GILANG membuang puntung rokoknya dan kembali menghisapnya. Udara malam Jakarta cukup membuatnya kedinginan, apalagi kini ia berada di rooftop rumah sakit. Aira datang, membuat Gilang langsung menginjak sisa rokok tersebut dan kembali menatap kelap-kelip lampu dari lantai teratas rumah sakit.
" Angkasa masih kritis, kemungkinan hidupnya cuman empat puluh persen karena dia udah kehabisan banyak darah, dan sekarang dia koma," Gilang mengangguk pelan seraya tersenyum getir. Iba.
Aira tak lama melangkahkan kaki keluar dari rooftop dan kembali ke ruang inap Angkasa. Tangan Aira terus menggenggam tangan Ankara yang terasa dingin, dan di punggung tangannya tertancap jarum infus. Aira miris melihat selang oksigen yang tertancap di lubang hidung Angkasa, miris melihat orang yang ia sayangi terbaring lemah tak berdaya.
" Sa, lo tau gak? Gue rindu loh, pertama kali gue rindu, melebihi rindu gue pada yang lain. Bangun ya, gue masih butuh lo," gumam Aira meletakkan pipinya di telapak tangan Angkasa, mencari kehangatan.
Aira menggigit bibinya, berusaha tegar. Ternyata gak semudah yang di lihat, dan Aira merasakan ini kejadian paling menyakitkan yang pernah ia rasakan, setelah kehilangan ibunya, " Sa, gue kangen, bangun dong. Tunjukkin ke yang lain kalau lo itu kuat, lo bukan sekedar ketua osis, lo itu kesayangan gue," ucap Aira sambil menangis, tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Angkasa.
" Gue gak mau lo pergi, Sa!" jerit Aira lemah tak berdaya, kini Aira meletakkan kembali pipinya di telapak tangan Angkasa, dan memejamkan matanya.
***
Gilang mengacak rambutnya frustasi, seharusnya dialah yang mendapatkan apa yang Angkasa dapatkan. Hati Aira, juga nyawa. " Gue harusnya yang mati, supaya gue gak liat serapuh apa Aira ngeliat Angkasa koma," cerita Gilang pada Valerie.
Valerie mengerti semua, dan selalu mengerti, demi Gilang. Mencintai kakaknya di luar dugaan, dan di luar kuasa Tuhan. Adik tirinya itu hanya bisa diam, " Semua udah ada yang ngatur, lo gak usah begini, di dunia gak cuman ada Aira yang bisa buat lo jatuh cinta," kata Valerie berusaha untuk tersenyum, walau rasa sedih tidak bisa ia hindari lagi.
" Siapa? Siapa yang bisa buat gue jatuh cinta selain Aira?" Valerie tersenyum tulus lalu berkata, " Lo nanti juga tahu siapa dia." Tak lama, Liona datang, membawa spaghetti Bolognese kesukaan Valerie dan Gilang, " Ini, makanan kesukaan anak Bunda." Keduanya berterima kasih, lalu membiarkan Liona pergi, dan memerangkapkan keduanya dalam situasi canggung.
Valerie tidak akan bersedia untuk jujur dan mengatakan dirinya mencintai kakak -tirinya, sampe waktu yang bisa menyembuhkan luka. Valerie menyesap es teh tariknya dan kembali fokus dengan latihan soal ujian nasional, sesekali ia mencorat-coret bukunya untuk menjawab rumus-rumus.
" Val, mau gue suapin?" tanya Gilang sambil menguyah segulung spaghetti yang tadi ia gulung menggunakan garpu, sementara gadis yang ia tawari menggeleng pelan. Gilang mengambil piring makan Valerie, memutarkan garpu sehingga beberapa pasta spaghetti tergulung, dan siap untuk dimakan. Valerie tertawa kecil, lalu menerima suapan kakaknya itu.
" Uduh, yang sebentar lagi UN, semangat ya, jangan kecapean," seru Gilang kembali menyuapi segulung spaghetti ke mulut Valerie yang sudah kosong.
Hal-hal kecil aja lo udah buat gue seneng, apalagi yang besar, gumam Valerie dalam hati.
Gilang merasakan kebahagiaan dalam dirinya, dan hanya ia dapatkan dari seorang Raden Valerie Nathania Putra. Gilang mengagumi adiknya, sejujurnya, namun Gilang tidak bisa merusak hubungannya dengan adiknya itu, walau berstatus tiri tetap saja, Gilang tidak mau merusaknya, demi cinta yang tidak selamanya akan ia miliki.
YOU ARE READING
Airisya,
Teen Fiction( Proses Revisi Alur Selanjutnya) Airisya, Aku berterima kasih pada senja yang mempertemukan kita, dan Tuhan yang mempersatukan kita. Kini aku membiarkan senja membiru, tenggelam tergantikan oleh bintang yang menyinari wajahmu. Jika ini jalan...