Part 14.1 : Kedalaman

13 1 0
                                    

Turvha, 10 September 2093

---

"Kalau begitu Dopli, tolong jelaskan rencananya?"
"Pertama pendemo akan memasuki tempat gedung penelitian, lalu mereka akan membuat kerusuhan di sana otomatis pihak kepolisian akan berusaha menenangkan dan fokus terhadap kerusuhan, sementara orang-orang yang ada di dalam menjadi panik sehingga fokusnya teralihkan, saat itu kita masuk ke bagian lain dari gedung penelitian ini."

Saat itu pun beberapa orang yang melakukan demo membuat aksi di depan gedung tersebut, beberapa berusaha mendobrak pagar, hal itu pun membuat polisi menembakkan tembakan peringatan. Sehingga kerusuhan pun terjadi. Sesuai dengan rencana Dopli, beberapa orang kemudian masuk melalui lorong bawah tanah. Dopli memimpin mereka, ruangannya cukup gelap tidak ada penerangan, tempat ini pun basah karena merupakan gorong-gorong air di perkotaan mereka berjalan pelan untuk berhati-hati apabila terdapat jebakan.

"Kalian benar-benar gila, membuat kerusuhan seperti itu," ucap Murda.
"Tentu saja, kita butuh hal gila, untuk menghentikan hal gila itu."

Semakin dalam, medannya semakin sulit untuk dilalui karena terkadang ada bebatuan dan beberapa benda yang bisa menggores kaki meski sudah menggunakan sepatu.

"Bau disini benar-benar tidak enak, aku harap di masa depan saluran pembuangan air bisa wangi."

Nita melihat di sekitar cukup merasa jijik dengan tempat ini rasanya ia ingin segera pulang setelah selesai dengan hal ini.

"Hei Murda," ucap Nita
"Ada apa."
"Tidak, tidak ada apa-apa."
"Sudah kubilang, harusnya kau tidak ikut, disini berbahaya untukmu."
"Bukan itu masalahnya."

Mereka berbicara dengan berbisik, memang tak banyak yang bisa dibicarakan di tempat yang kotor dan gelap. Mereka yang masuk hanya bisa waspada dan hati-hati dengan yang mereka pijaki. Pengap dengan kadar udara bersih yang sedikit membuat Nita dan Murda yang tak terbiasa merasa tak kuat, meski mereka telah membulatkan tekad untuk membawa kembali Iva, peran mereka dibutuhkan karena mereka merupakan teman terdekat Iva.

"Baiklah, di sini tempatnya," ucap Dopli

Ia berhenti dengan menunjuk sebuah sisi tembok, kemudian menyentuhnya dengan telapak tangan. Dopli kemudian berkonsentrasi ia memejamkan matanya. Sebuah garis yang terbentuk dari semen itupun menyala, dan membuka sebuah lubang.

**

"Bagaimana Iva, mau melakukannya lagi?" ucap Louis
"Melakukan apa?"

Di hadapan Iva saat ini ada orang yang telah mengambil kegadisan Iva secara paksa. Namun juga ada beberapa orang di sekitarnya. Iva saat ini duduk di sebuah kursi kecil berada di pojok ruangan dengan dikelilingi orang-orang tersebut. Kali ini Louis menanyai Iva apakah ia mau melakukannya.

"Jangan pura-pura tidak tahu, bukankah bulan lalu kau juga melakukannya dengan teman sekolahmu?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Dasar, kini bukankah kau sudah jadi pelac-"
"Hentikan ucapanmu itu!"

Mendengar perkataan itu dari Louis tentu Iva tidak menyukainya. Tapi ia tidak tahu, bagaimana Louis bisa tahu segala tindakannya itu. Ia sudah mencari alat yang mencurigakan ketika pergi. Namun sepertinya tindakannya selalu di awasi.

"Akan kuberitahu saja, aku sudah menanam chip di dalam tubuhmu. Jadi aku bisa melacak keadaanmu dan dimana kamu."
"Semuanya?"
"Tentu saja chip ini tidak dirancang untuk merekam segala aktivitasmu, begini-begini aku juga masih peduli dengan privasi orang lain."

Iva tidak heran, tapi masih ada kemungkinan Louis berbohong, Iva tidak percaya begitu saja dengan perkataannya. Di tempat ini, segala kemampuan dinetralisir, dengan kata lain ia tak dapat membaca pikiran seseorang. Ada energi dengan skala tertentu yang dapat membendung segala aktifitas supranatural.

"Jadi, bagaimana, kau mau melakukannya?"
"Ada pilihan lain?"

