"Karena gue sayang sama Aira! Gue sayang sama dia, gue gak mau dia terluka hanya karena cinta."
Angkasa tidak bisa berhenti memikirkan apa yang Gilang katakan di toilet sekolah. Angkasa terus berpikir keras, apa yang menarik dari Aira?
Airisya Audya Pratama, gadis keras kepala, jahil, dan termasuk dalam jajaran siswi berprestasi di SMA Garuda Nusantara. Namun satu yang membuat Angkasa menganggap Aira hanya satu, cara Aira mencintai seseorang dengan ketulusannya.
Rasanya mantan sahabat Angkasa sudah tidak bisa di ajak berunding secara kekeluargaan, seperti dulu. " Lo kenapa buat gue dan Aira menderita," gumam Angkasa mengatur napasnya. Matanya menatap lamat langi-langit kamarnya yang ia tempelkan foto-foto polaroid masa kecilnya, dan ada beberapa foto dirinya berdua bersama Aira.
Sudah bukan rahasia umum bahwa dirinya dengan Aira seperti orang pacaran, padahal bukan. Satu notifikasi meluncur di layar ponsel Angkasa, laki-laki itu dengan malas membukanya.
AirisyaAP: gue gabut. Jalan kuy
Angkasa Wijaya: taman kota. Sejam lagi.
AirisyaAP: oksip
Angkasa melempar ponselnya, entah kemana ponsel itu berada tapi Angkasa yakin ia melemparnya di dekat bantal. Tak lama, matanya menatap papan pengingat yang ada di meja belajar, dimana pr-pr ia tempelkan di papan pengingat itu dengan sticky note dan paku payung.
Dan satu foto dirinya bersama Aira dan Gilang ketika pertandingan yang di menangkan sekolahnya empat bulan yang lalu.
***
Aira menutup pintu mobil, " Nge date mulu, kapan di official-in?" goda Arga membuat pipi Aira merona.
Kakak laki-lakinya itu tak henti-hentinya menggoda dirinya perihal hubungannya dengan Angkasa, juga Gilang. " Iya terserah lau deh, semerdekanya aja," ucap Aira langsung kabur menuju salah satu bangku taman kota.
Gadis itu duduk, menyumpalkan earphone dan mendengarkan lagu-lagu kesukaannya sambil membaca buku Critical Eleven yang belum ia selesaikan. Aira ikut dalam komunitas pecinta buku, jadi ia selalu mendapatkan referensi buku-buku bagus, seperti Critical Eleven ini.
Seseorang mengambil earphone yang tersumpal di telinga kiri Aira lalu menyumpalkan di telinga kirinya, sehingga kepala mereka dekat. Aira menggerutu, " Siapa sih–" Angkasa sedikit berteriak, " Gini-gini enakan taman kota daripada mall." Aira mengangguk setuju.
Angkasa menawarkan Aira untuk menggandeng tangannya, " Supaya lo gak di colek sama cowok lain."
" Dih siapa elo." Aira melengos, namun ia mengulum senyumnya lantaran perkataan Angkasa yang cukup membuatnya bahagia. Jatuh cinta gak semenyakitkan ini.
Aira sudah melupakan Bagas, cukup mudah karena mengingat hari-harinya di isi oleh Angkasa dan Gilang, sementara Bagas hanyalah orang asing yang tiba-tiba ia kagumi. Angkasa menggamit tangan Aira sepanjang keduanya berjalan-jalan di taman kota. " Jadi, almarhum Papa lo menikah sama Mamanya Lena?" Angkasa mengangguk, " Iya, awalnya gue gak terima tapi ya mau gimana lagi, Papa emang sayang sama Mamanya Lena, tapi kadang Papa masih keingetan Mama karena Mamanya Lena yang kerjanya jauh di eropa, trus Lenanya dapet beasiswa disana."
" Agak berat ya punya Mama baru, tapi Kirana butuh banget peran ibu, walau sebenernya gue bisa aja kayak Mama, gue bisa masak buat dia, gue bisa dongengin dia tidur, tapi Kirana suka nangis tengah malem keinget Mama, apalagi dia sekarang baru empat tahun Mama Papa udah meninggal. Jadi, gue berusaha buat tumbuhin Kirana jadi gadis yang kuat dan gak manja, dan sekarang Kirana udah mulai kuat, dan malah anehnya dia jadi nganggap gue sebagai ayah, dan lo jadi ibunya."
YOU ARE READING
Airisya,
Teen Fiction( Proses Revisi Alur Selanjutnya) Airisya, Aku berterima kasih pada senja yang mempertemukan kita, dan Tuhan yang mempersatukan kita. Kini aku membiarkan senja membiru, tenggelam tergantikan oleh bintang yang menyinari wajahmu. Jika ini jalan...