AIRA berlari menuju sosok Arga yang sedang mengetik di laptopnya. Aira sedikit kasihan pada Arga yang harus lembur dan terpaksa meninggalkan kuliahnya hanya untuk membantu Arya. Kadang Arga jika ada waktu luang dirinya ikut kuliah online.
" Nih buat lo," Aira menutup pandangan Arga pada laptopnya. Lantas, Arga mendongak lalu berdiri meninggalkan laptopnya. Mengacak rambut lepek Aira sekarang yang Arga lakukan, membuat Aira cemberut, " Ihh gak suka."
" Sukanya Angkasa," cibir Arga menirukan suara Aira. Sementara Arya yang mendengar keributan langsung mengeluh, " Aduh ini kalian berantem mulu." Mata Arga nyalang menatap Aira, " Nyusahin."
Aira mendelik kesal, " Najis lu." Aira bergidik jijik lalu pergi ke kamarnya. " Mager mandi," gumam Aira sambil merebahkan dirinya di kasur, matanya tak bisa lepas dari langit-langit kamarnya, mengingat kembali kejadian demi kejadian yang ia lalui hari ini. Namun satu pikiran menghambat semuanya membuat Aira sadar. Lantas, Aira langsung duduk dan mengacak rambutnya kesal.
" Gue udah merusak persahabatan, karena cinta." Aira bergumam sedih. Betapa bodohnya dirinya di butakan oleh cinta.
" Gue gak bisa selamanya milikin dia," lanjut Aira sambil menatap foto-foto polaroid dirinya bersama Angkasa dan Gilang. Satu polaroid membuat Aira menangis, foto dirinya bersama sahabat-sahabat SMPnya. Ada Zahra, Nanda, Alifia, Nashattra, dan Kalila. " Maafin gue." Aira mengelus foto tersebut pelan, sudah lama ia tidak berkomunikasi dengan mereka karena keretakan yang disebabkan oleh Aira.
Tangan Aira dengan gesit menyalakan laptopnya dan membuka aplikasi skypenya, dan membuat video call dengan kelima sahabatnya.
" Halo?" sapa Nashattra ragu, lalu setelah Indira menyapa ke empat sahabat lainnya menyusul.
" Maafin g–gue," kata Aira lirih menahan tangisnya yang semakin menjadi-jadi, membuat semua sahabatnya merasa iba. " Maaf gue egois," isak Aira sementara Nanda tersenyum manis, begitu yang lainnya.
" Justru kita yang minta maaf, lo itu udah baik sama kita."
Alifia menggigit bibir bawahnya. Greget. " Jadi kita baikan nih?" Dengan serempak, Aira dan teman-temannya tersenyum ceria.
" Best friends will always together no matter what happen even the strom who comes to separate us." Nashattra yang tinggal di Amerika menampilkan sekitarnya. Rerumputan hijau, bunga yang bermekaran. Ayah Indira bekerja sebagai duta besar, jadi Indira sering berpindah negara karena pekerjaan ayahnya.
" Musim semi menanti," serunya. Never been better before.
***
Angkasa tersenyum samar, melihat Aira keluar dari pintu utama rumahnya dan berlari ke arahnya, " Tumben gak kebo," ledek Angkasa membuat Aira dalam sekejap memberikan tatapan tajam, setajam silet yang siap menggorok Angkasa.
" Ampun say, ampun."
Aira melengos, lalu pamit pada pak Salam, " Pak, aku berangkat ya, pulang jemput ke sekolah aja. Nanti saya telepon," Pak Salam mengangguk sambil tersenyum tulus pada anak majikannya yang hendak berangkat dengan seseorang yang sudah pak Salam kenal sekali.
" Anak majikannya saja culik dulu ya," canda Angkasa sambil menengok ke belakang, dimana Aira duduk melingkarkan tangannya di pinggang Angkasa. Setelah mendengar kalimat itu, Aira menabok Angkasa sementara pak Salam hanya terkekeh menatap dua sejoli ini.
" UDAH JAM TUJUH KURANG SEPULUH MENIT!" jerit Aira panik, sementara Angkasa yang sudah biasa telat hanya mendengus geli, lalu melajukan motornya. " Jan ngebut anjir," seru Aira sambil memegang roknya yang terus melambai-lambai, rambutnya yang dibiarkan tergerai juga melambai di terpa angin pagi Jakarta.
YOU ARE READING
Airisya,
Teen Fiction( Proses Revisi Alur Selanjutnya) Airisya, Aku berterima kasih pada senja yang mempertemukan kita, dan Tuhan yang mempersatukan kita. Kini aku membiarkan senja membiru, tenggelam tergantikan oleh bintang yang menyinari wajahmu. Jika ini jalan...