Iva berusaha bersikap tenang, meski ia sudah dapat menghilangkan traumanya itu. namun hal yang bakal dilakukan untuk kedua kalinya, bisa berakibat menimbulkan trauma kembali. Ia tidak bisa panik di saat seperti ini. Jika gadis selain dirinya, pasti sudah tak dapat bertahan dengan situasi ini. Namun ia berusaha kuat, terlebih lagi dengan kehadiran orang-orang yang ingin menyelamatkannya. Ia berusaha sabar akan hal itu.

"Tentu ada? Kau mau? ini juga cukup menguntungkan untukmu dari pilihan ini."
"Kalau begitu, baiklah aku pilih pilihan lain itu."

Iva heran, ia tak menyangka Louis bakal memberikan pilihan lain. Tentu saja, tanpa berpikir panjang Iva langsung menyetujuinya, Entah apa yang direncanakannya, namun tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya menjadi panik atas keputusan Iva.

"Tunggu Tuan! Kau tidak akan melakuk-"
"Sesuai perjanjian."

Tanpa pembicaraan selanjutnya Louis mengambil sebuah alat di sakunya, lalu menekan tombol yang ada pada alat tersebut. Tanpa diduga oleh Iva ketika Louis menekannya, kepala orang-orang tersebut meledak sehingga bagian organnya pecah berserakan menimbulkan percikan darah yang cukup deras. Hal itu membuat Iva kaget dengan yang dilakukan oleh Louis. Satu persatu tubuh mereka bergelimpangan, tanpa berteriak mereka meregang nyawa satu-persatu. Darahnya menyelimuti ruangan ini, hingga mengenai tubuh Iva dan juga Louis.

"Kenapa?"

Mata Iva hanya mampu terbalak melihat hal yang terjadi, dalam hidupnya baru kali ini ia melihat pemandangan sekeji ini, ia melihat darah yang menyelimuti tubuhnya serta orang-orang yang tergeletak.

"Jangan bengong seperti itu, tentu saja mereka sudah sepakat dengan hal ini."
"Jadi kenapa? Kenapa paman tega, seolah nyawa tidak ada harganya."
"Salah satu dari orang tersebut memperkosamu, apa kamu tidak merasa puas!"
"... Tapi, mereka?"
"Kau tahu, mereka adalah narapidana dengan kasus berat."
"..."

Iva tak menjawab, Iva kemudian hanya mengikutinya saja, meninggalkan ruangan yang sudah penuh dengan darah dari kepala yang pecah. Iva mengikuti Louis masih dengan tubuh bersimbah darah berjalan melalui lorong. Dan saat itu kemudian Louis menyuruhnya mandi dan berganti pakaian yang cukup mencolok, Iva sudah merasa tidak enak dengan hal tersebut. Ia pun tak berani melihat masa depan apa yang akan terjadi, jika ia lakukan dan hasilnya buruk maka ia seperti melakukan hal tersebut selama dua kali. Kemudian setelah berganti pakaian Iva pun di ajak ke suatu ruangan dengan Louis. Namun ia tak menyangka di ruangan tersebut ia melihat Ayahnya yang di pindahkan di sebuah kamar seperti halnya ruangan pengantin baru yang penuh dengan hiasan romantis.

"Apa maksudnya ini paman."
"Inilah pilihan keduamu?"
"Lalu aku harus apa?"
"Seperti yang kau lakukan sebelumnya."

Louis kemudian menjelaskan bahwa ia dapat menyembuhkan ayahnya, hanya saja dengan melakukan hubungan selayaknya suami istri dengan ayahnya, Iva dapat memfungsikan roh yang lumpuh, dengan mengalirkan energi rohnya yang stabil tersebut.

"Bagaimana jika aku tidak mau melakukannya?"
"Mungkin bisa, tapi kau takkan bisa melihat wajahnya lagi."

Iva tak bisa menolak, nasibnya selalu buruk setiap waktu seolah tidak ada hal baik lagi. Hal yang selalu ia harapkan selalu berakhir dengan hal yang tidak diinginkannya. Meski itu untuk kesembuhan Ayahnya, tapi sebagai anak ia harus melakukan hubungan selayaknya suami istri dengan Ayahnya sendiri adalah sebuah kesalahan.

Iva sejenak mengamati Ayahnya yang pandangannya kosong, Iva mendekat menuju ke kasur tempat Ayahnya duduk yang mengamati ke arah samping. Iva mencoba mengelap wajah Ayahnya tersebut dengan pipinya, Iva meneteskan air matanya sedikit. Meratapi nasibnya yang harus melakukan hal-hal bejat. Tapi demi menyelamatkan Ayahnya. Ia rela melakukan itu.

"Maaf Ayah."

Iva kemudian melucuti baju ayahnya yang diam dilanjutkan Iva yang mulai melepas gaunnya sembari disaksikan oleh Louis, ia menahan malu, menahan seluruh hinaan yang ditujukan padanya. Eksperimen tanpa moral ini harus ia lakukan.

SoulbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang