Part 9 : Pelarian

19 1 0
                                    


Turvha, 17 Juli - 24 Agustus 2093

---

Hari kedua Iva mendapat jam bebasnya, ia kembali mengunjungi pantai ilalang tersebut. Meski itu tidak memperbaiki masa lalunya, namun ilalang yang menari karena hembusan angin, dan suara deru ombak bisa sedikit membuatnya lupa tentang hal buruk yang dialaminya.

"Iva, kau datang kesini lagi?"
"Kau juga, Murda."

Kali ini mereka berpapasan bertemu sebelum benar-benar sampai di tempat tujuannya. Iva hanya memakai gaun putih polos ketika berada di tempat ini. Pakaiannya tersebut tentu cukup serasi dengan dirinya yang kecil itu. Mereka kemudian berjalan beriringan.

"Sudah kukatakan aku datang setiap hari kesini."
"Kalau aku hanya sampai besok."

Tatapan Iva masih cukup sendu, dan itu terlihat jelas bagi Murda, membuatnya sedikit tidak enak bila berada dekat dengannya. Laki-laki yang badannya kurus itu dengan rambut potongan short layer style bingung menentukan pembicaraan.

"Hei Va, mau main di sebelah, ada game dingdong."

Tanpa pikir panjang, Murda malah langsung mengutarakan hal yang tidak masuk akal, padahal disini ia juga hanya ingin melihat matahari terbenam. Tapi karena Iva yang seperti itu. Membuatnya sedikit cemas akan hal itu.

"Baiklah, jika itu membuatmu senang."
"Eh, aku tidak memaksa Kok!"

Namun Iva tiba-tiba berhenti setelah itu, membuat Murda sedikit heran dengan tingkah lakunya, dari semua perempuan yang ia hadapi, hanya Iva yang terlihat sangat tenang. Tentu saja, jantung Murda serasa berdebar-debar.

"Aku juga tidak terpaksa."
"Ba-baiklah."

Ada perasaan yang begitu aneh menyelimuti Murda, hal itu belum pernah dirasakan sebelumnya. Jika itu adalah wanita lain, ia sudah pasti mendominasi suasana, namun kali ini berbeda. Terlihat Iva yang mendominasi saat ini.

Mereka pun pergi di sebuah pusat game center, karena sore maka hanya ada beberapa orang di tempat tersebut, namun Murda baru menyadari sesuatu yang penting setelah itu, jika hanya berdua antara laki-laki dan perempuan di suatu tempat, maka itu bisa dinamakan kencan. Dan hal itu membuat Murda menjadi gugup karena tidak pernah terjadi sebelumnya dengan gadis manapun yang ia pacari.

"Ada apa?" ucap Iva
"Ti-tidak apa-apa."

Ketika Murda mencoba menukar uang dengan koin ke pelayan. Tangannya sedikit gemetar ketika menyadari itu, hal itu pun membuat Iva bertanya padanya sehingga Murda langsung refleks menjawab dengan sedikit grogi. Ia benar-benar malu dengan situasi saat ini, terlebih lagi Iva cukup muda dibandingkan dengannya. Mereka berdua kemudian mencoba salah satu game, Murda memilihkan game pertarungan yang bisa dimainkan dua orang, dimana setiap player dapat memilih beberapa karakter untuk ditandingkan.

"Kau pernah memainkannya kan?"
"Dulu, sewaktu kecil."
"Kalau begitu, aku tidak akan segan-segan. Perlu kamu ketahui aku sudah juara beberapa kali dengan orang lain, seluruh mantanku pun tidak ada yang bisa mengalahkanku sekali saja."

Ucap Murda dengan bangganya, ia memang juara dalam hal permainan. 30 persen hidupnya, ia dedikasikan untuk game ini.

"Begitu ya?"

Iva masih menyikapinya biasa saja, permainan pun dimulai, ronde pertama Murda menang dengan nilai sempurna.

"Murda, kamu tanpa ampun ya?"
"Hehehe, aku hebatkan!"
"Ah Iya, Apa pacarmu selalu kamu ajak bermain begini?"
"Tentu saja!"
"Kalau begitu, kamu anggap aku apa?"
"Eh! Jangan salah sangka, bukan pacarku saja yang kuajak bermain disini."

Beberapa saat kemudian, Murda lengah karena mendengar perkataan tersebut, hal itu membuat Iva langsung mengalahkannya dalam beberapa serangan.

