Sejak kuliah entah mengapa aku seperti terdoktrinisasi kalau Hari Senin adalah hari yang mengerikan atau yang sering disebut-sebut sebagai MONster DAY. Dulu, saat sekolah aku lebih menjalani aktivitasku apa adanya, seperti tidak ada kehidupan. Meskipun harus mengakhiri minggu yang menyenangkan, melakukan upacara bendera, atau pun bertemu guru-guru killer dan pelajaran yang menyusahkan pernah mengisi seninku saat sekolah dulu, aku tidak pernah mengeluh.
Memasuki dunia perkuliahan semuanya seolah berubah dalam sekejap mata. Tidak ada satu semester pun yang tidak menyiksaku di Hari Senin. Jadwal kuliah terpadat, dari pagi hingga malam bersama dosen-dosen yang menjadi musuh abadi mahasiswa menjadi alasan utama aku membenci Hari Senin. Tidak ada senyuman di pagi hari untuk menyambut Hari Senin.
Seperti di masa-masa sekarang, ketika aku sudah memasuki dunia kerja. Aku selalu menganggap kalau Hari Senin adalah hari tersibuk dan terpadat dari semua hari yang ada, ya meskipun sama padatnya dengan Hari Sabtu pada malam hari. Tetapi di Hari Senin aku merasa semua orang seolah-olah bergerak dengan begitu cepat seperti tidak ada ada hari lainnya. Kantor seperti gempar karena briefing mingguan dilakukan di Hari Senin. Belum lagi jalanan yang terlihat lebih padat dibandingkan dengan hari lain.
Seperti sore ini.
Jam kerja sudah berakhir sejak setengah jam yang lalu. Tetapi aku masih setia berada di ruangan meski sudah tidak mengerjakan apa pun lagi. Rasanya malas sekali bergabung dengan karyawan-karyawan lain yang sedang dalam perjalanan pulang di jalanan sana.
Kaki ku melangkah meninggalkan ruangan. Menghabiskan waktu dengan bersantai di cafe yang terletak di lantai dasar gedung perkantoran ini adalah pilihan terbaik sembari menunggu waktu untuk menjemput kepulangan pangeran dari Bontang, Raden Mas Gery Argantara.
Begitu membuka pintu kaca yang menjadi akses satu-satunya untuk masuk ke dalam cafe ini, aku disambut dengan suasana cafe yang cukup ramai. Mungkin mereka semua berstatus sama denganku. Karyawan pembenci kepadatan jalan raya.
Usai memesan segelas ice coffee dan sepotong cheese cake, kakiku melangkah menuju kursi sepasang kursi dan meja yang berada di pojok ruangan. Setidaknya aku akan berada di sini kurang lebih sampai satu jam ke depan. Gery baru akan lepas landas dari Balikpapan jam tujuh malam. Berangkat di jam yang sama menuju bandara pun, aku akan tetap sampai lebih dulu dari laki-laki itu.
Tengah asik berselancar di dunia maya layar ponselku berganti, menampilkan notifikasi panggilan masuk. Nama Gery tertera dengan jelas di sana. Jemari bergerak menggeser layar, bermaksud untuk mengangkat teleponnya.
"Halo, Ger"
"La, ini aku udah di jalan mau ke Balikpapan. Kamu udah ga ada kerjaan lagi di kantor, kan?"
"Ga ada. Habis maghrib-an aku baru berangkat ya."
"Iya, ga masalah. Naik kereta, kan?" Aku mengerenyit mendengar pertanyaan Gery. Badanku bisa remuk harus nain-turun kendaraan.
"Yang benar aja, Ger. Capek banget kalau harus naik ojek online terus naik kereta lagi. Lagian aku belum pernah naik kereta ke Soetta. Nanti nyasar, ah. Ga mau." Suatu sudah naik satu oktaf. Kesal dengan penuturan laki-laki tidak tahu malu ini.
"Ya kan bisa tidur di kereta. Keretanya juga sepi dan lebih safe kalau sekadar buat kamu mejemin mata," Gery masih berusaha untuk bernegosiasi denganku.
"Ga mau, Ger. Ga pede aku kalau belum pernah naik. Udah, aku pokoknya naik taksi online dari sini sampai Soetta. titik," tegasku.
"Dari sana ke Soetta bisa dua jam, La. Aku tahu banget kamu kalau tidur di mobil bisa lebih nyenyak daripada tidur di kasur. Mau kamu kaya yang di berita? yang diculik waktu mau ke bandara," Aku memutar bola mata kesal. Kadang Gery itu bisa berspekulasi yang lebih rumit dan lebih jauh daripada spekulasi perempuan. Kata siapa laki-laki bisa berpikir lebih rasional daripada perempuan?! Gery berhasil mematahkan teori itu mentah-mentah dengan tingkah over-nya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Companion
RomanceKatakanlah awalnya hanya pelarian masa lalu. Namun kini, itu bukanlah suatu masalah besar untukku. Aku sudah dapat mengikhlaskannya jauh sebelum dia menikah. Kesendirianku bukan lagi tentang ketidaksanggupanku menutup kisah lamaku. -Larisa Kania- Me...