7

247 18 8
                                    

"Mau kamu apa?" Tanyaku begitu pelayan yang mencatat pesanan kami pergi. Sejak kedatanganku yang menyusulnya masuk ke dalam restoran hingga saat ini Gery sama sekali tidak melepaskan tatapannya dari layar ponselnya. Bahkan, makanannya pun aku yang memesankan. Terserah laki-laki itu akan protes atau tidak, salahnya sendiri mogok bicara.

Menghadapi Gery yang mogok bicara itu jauh lebih sulit daripada mendengar omelannya. Setidaknya aku bisa mendebatnya kalau-kalau yang diucapkannya salah atau berlebihan. Sedangkan kalau seperti ini, aku benar-benar benci menghadapi situasi yang canggung seperti ini.

"Kalau aku tidak seperti ini, mungkin kamu akan tetap mendiamiku." Gery meletakkan ponselnya di atas meja dan mulai memandangiku tajam, "Kenapa pembahasan tentang Yudha selalu berakhir dengan kamu bertingkah seperti kemarin?" Sialan betul laki-laki ini. Dia membuat seolah-olah aku yang salah di sini.

Aku memutar kedua bola mata sejenak sebelum memfokuskan kembali tatapanku padanya, "Tidak ada lagi pembahasan tentang Yudha. Ini tidak ada lagi sangkutpautnya akan hal itu." Kalimatku terhenti sejenak karena kehadiran pesanan kami yang mulai disajikan di atas meja oleh pelayan. Bibirku mengucapkan kata terima kasih dengan begitu tipis sebelum melanjutkan lagi kalimatku, "Kalau dulu aku menghindari berhubungan dengan laki-laki lain karena Yudha, karena rasa ketakutanku, ya aku mengakui itu, Ger. Tetapi ini berbeda, aku benar-benar tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Mengapa sulit sekali untukmu percaya?" Aku memandang geram Gery yang hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai respon dari kalimatku.

"Dulu kamu tidak pernah mengakui kalau kisah masa lalu lah yang membuatmu takut untuk kembali menjalin hubungan hingga akhirnya menolak semua laki-laki yang mendekatimu. Dan kamu baru mengakuinya sekarang, La. Dengan begitu, bisa saja kamu sekarang tengah berbohong dan baru akan mengakuinya di masa depan?" Gery memberiku senyum setengahnya sebagai tanda kalau ia tengah mengejekku saat ini.

Tidak ada gunanya mendebat laki-laki itu. Dia mengatakan hal yang benar mengenai alasanku sendiri pada beberapa tahun belakang. Aku membiarkannya untuk berpuas diri kali ini, daripada aku harus melewatkan waktu istirahatku yang amat sedikit ini mengingat satu jam lagi aku harus menghadiri kuliah.

"Kamu cepetan makannya. Aku sholat duluan." Aku menyudahi acara makanku yang hanya menghabiskan setengah porsi dari makanan yang ku pesan. Tidak ada waktu lagi untuk makan dengan nikmat mengingat di waktu yang mepet ini aku belum melaksanakan ibadah sholat maghrib.

Gery memberiku senyum mengejek seiring kepergianku dari kursi. Aku tahu persis makna dibalik senyum itu. Apalagi kalau bukan karena laki-laki berpikir kalau lagi-lagi aku menghindari pembahasan yang amat disukainya itu.

Hampir tiga puluh menit kemudian wajah Gery baru terlihat keluar dari restoran dan mulai berjalan menuju tempat mobilnya terparkir dimana aku menunggu. Sepuluh menit lagi perkuliahanku dimulai, beruntung hari ini tidak ada kuis atau ujian lain yang sudah dijadwalkan meski rasa takut terselip kalau-kalau akan ada pre-test yang tidak ada susulannya. Kalau dosen mata kuliah hari ini datang tepat waktu sudah dapat dipastikan kalau aku terlambat paling tidak sepuluh menit, mengingat jarak dari sini ke kampusku bisa memakan waktu sepuluh menit belum lagi aku harus mengejar jarak dari gerbang kampus menuju kelas perkuliahanku.

Aku menahan geram melihat laki-laki itu justru berjalan dengan santainya, tak menghiraukan aku yang sudah menunggunya dengan gelisah. Toleransi keterlambatan hanya lima belas menit, kalau dia berjalan seperti siput itu dapat dipastikan aku akan menutup pintu dari luar kelas alias diusir kalau dosenku dalam keadaan mood yang tidak baik. Aku bisa saja menaiki kendaraan umum dan meninggalkannya kalau berniat untuk mendengarkan omelannya sepanjang malam sepulangku dari kuliah.

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang