"Ayo, La. Aku sudah berfoto dengan semua perempuan di kelas ini. Tinggal kamu yang belum." Aku kembali menghindar saat laki-laki paling tidak bisa diam di kelas ini kembali merecokiku untuk berfoto bersama. Ini bukan kali pertama dia membuntutiku, memaksaku untuk menerima pertemanannya. Hari ini hari kenaikan kelas bagi siswa SMA Pelita Harapan, maka berarti hari ini kurang lebih satu tahun laki-laki itu terus merecokiku dengan tingkah menyebalkannya
"Aku tidak mau, Ger. Berhentilah memaksaku." Aku sudah lelah berjalan kesana-kemari demi menghindari laki-laki keracunan micin itu. Bukannya aku tidak ingin berteman dengan laki-laki yang tengah menatapku dengan pandangan memelasnya, tetapi aku memang gadis yang sulit untuk bersosialisasi. Bahkan, baru sekitar tiga bulan terakhir aku dapat membaur dengan teman-teman wanita di kelasku. Aku tidak anti sosial, tetapi aku mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Butuh waktu lama untukku mengenali lingkungan pertemananku. Sedang Gery, laki-laki itu membuatku takut tepat di hari pertamaku sekolah di SMA ini. Dia dengan keramahannya berkenalan dengan semua penghuni kelas sebelum memutuskan untuk duduk di sampingku yang memang kosong. Mungkin karena tidak mendapatkan respon yang memuaskan dari sesi perkenalannya denganku, membuat dirinya merasa gagal dan kemudian terus merecokiku, membuntutiku kemana-mana hingga saat ini. Penyesalan memang selalu datang di akhir, seperti saat ini. Aku menyesal tidak merespon dengan baik dulu, dengan begitu mungkin hari-hariku tidak semenyebalkan ini.
"Ini tidak akan lama, La. Aku hanya meminta satu kali foto. Yang membuat lama itu kamu yang terus menghindar." Gery masih terus menodongkan ponselnya ke arahku.Aku menghembuskan napas kesal. Jengah menghadapi sikap kekanak-kanakan laki-laki titisan tuyul dihadapanku ini.
"ya sudah. Hanya satu kali, Ger. Aku harap setelah ini kita tidak satu kelas lagi." Wajah menyebalkan Gery langsung sumringah begitu mendengar persetujuanku. Laki-laki itu menyerahkan I-phone-nya kepadaku, membuatku mengerenyitkan dahi.
"apa?"
"dari kamu." Jawabnya sembari menyodorkan ponselnya terus menerus ke arahku. Aku melirik sekitar. Ini memalukan. Kami berdiri di tengah-tengah kelas dengan teman-temanku menyaksikan perdebatan kami. Teman-temanku tidak akan heran tentang perdebatan kami yang disebabkan oleh Gery yang terus mengusikku, mereka sudah terbiasa satu tahun ini. tetapi, teman-temanku pasti heran karena ini kali pertamanya aku menuruti kehendak laki-laki bermulut manis khas seorang buaya ini.
"tidak. Dengan yang lain, semua dari kamu." Aku tetap bersikukuh tidak akan mengambil ponsel itu. dasar tidak tahu diri. Dikasih hati minta jantung.
"Kamu itu licik. Aku sudah tahu trikmu. Kalau dari aku, kamu akan berdiri sejauh mungkin dariku. Sedangkan kalau dari kamu, kamu tidak akan bergerak bebas karena kamu yang pegang ponselnya. Gerakmu terbatas dengan panjang tanganmu." Tuhan. Aku melongo tak percaya mendengar imajinasinya. Aku sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Lihat siapa yang licik sekarang?!
"Iya Ger iya. Modusnya dapet banget. Dasar Buaya cap kaki tiga." Celetukan Rangga membuat seisi kelas tidak lagi menahan ketawanya. Sedangkan Buaya cap kaki tiga dihadapanku hanya menyengir setan.
"Kalau gitu tidak jadi." Aku berlalu dari hadapannya. Namun, belum sempat aku melangkah jauh, lenganku terlanjur dicekal olehnya.
"tidak bisa. Kamu kan sudah janji tadi. Aku tidak mau tahu, pokoknya kita foto dengan kamu yang pegang handphone-nya."Aku mendesis geram melihat sikap kekanakannya. Seingatku, terakhir dia masih menampakkan wajah memelasnya, memohon untuk berfoto bersama. Tapi kenapa sekarang justru dia yang berkeras.
"hanya satu kali, Ger." Sinisku seraya menarik kasar ponsel yang berada di genggamannya. Melihat sikap mengalahku, Gery langsung mendekat ke arahku dengan senyum lima jarinya. Dasar Buaya cap kaki tiga, Dikasih hati minta jantung. Gery melingkarkan tangan kanannya di bahu kananku dan menempelkan dagunya di pundak kiriku tepat sebelum aku menekan tombol ambil gambar di ponselnya.Aku yang terkejut dengan tindakannya, langsung menolehkan kepalaku kearah kiri, yang justru kusesali karena bibirku langsung bertemu dengan pipi kanannya. Belum sempat aku tersadar dari keterkejutanku, Gery langsung mengambil ponselnya dari genggamanku dan berlari keluar kelas begitu saja meninggalkanku dengan siulan teman-temanku yang menyaksikan kejadian barusan.
1 tahun kemudian
Siapa yang tahu akhir dari peristiwaku dengan Gery satu tahun lalu justru mengakrabkan kami. Entah apa yang membuatku tidak lagi merasa takut dengan semua tindakannya. Aku memang masih terganggu dengan sikap semena-mena menyebalkannya, namun itu justru membuatu semakin nyaman bersamanya. Tidak ada lagi ketakutanku untuk membuka diri. Entah apa yang sudah dijampikannya terhadapku, kini aku tidak lagi merasa canggung untuk bercerita tentang keseharianku. Dengannya, aku mampu membuka diriku, menceritakan apa saja yang kulalui hari demi hari, meskipun setengah hariku diisi bersamanya. Aku kembali satu kelas dengan laki-laki yang kini tengah menjabat sebagai Ketua OSIS di sekolahku. Berkat ketampanan, kecerdasan, keramahan, serta keaktifannya mampu membuat namanya begitu melambung di sekolahku. Aku bagaikan upik abu jika disandingkan dengan ketenarannya. Gery memang bermulut manis terlebih dalam hal menggoda perempuan-perempuan di sekolahku. Tak hanya adik atau pun kakak kelas, guru bahkan ibu-ibu kantin dan pengurus kebersihan sekolah pun tak luput dari godaannya.Namun, hingga saat ini tidak ada satu perempuan pun yang namanya ia sebut sebagai perempuan yang menarik hatinya. Entah memang tidak ada atau dia hanya menutupi dariku. Tetapi Gery juga selalu menceritakan tentangnya padaku. Tidak ada status yang spesial di antara kami. Aku dan Gery murni berteman, meski teman-teman kami tidak ada yang percaya, tetapi kami tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Bagiku sendiri, hingga saat ini tidak ada pikiran untuk berpacaran dengan siapa pun. Sedang Gery, laki-laki itu juga dekat dengan beberapa teman perempuan di angkatan kami namun dirinya akan menjauhi teman perempuan yang memiliki perasaan lebih untuknya. Bukan sekali dua kali aku mendapat curhatan, titipan salam, hadiah, bahkan terakhir aku mendapatkan cacian dari kakak kelasku yang semuanya ditujukan kepada laki-laki itu. Gery, laki-laki yang mampu melambungkan dan menjatuhkan perasaan perempuan secara bersamaan, sahabatku.
"Aku ada rapat untuk kepengurusan OSIS yang baru pulang ini. Kamu tunggu saja ya. Ga ada kegiatan kan?" Gery menghampiriku yang tengah membereskan alat tulis usai pelajaran Kimia tadi. Kami memang tidak duduk sebangku, karena pada awal kenaikan kelas sebelas aku masih mengibarkan bendera perang padanya.
"malas ah. Aku pulang sendiri aja. Aku mau ke Gramed dulu pulang ini." Aku menyampirkan tas ransel ku ke bahu kanan dan menyimpan buku-buku pelajaranku yang tidak muat di tas ke dalam lipatan tanganku.
"Kalau mau pulang sendiri, langsung pulang ke rumah. Kalau mau ke Gramed, tunggu aku selesai rapat. Pilih mana?" Sikap semena-menanya kembali keluar. Aku tidak punya pilihan lain selain menunggunya hingga selesai rapat. Aku malas untuk langsung pulang ke rumah mengingat Ibu dan Ayah menghadiri pernikahan saudara Ayah di Batam tadi pagi, dan adikku yang baru menginjak kelas satu Sekolah Menengah Pertama berada di asrama karena ini bukan weekend, sehingga rumahku pasti dalam keadaan tidak ada orang.
"Aku di kantin."Ujarku ketus seraya menginjak kakinya saat akan melewatinya menuju pintu kelas meninggalkannya yang berteriak kesal karena perbuatanku.
...
"La, besok pelantikan pengurus OSIS yang baru. Pergi sendiri saja ya?"Ini minggu kedua aku berada di tingkat akhir SMA. Kegiatan Try Out pun menjadi kegiatan wajib yang harus aku ikuti mulai dari Try Out Ujian Nasional mau pun Try Out masuk perguruan tinggi.
"Aku besok pergi sama Nadia kok."Aku berteriak pada Gery di seberang sana, mengingat posisi ku saat ini jauh dari ponsel yang sengaja ku aktifkan pengeras suaranya.
"Pelantikannya hanya sampai makan siang kok. Sempat untuk menjemput. Nanti tunggu saja di sana. Kamu lagi ngapain sih pake teriak segala?!" Suara Gery terdengar jengkel.
"No. Nadia bawa motor kok. Nanti kita mau langsung jalan setelah acara. Lagi masak haha." Malam-malam begini aku memang suka kelaparan meski tadi sudah makan malam. Mie instan menjadi pilihanku ketika lapar tengah malam seperti ini.
"oh yasudah, kabarin besok jalan kemana. Berarti aku ikut anak-anak makan-makan saja pulang dari pelantikan.Habis makan langsung tidur, ga ada kata nonton drama korea sampai subuh. Aku tutup dulu, La."Belum sempat aku menjawab, suara telepon berakhir terdengar menandakan Gery langsung menutup telponnya. Aku tersenyum geli membayangkan dulu Gery selalu mengomeliku setiap kali aku memasak mie instan untuk mengganjal perutku dan sejak beberapa minggu yang lalu Gery sudah tidak lagi mengomeliku tentang mie instan. Sudah lelah mungkin karena aku tidak pernah mendengarkan.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Companion
RomanceKatakanlah awalnya hanya pelarian masa lalu. Namun kini, itu bukanlah suatu masalah besar untukku. Aku sudah dapat mengikhlaskannya jauh sebelum dia menikah. Kesendirianku bukan lagi tentang ketidaksanggupanku menutup kisah lamaku. -Larisa Kania- Me...