Part 7 : Pertemuan

18 1 0
                                    

Turvha, 16-17  Juli 2093

---

Setelah Dopli menjelaskan beberapa hal, Murda masih merasa tak percaya akan hal itu, serasa sebuah omong kosong. Ia pun habis kesabaran dan kemudian beranjak keluar, namun sesuatu yang tak terlihat membuatnya tak dapat keluar dari pintu, seperti ada dinding yang menjadi sekat.

"Hei, Kakek!? Apa yang kau lakukan?"
"Panggil saja Dopli."

Murda kaget dengan sesuatu yang tak kasat mata itu, akhirnya ia tak ada pilihan lain, ia pun berhenti dan kembali duduk di kursi yang lumayan berdebu, ruangan di sekitar memang tak terawat, langit-langit atapnya sudah terukir jaring-jaring debu yang cukup kotor.

"Tapi aku benar-benar tak mengerti, kenapa orang-orang seperti itu begitu tega terhadap orang lain untuk mencapai tujuannya?"
"Tak usah terlalu heran, bagimu mungkin orang-orang disana kejam, namun dari awal kebanyakan manusia yang terlahir sudah pasti kejam, seperti mengambil kehidupan makhluk lain untuk kehidupannya. Kita pun hidup di bawah penderitaan orang-orang."
"Kalau begitu Kek, jelaskan?! Apa yang akan terjadi pada Iva, apa tujuan mereka saat ini?"

Meski Dopli menyuruh memanggilnya Dopli saja, namun Murda kurang begitu terbiasa dengan itu, baginya penilaian fisik adalah hal paling utama, ia juga kurang percaya dengan perkataan Dopli, satu-satunya yang membuat ia kembali duduk manis adalah keberadaan Nita, meski penghalang tersebut ada disitu, Nita-lah yang menjadi alasan utama untuknya tetap mendengarkan perkataan Dopli. Nita kali ini hanya mendengarkan percakapan mereka berdua, sebelumnya ia sudah diberitahu oleh Dopli tentang berbagai hal, jadi kali ini tidak ada hal yang ingin ia tanyakan.

"Perlu kamu ketahui, kesimpulanku ini belum tentu benar, tapi berdasarkan kemampuanku, aku melihat sesuatu yang besar akan terjadi, bila kita tidak segera mengambil Iva dari tempat tersebut."
"Jadi? apa buktinya?"
"Karena aku adalah mantan bahan eksperimen, aku pun memiliki kemampuan supranatural yang tak dapat diremehkan, meski pengorbanannya terlalu banyak. Apa kau yakin ingin bukti?"
"Tentu saja, kalau tanpa bukti itu artinya omong kosong."
"Baiklah, Murda, anak kedua dari 3 bersaudara, tidak bisa tidur tanpa guling, tiap pagi selalu berdoa agar mendapatkan-"
"Hei tunggu! Stop! Kenapa malah membongkar rahasiaku."
"Kau bilang ingin bukti?"
"Memangnya apa yang bisa membuktikan dari hal itu?"

Murda menyadari bahwa Dopli sedang menyebutkan kepribadian dan kesehariannya, ia pun cukup terkejut yang bahkan orang tuanya sendiri tidak tahu. Ia berpikir bisa saja ia disadap tentang kegiatan sehari-harinya dan memaksanya berada di situasi seperti ini, meski sebenarnya jika dipikir secara logika, cara berpikirnya itu tidak masuk akal.

"Baiklah, akan kuberitahu tentang yang terjadi setelah ini dan keesokan harinya."

**

"Aku maksudnya ini!" Murda berteriak sambil berdiri di tengah pelajaran berlangsung, saat itu Dopli memang memberikan 3 hal yang akan terjadi padanya, jika dibilang kebetulan hal tersebut adalah terlalu kebetulan. Memang Dopli memiliki kemampuan untuk melihat masa depan seseorang hanya dengan menyentuh kulit seseorang tersebut, ia juga dapat membuat dinding penghalang yang masuk dalam kemampuan supranatural.

"Hei, duduk kembali. Mana sopan santunmu?!" teriak Guru yang sedang serius mengajar, yang pertama yang dikatakan Dopli, Murda mendapatkan kado dari kerabatnya hal itu adalah kejadian kemarin malam, yang kedua saat ia berangkat, ia tak sengaja tersandung batu, dan yang terakhir ia melihat ke luar jendela saat sedang pelajaran, dan mendapati dua pesawat sedang terbang di langit.

**

"Sekarang, aku percaya."

Murda duduk bersama Nita di kantin, ia memutar-mutar sedotan sambil meminum es yang hampir habis tersebut, ia sendiri sedikit pusing ketika memikirkan tiga hal yang dikatakan Dopli. Apa yang dikatakan menjadi nyata meski ia berusaha untuk tak mewujudkan hal tersebut.

"Kubilang juga apa?"
"Tapi, tetap! aku belum bisa menerimanya."
"Kau memang keras kepala ya?"

Nita lelah menanggapi Murda, harusnya ia tidak mengajaknya, namun Dopli menyuruhnya untuk mengajaknya. Meski Dopli tak mengenalnya namun ia tahu akan hal tersebut.

"Tentu saja, butuh hal besar untuk membuatku yakin!"
"Kurasa kau memang yakin terhadap seorang gadis saja."
"Hei jangan meledekku."

**

Di kamar terlihat Iva sedang duduk bersandar pada tembok sebelah kasurnya, ia memegangi lututnya, pandangannya kosong serta menyiratkan kesedihan. ia memakai gaun warna putih, meski putih menyiratkan akan kesucian namun dirinya sudah terjamah oleh orang lain, baginya warna putih menjadi warna kekosongannya saat ini.

"Subjek 220, professor memanggilmu?" ucap seorang berjas putih.

Ia pun berjalan dengan pandangan kosong, jiwanya sudah seperti robot, saat itu ketika kegadisannya telah terambil oleh orang lain. Ia protes kepada Louis, apa alasan yang membuatnya mengalami hal itu tanpa persetujuan darinya terlebih dahulu. Namun jawabannya selalu sama, demi penelitian.

"Bagaimana kabarmu Iva?"
"Seperti yang kau lihat."

Louis berbicara dengan santainya seolah tak pernah melakukan sedikit pun kesalahan. Sementara Iva, ia tak ingin melihat wajah orang tersebut, jadi ia menundukkan kepalanya saat berbicara, ia tak mampu untuk membencinya, hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang lemah.

"Wah, kalau begitu itu buruk. Tapi, setidaknya sekarang aku punya kabar baik untukmu."
"Apa lagi yang ingin paman lakukan?"
"Tidak ada, tapi mulai saat ini. Setiap hari jum'at hingga minggu. Kau bisa berjalan ke luar dari wilayah ini, tapi ingat, hanya ada 7 jam untuk tiap harinya, ini juga karena permintaan perawat sebelah, sepertinya dia cukup simpati terhadapmu."

Louis memberikan ponsel Iva kembali, yang sudah sebulan lebih tidak diperbolehkan memakai alat tersebut. Ia pun menerimanya.

"Nenek Namira yang memintanya?"
"Tentu."
"Dimana dia sekarang?"
"Dipindah tugaskan."

Iva tahu bahwa Louis berbohong, sesuai dengan penglihatan Iva, nenek Namira sudah disingkirkan. Iva sudah tak dapat mengekspresikan bagaimana kesedihannya, air matanya pun sudah ia habiskan seusai kejadian itu selama berhari-hari. Matanya pun menjadi sembab, ia berbicara pelan dan terlihat sudah tak memiliki asa.

**

Senja, sebuah alunan melodi dari akhir sebuah hari. Di tempat yang tak jauh dari perkotaan, ada dataran ilalang yang cukup luas. Berada di pinggir pantai, dan tepi dari jalanan pantura. Murda berjalan menyusurinya, menikmati udara yang mulai mendingin. Sesekali ia melihat ke arah matahari yang mulai terbenam.

"Kakek tua itu, mau saja Nita percaya."

Murda bergumam sambil menendang batu di pinggir pantai, ia sebenarnya tak percaya dengan perkataan orang tersebut, ia pun sedikit kesal bagaimana Nita percaya. Di sisi lain, ia juga ingin mengetahui keberadaan Iva dan cukup khawatir dengan Nita, akhirnya ia ikut campur dalam masalah tersebut. Beberapa saat ketika Murda berjalan, ia melihat seseorang sedang berdiri mengamati ombak laut, seorang gadis yang cukup muda, semakin mendekat ia seperti tak asing lagi dengan postur tubuhnya. Sampai akhirnya ia mengetahui bahwa gadis tersebut adalah Iva.

"Iva! Hey!" ucapnya meneriaki Iva yang terlihat belum menyadari keberadaannya.

SoulbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang