Ayah bisa jelaskan itu apa?"
Iva mendesak Ayahnya untuk memberi tahu benda tersebut. Iva mewarisi sifat Ayahnya yang selalu ingin tahu, apa yang tidak ia ketahui akan membuatnya penasaran sampai ia mendapatkan penjelasan dari hal yang ia tidak ketahui.
"Tidak! sudah pergi sana. Obati dulu jarimu."
"Baiklah-baiklah, nanti malam aku hanya akan memasak kentang rebus," jawab Iva, dengan wajahnya yang kesal ia segera pergi dari tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulbit
Science Fiction(Tamat) ... 10 tahun lalu, seorang ilmuan yang sedang meneliti siklus hidup sebuah tanaman secara tak sengaja menemukan unsur baru yaitu Roh, yang sebelumnya menjadi mitos bagi masyarakat modern. Hal tersebut menjadi keberadaan baru dalam ilmu penge...