Part 3 : Ancaman

37 1 2
                                    

Turvha, 13 Juni 2093

---

Begitu sampai di rumah, Iva langsung merebahkan badannya di kasur, ia tidak punya cukup tenaga untuk berdiri, nafasnya sedikit tersengal. Rupa-rupanya istirahat di UKS tidak cukup untuk memulihkan kondisinya.

"Kenapa denganku?" gumamnya sembari mengamati jari yang terkena jarum kemarin. Ia berpikir apakah itu penyebabnya, perasaannya gelisah. Tiba-tiba ia melihat jarinya kembali mengeluarkan darah, ia segera berdiri lalu dengan langkah gontai dan sedikit tak mampu menjaga keseimbangannya ia menuju kamar mandi lalu mencucinya.

"Kenapa?! Kenapa tidak mau berhenti."

Ia buru-buru keluar dari kamar mandi kemudian mencari perban dan kembali ke kamarnya. Ia membebal jarinya cukup banyak, ia merasakan rasa sakit yang tak pernah terbayangkan serasa luka itu menjalar dan menusuk ke tiap bagian tubuhnya. Tiba-tiba ia kehilangan keseimbangannya dan terjatuh di kasur. Ia tak dapat menggerakkan tubuhnya seinci pun, bahkan untuk berkata-kata. Bernapas pun ia kesulitan, pandangannya serasa kabur. Sejenak ia berpikir apakah dia akan mati sebentar lagi karena kecerobohannya, hal itu membuatnya berpikir tentang Ayahnya. Jika ia pergi, maka Ayahnya pasti akan sangat sedih bila kehilangannya, setelah itu ia kehilangan kesadarannya karena tak mampu menahan sakit yang luar biasa itu.

Beberapa jam kemudian Iva terbangun, tubuhnya terasa sehat seperti biasanya, ia melepas perbannya sudah tidak ada luka di jarinya. Ia kemudian beranjak dari kasurnya lalu menata rambutnya sambil melihat ke arah cermin. Seketika Iva kaget ketika mendapati kornea mata kanannya berubah warna menjadi hijau. Ia pun bingung dengan hal itu, ia jelas tak akan memberi tahu Ayahnya tentang keadaannya. Disamping itu akan menganggu pekerjaan Ayahnya, hal itu juga membuat Iva terkena masalah. Ia kemudian mencari sebuah peralatan perban dan kain, membuat sebuah penutup mata untuk menutupi mata kanannya. Ia pun segera membersihkan darah yang tercecer di lantai sebelumnya. Setelah melihat semua itu menyadari bahwa kesakitan sebelumnya bukanlah mimpi.

Jam menunjukkan pukul 4 sore, karena pagi hari ia sudah memasak, jadi ia hanya perlu mempersiapkan beberapa bahan sebagai pelengkap sajian. Saat selesai, ia kemudian ke Lab untuk memanggil Ayahnya, untungnya Ayahnya tidak menyadari kejadian Iva sebelumnya.

**

Tak jauh dari rumah tempat tinggal Iva dan Ayahnya, di sebuah gedung seorang pria berdiri tegap mengawasi beberapa tempat, ia kemudian menelpon seseorang menggunakan ponsel tangan. Ia hanya perlu menempelkan jari telunjuknya ke telinga untuk menghubungi seseorang dari jauh.

"Bos, aku sudah menemukan target yang cocok, tapi ada masalah."

Kemudian orang tersebut mendengarkan yang dikatakan bosnya, ia kemudian menjelaskan situasi yang ia katakan sebelumnya.

"Kalau begitu, bos akan berbicara dulu padanya."

Ia pun menutup pembicaraannya setelah itu. Dan kembali masuk ke dalam gedung.

**

"Va, kenapa kau memakai penutup mata?"
"Ini adalah Style."

Iva sedikit melakukan gaya dengan tingkah kekanak-kanakannya, seperti seorang superhero yang akan melakukan pose sebelum aksi.

"Ada-ada saja, bagaimana sekolahmu?"
"Baik, tumben Ayah bertanya."

Ia melihat wajah Ayahnya sudah tidak terlihat stress lagi, tentu saja karena eksperimennya sudah berhasil, saat anaknya bilang seperti itu, Endy langsung menanggapinya dengan jempol, saat ini ia bisa bersantai, tinggal mengatur jadwal untuk presentasi beberapa minggu lagi.

"Ngomong-ngomong Yah, tadi aku lihat orang-orang berjalan demo di depan sekolah."
"Lalu?"
"Aku ingin dengar pendapat Ayah tentang mereka."
"Kurasa mereka ada benarnya, setiap kemajuan pasti akan ada hal yang dikorbankan."
"Apa Ayah setuju dengan mereka."
"Bisa dibilang ya, bisa dibilang tidak, tapi perlu diketahui, ilmu pengetahuan itu netral, ia tak memihak kepada kebaikan maupun keburukan, ilmu pengetahuan hanya menawarkan sebuah perubahan."

Iva mencerna apa yang dikatakan Ayahnya, tentu ia paham. Namun Iva jadi tak mengerti bila pengetahuan hanya menawarkan perubahan, bila segala sesuatu hasilnya sama saja, bukankah lebih baik ke awal saja. Hal tersebut yang menjadi pikiran Iva.

"Mau kemana Va?"
"Mencari udara segar!"

Iva berdiri dari kursi, kemudian ia melangkahkan kakinya untuk keluar dan membuka pintu, ia kembali memandangi langit, namun kali ini langit yang sudah malam. Tapi ia tak mampu melihat bintang-bintang karena jalanan udara menghalangi pandangannya.

Kembali ia menyandarkan punggungnya ke tembok teras, ada perasaan gelisah yang menyertainya. Ia berpikir apakah lebih baik ia bercerita pada Ayahnya tentang sesuatu yang menimpanya, atau menyimpannya saja. Namun sesaat setelah itu, ada seseorang datang ke rumahnya, di pagar terlihat seseorang sedang membunyikan bel pagar. Hal itu membuat lamunan Iva buyar. Seragamnya berjubah putih dengan beberapa orang memakai kemeja, yang sudah pasti itu adalah bodyguardnya. Iva yang tahu hal itu kemudian memanggil Ayahnya. Saat itu pula Endy kemudian menemui mereka, sementara Iva masuk ke dalam menunggu Ayahnya selesai berbicara.

**

"Bagaimana Professor Endy," ucap pria tersebut.

Yang tak lain adalah kepala dari pusat penelitian, penampilannya nyentrik dengan kacamata selayaknya professor, ia terkadang membetulkan kacamatanya saat berdiskusi, rambutnya rapi di sisir ke belakang. Dalam hal tampilan. Tentu ia selevel dengan para artis papan atas.

"Jadi setelah semua ini, bisakah kau sedikit berperikemanusiaan Louis."
"Sudah berulangkali. Jangan panggil aku Louis, panggil aku pak kepala atau professor juga boleh."

Nampak mereka berdua serius, Louis yang sekarang menjabat menjadi kepala pusat penelitian Roh itu memiliki sikap yang sedikit congkak, meski ia termasuk ilmuan cerdas, namun perilakunya cukup buruk terhadap yang lain. Hal itu membuat Endy merasa tidak nyaman jika berdiskusi dengannya.

"Kalau begitu serahkan saja anakmu sekarang."
"Beri aku waktu Louis, aku akan mengembalikannya seperti semula."
"Ayolah Professor, bukankah pekerjaan kita untuk perkembangan dunia ini."

Mereka berdua membicarakan tentang Iva, kedatangan kepala penelitian tersebut tidak lain adalah karena anak buahnya memberi tahu ada seseorang yang terdeteksi memiliki kekuatan Roh yang tidak biasa, dan tentu itu adalah disebabkan kejadian saat Iva terkena goresan dari bola jarum tersebut.

"Apa maksudmu dengan membuat anakku menjadi bahan ujicoba?"
"Ayolah, lagipula kami akan merawatnya dengan baik."

Tanpa peringatan apapun, Endy langsung mencengkeram kerah baju Louis, membuat penjaga disekitar Louis bertindak dengan menyiapkan senjata. Ia mengerti apa yang dimaksud dengan merawat dengan baik. Ia tidak percaya dengan hal itu. Membuat manusia menjadi bahan uji coba adalah dosa terbesar bagi para ilmuan.

"Apa kau ingin mencari musuh Louis."
"Tentu tidak Professor, baiklah-baiklah aku tidak memaksa, aku beri waktu 3 hari untuk membuatnya normal kembali."

Louis kemudian beranjak untuk mengakhiri pembicaraan. Saat itu pula ia langsung pergi dari tempat tersebut.

"Oh ... Iya professor, jika selama 3 hari kau tak dapat mengembalikannya, kau harus tetap menyerahkannya kepada kami, atau kau akan menyesalinya."

Louis sedikit tersenyum sinis, dengan menaikkan nada di akhir kalimat seperti halnya sebuah ancaman. Endy terduduk ia tak tahu harus memikirkan apalagi untuk membuat anaknya tidak terlibat dengan penelitiannya itu.

"Aahh! Kenapa akhirnya selalu seperti ini!"

Ia menggebrak meja di teras, hal itu terdengar oleh Iva yang merebahkan diri di kamarnya, sehingga membuatnya terbangun dan langsung pergi ke luar rumah. Ketika ia sudah berada di teras, ia melihat raut muka Ayahnya yang nampak muram dan begitu depresi. Saat itu, Iva ingin mendekat dan mencoba untuk menenangkan Ayahnya, namun ia tak tahu permasalahannya, jadi ia kembali masuk ke dalam ruangannya.

SoulbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang