Banyak orang mengatakan kalau anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya. Sebaliknya, anak perempuan akan lebih dekat dengan sang ayah. Aku tidak tahu apa memang ada teori tentang ini atau hanya mitos belaka.
Aku rasa itu terjadi pada keluargaku. Sejak kecil aku seringkali bermanja kepada ayah daripada ibu meski ibu tetap menjadi orang pertama yang mengetahui setiap ceritaku. Ayah lebih bermurah hati dibanding ibu dalam hal memenuhi keinginanku, walaupun tak semua kehendakku beliau turuti.
Berbeda denganku yang ringan tangan dalam hal menadahkan kepada orangtua, sejak kecil Faris mendapatkan sesuatu dengan perjuangan. Ayah memang mendidik Faris lebih keras dengan dalih adikku itu akan menjadi kepala keluarga nantinya. Dibiasakan mendapatkan sesuatu dengan mudah membuatnya akan sulit untuk memecahkan masalah dan berakhir dengan lari dari tanggung jawab, begitu pikir ayah.
Sejak memasuki Sekolah Dasar, Faris tidak pernah menerima uang saku secara cuma-cuma dari Ayah. Ada saja yang harus laki-laki itu kerjakan kalau ingin mendapat uang untuk sekadar membeli jajanan atau pun komik. Membersihkan halaman rumah, merapihkan taman kecil di samping rumah, bahkan mencuci mobil dan memperbaiki genteng yang rusak pernah dilakukan Faris kecil untuk mendapatkan uang saku yang sampai saat ini selalu disebutnya sebagai upah buruh.
Ibu menjadi malaikat pelindung bagi Faris. Diam-diam ibu suka menaruh lembaran uang di dalam tempat pensil adikku. Pernah suatu waktu, ketika Faris berada di tingkat akhir Sekolah Menengah Pertama, Ayah mengetahui kegiatan yang selama bertahun-tahun ibu lakukan itu. Aku pikir ayah akan marah besar, tetapi ternyata ayah justru menambahkan lembaran uang ibu yang akan diberikan untuk Faris.
Mengetahui sulitnya mendapatkan sepeser uang membuat Faris tumbuh menjadi laki-laki yang sangat perhitungan dalam hal positif. Disaat semua anak laki-laki membeli lego atau mobil-mobilan sebagai mainan, Faris tak pernah melakukan itu. Bukan karena tak tertarik, seringkali aku melihat Faris mencuri pandang ke arah toko mainan saat kami sekeluarga berada di pusat perbelanjaan, tetapi Faris tahu apa yang menjadi prioritasnya. Adikku pun sama sekali tidak meminta baik pada ibu atau padaku. Mainan Faris yang dapat dihitung dengan jari itu semuanya hasil pemberian ibu, aku, dan kado dari teman-temannya.
Tidak, Faris tidak kekurangan sama sekali. Semua hal yang berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan anak-anaknya ayah selalu penuhi. Barulah untuk penampilan Faris akan modal sendiri. Bahkan, uang saku yang ayah berikan setiap Faris melakukan pekerjaan pun lebih dari cukup sebenarnya. Hanya cara memberikannya saja yang membedakan antara aku dan Faris.
Diperlakukan tidak adil oleh ayah tidak membuat adik kesayanganku itu iri hati padaku atau membenci ayah. Faris bahkan tidak pernah terlihat terpaksa menjalankan setiap pekerjaan yang ayah berikan. Semua dilakukannya dengan penuh tanggung jawab dan wajah yang tidak tertekuk sama sekali.
Aku benar-benar kagum dengan dua laki-laki yang selamanya akan mengisi hati dan jiwaku ini. Aku kagum dengan cara ayah mendidik Faris begitu keras namun tidak menyakiti atau membuat anaknya berpikir negatif. Aku salut dengan jiwa besar Faris. Pikiran positifnya yang selalu menanggap kalau semua perlakuan ayah padanya semata untuk kebaikan dirinya sendiri.
Hal yang mengharukan terjadi saat laki-laki itu akan menghadapi Ujian Nasional SMA. Faris memberi ayah, ibu, dan aku hadiah. Dompet untuk ayah, dress muslimah untuk ibu, dan kiriman converse untukku yang berada di Jakarta saat itu.
Semua bertanya-tanya darimana adikku itu bisa membelikan barang-barang yang dapat menguras habis uang untuk ukuran anak sekolahan. Ternyata selama ini Faris tidak pernah sama sekali menggunakan uang yang ibu selipkan dari sejak dirinya di Sekolah Dasar dulu. Semua uang yang ibu berikan, ia tabung dalam kotak sepatu. Kotak sepatu yang ibu pikir berisi buku-buku tidak terpakai lagi karena berada ditumpukan yang sama dengan kumpulan buku-buku milik Faris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Companion
RomanceKatakanlah awalnya hanya pelarian masa lalu. Namun kini, itu bukanlah suatu masalah besar untukku. Aku sudah dapat mengikhlaskannya jauh sebelum dia menikah. Kesendirianku bukan lagi tentang ketidaksanggupanku menutup kisah lamaku. -Larisa Kania- Me...