Aira bingung dengan apa yang ia katakan pada Angkasa.
Teman pulang? Seriously?
Perempuan itu menghela napasnya, lalu meletakkan tasnya di kursi yang ia tempati di kelas. Tiba-tiba Satrio dan Nanas menghampirinya, " Makan yuk, ra. Laper aing," ajak Nanas menggoyahkan tangan Aira. Tumbenan Aira di ajak begini sama Nanas ataupun Satrio.
Padahal ketiganya hanyalah partner streaming film doang.
Aira menghela napas lalu menyanggupi ajakan Nanas. " Ada apaan sih sebenernya?" tanya Aira pada hatinya dan dirinya sendiri. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa ini karena kebiasaannya yang selalu parno duluan?
Aira kini bernapas lega, tidak ada sosok Angkasa. Dirinya masih di landa rasa bersalah karena hanya menganggap Angkasa dengan kutipan ojek pulang, yang Aira maksud ya dia hanyalah orang mengantarnya pulang. Bukan itu yang Aira maksud. Kemarin moodnya sangat kacau. Aira tidak tahu ia akan melakukan apa agar Angkasa mendengar penjelasannya? Saat ini Aira tidak tahu apa yang akan ia lakukan selain mengantarkan dua mahluk minion lapar ini ke kantin.
" Kesambet petir halilintar boboiboy bukan lu, ra?" Aira menghela napasnya kasar lalu meninggalkan keduanya. Mungkin Aira terlahir menjadi manusia tergabut, termenyebalkan, dan gampang kesal.
Aira membuka lokernya, mencari buku paket bahasa Jerman, namun seketika pandangannya mengarah ke pintu loker yang tertempel foto polaroid dirinya dengan Angkasa ketika keduanya kotor karena whipped cream dari kue ulang tahun Angkasa, dan di bawah foto Polaroid tersebut, dengan pulpen tertulis, ' Lo itu creepy, dingin, jutek, tapi ngangenin '. Aira tersenyum, sambil menggigit bibir bawahnya.
" Iya, lo emang creepy, sa. Tapi sangat disayangkan bahwa lo itu orangnya ngangenin,"
Aira menutup lokernya setelah berbicara dengan dirinya sendiri lalu berjalan ke gedung bahasa. Seseorang menepuk bahunya tiba-tiba, Aira takut untuk menengok atau kembali menatap mata Angkasa setelah kejadian kemarin. Aira tidak mau.
" Ra, nanti bantuin gue PR Biologi dong," pinta Gilang berjalan beriringan dengan Aira. Kini gadis itu menghela napas lega, " Sip. Tapi temenin ke toko buku dulu ya, mau beli novel sama bahan tugas." Gilang mengangguk lalu pamit ke gedung IPS karena bel sudah berdering.
***
Aira membuka buku sketsanya lalu menggambar wajah seseorang dengan pensilnya karena guru PPL sekarang sangatlah membosankan. Untung pelajaran bahasa korea, jadi Aira cukup mengerti tentang bahasa tersebut. Kebiasaan nonton drama korea dengan Nanas, juga Satrio.
Namira melirik buku sketsa Aira. Dia tahu, Aira sedang galau karena kejadian kemarin dengan Angkasa. Namira menahan senyumnya, Aira menggambar wajah Angkasa. Begitu detail Aira menggambarnya sehingga terlihat seperti sesosok yang ia rindu.
Bel berdering, semua murid berhamburan keluar sementara Aia mengeluarkan kotak bekalnya. Hanya mie samyang yang bisa mengertinya saat ini.
Aira memakannya sambil menonton Descendants Of The Sun yang ia download dengan headset yang melekat di kedua telinganya. Aira memutar garpunya dan memakan gulungan samyang di garpu tersebut dengan setengah perasaan ikhlas, dan setengah perasaan tidak ikhlas. Dagu Aira berpangku pada tangannya, menopang agar Aira tidak usah melekatkan kepalanya di meja, karena meja bagaikan magnet tidur bagi Aira.
Sudah, ganti topik saja.
Angkasa yang berniat memberi tugas seninya pada Bu Dian namun kini dia berhenti di depan jendela tempat Aira duduk sambil mengaduk sisa samyangnya. Angkasa menggeleng, menghapus pikirannya tentang Aira. Toh gadis itu hanya menganggapnya teman pulang.
YOU ARE READING
Airisya,
Dla nastolatków( Proses Revisi Alur Selanjutnya) Airisya, Aku berterima kasih pada senja yang mempertemukan kita, dan Tuhan yang mempersatukan kita. Kini aku membiarkan senja membiru, tenggelam tergantikan oleh bintang yang menyinari wajahmu. Jika ini jalan...