"Yay, aku menang," ucap Iva dengan nada datar.
"Hei, itu karena kau tadi berkata yang aneh-aneh jadi aku kalah."
"Memang hal tersebut aneh?"
"Ya pokoknya aneh!"
"Masih ada satu ronde lagi kan?"
"Baiklah kali ini kau tidak akan punya kesempatan."

Game-pun dimulai namun setelah itu yang terjadi malah membuat Murda semakin heran, ia kalah telak oleh Iva, gaya Iva berbeda dari sebelumnya, ia seperti CPU level hard. Dimana terus menghalau jurus-jurus yang Murda keluarkan.

"Hei, kau pasti sudah berpengalamankan Va?"
"Selalu ada alasan untuk orang yang kalah."
"Hei! Mau kemana?"

Iva saat itu kemudian berdiri, karena ia bukan maniak game, hal tersebut membuatnya lelah. Ia sedikit tersenyum tipis melihat kekalahan Murda tersebut. Senyum tipisnya itu dilihat oleh Murda, ia sedikit merasa lega ketika Iva tersenyum kepadanya, meski tak sesuai dengan rencananya.

"Aku mau pulang."
"Besok kita bermain lagi?"
"Baiklah, da!"

Iva melambaikan tangannya tanpa menoleh kebelakang. Itu menjadi sebuah hal baru bagi Murda, dimana ia belum pernah dikalahkan, namun kali ini ia merasa telah kalah telak. Selama beberapa hari mereka pun bertemu, sesekali bermain di game center. Ia juga tak mau merasa dianggap membosankan bagi Iva. Sesekali Murda mengajak makan malam di tempat lain. Mereka melakukan hal tersebut selama berminggu-minggu. Dan semakin lama semakin timbul perasan yang begitu mendalam yang menyeruak dalam diri Murda.

**

Waktu sudah menginjak malam hari, Murda dan Iva makan malam di sebuah tempat yang cukup bagus. Berada di pelataran. Hawa dingin begitu terasa di tempat ini, hembusan angin karena dekat dengan lautan cukup menyejukkan.

"Hei, Murda. Apa kau ..."
"Apa?"

Iva berucap namun sebelum menyelesaikan perkataannya, ia berhenti. Hal itu membuat Murda penasaran dengan apa yang akan dikatakannya.

"Apa kau benar-benar pernah berciuman?"

Sesaat setelah mendengar hal itu, Murda hampir memuntahkan isi makanan yang sudah masuk ke mulutnya, ia kaget ketika Iva berkata seperti itu.

"Te-tentu tidak. Maksudku pernah."
"Kau gugup sekali."
"Baiklah, kurasa memang tidak."

Murda berbicara pelan, ia akhirnya mengaku di hadapan Iva, sebelumnya ia memang suka menggoda lawan jenis dengan berbagai pengalamannya tersebut, namun aslinya ia memang tidak pernah berciuman bahkan menyentuh perempuan sekalipun.

"Sudah kuduga, pasti kau putus karena game kan?"
"Ehehe, iya."
"Payah sekali."
"Iya, aku memang payah tapi!"

Murda sedikit bernada tinggi, meski hanya beberapa minggu bersama Iva, ia sudah tak bisa menahan perasaan yang tidak karuan menyeruak dalam dirinya, ia yakin kali sudah menemukan seorang gadis yang benar-benar tahu tentangnya. Meski Iva memasang wajah yang sedikit geli melihat tingkahnya dan berekspresi dingin, tapi itu tidak berpengaruh bagi Murda.

"Tapi?"
"Sebenarnya aku."

Ia cukup ragu untuk mengungkapkannya, karena kali ini situasinya benar-benar berbeda. Dimana biasanya ia hanya mencari kecantikan seorang lawan jenis, namun kali ini berbeda, ia bahkan tak mempersiapkan apapun untuk melakukan hal tersebut.

"Katakan saja."

Jantung Murda serasa berdegup kencang, semakin lama hal itu membuatnya hampir seperti mengangkat sebuah mobil yang cukup berat. Dan akhirnya ia pun mengatakannya.

"Sebenarnya, aku menyukaimu!"

Ucapannya tidak lancar, dengan nada tinggi Iva masih diam mengamati setelah itu, membuat Murda merasa malu akan hal itu. Iva tak memperlihatkan ekspresi apapun saat mendengarnya.

"Bukannya kau sudah sering mengatakannya?"
"K-kali ini berbeda."
"Apa yang membuatnya berbeda?"

SoulbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang