Tidak terasa sudah hari terakhir aku berada di kampung halamanku. Senin esok aku harus kembali menjalankan aktivitas sebagai pekerja seperti sedia kala. Tidak perlu dipertanyakan lagi, lima hari tentu bukan waktu yang cukup untuk mengobati rasa rindu terhadap keluarga. Tetapi kewajiban tetaplah kewajiban yang harus dilakukan.
Berhubung ini adalah hari minggu, maka tidak ada alasan bahwa salah satu anggota keluarga absen mengantarku ke bandara. Selepas menunaikan ibadah sholat dzuhur, aku dan keluarga langsung menuju bandara.
"Gery dimana?" Tanya ayah seraya menurunkan koperku dari bagasi. Aku dan ayah mengikuti langkah ibu yang berada di depan kami mendekati area keberangkatan domestik. Faris kembali melajukan mobil menuju parkiran sebelum menyusul kami disini.
"Sebentar lagi sampai." Ayah mengangguk pelan sebagai respon dari jawabanku.
Aku melebarkan langkah kakiku demi mencapai posisi di samping ibu. Segera kulingkarkan kedua tanganku pada lengan kiri ibu dan menyandarkan kepala di pundaknya seraya berjalan. Kurasakan pergerakan sebagai respon terkejut dari tindakan spontanku barusan."Ganjen ah. Mau pingsan nih, Ibu. Ga kuat kamu gantungin gitu." Ibu menggerak-gerakkan bahu kirinya sebagai bentuk protesan dari kelakuanku.
Aku mengangkat kepala tanpa melepaskan cekalan tangan dan menampilkan deretan gigi pada ibu, "Tapi ibu ga apa-apa tuh gantungin ayah dulu." Aku menggoda ibu dengan kisah cintanya terdahulu bersama ayah. Ah, setiap kali mengingat cerita cinta penuh warna milik ibu benar-benar membuatku iri. Sudah setua ini pengalaman cintaku amat sangat minim. Tidak ada yang bisa kujadikan sejarah.
"Kamu.." Aku mengelak seraya terkekeh puas begitu jari-jemari ibu yang akan mencubit tidak sampai ke pinggangku. Aku melirik ke arah ayah yang hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua wanita dihidupnya bertingkah konyol.
Dari kejauhan aku melihat dua sosok laki-laki berjalan beriringan. Lelaki satu yang hanya menggunakan kaos berwarna putih bertuliskan "FAST" dipadukan dengan jeans berwarna biru yang telah lusuh serta sandal jepit terlihat berbanding terbalik dengan laki-laki yang lebih tinggi dan lebih tegap di sampingnya. Laki-laki bertubuh proporsional yang mengenakan kemeja biru muda berlengan panjang yang ia gulung hingga sesiku dipadukan dengan Jeans serta sepatu converse berwarna senada dan ransel hitam yang berada di balik punggungnya memancarkan aura maskulin yang membuatnya terlihat begitu karismatik.
Aku tertawa kecil melihat keduanya. Meski tubuh Faris sudah terbilang proporsional untuk ukuran laki-laki tetapi aura kedewasaan laki-laki memang tidak bisa dimanipulasi atau aku melihatnya masih seperti anak kecil hanya karena hati dan otakku menunjukkan sinkronisasi dalam mengatakan kalau dirinya tetaplah adik kecilku yang manja dan menggemaskan sampai kapanpun.
Aku langsung menubrukkan diri ke dalam pelukan Faris begitu dirinya sampai di dekatku. Tak berselang lama, Faris langsung menjauhkan diriku dari tubuhnya. Kedua tangannya bekerja sama bahu-membahu mendorong tubuhku menjauh. Ah dasar adik kurang ajar.
"Apaan sih?!" Aku berteriak kesal kepada Faris tanpa menghiraukan keadaan sekitar kami.
"Elu yang apaan. Dateng-dateng meluk. Jadi jomblo jangan segitunya." Alih-alih marah melihat raut kesal yang tidak main-main yang diperlihatkan Faris, aku justru terkekeh gemas.
"Ayah, anaknya jahat." Kulingkarkan kedua tanganku mengelilingi pinggang ayah sembari memasang raut wajah memelas yang aku yakin semakin membuat Faris berang. Tak puas hanya dengan raut wajah, suara pun ku buat semanja mungkin.
"Dasar anak ayah." Kalimat yang dilontarkan Faris berbarengan dengan teriakan histerisku, pasalnya laki-laki itu dengan sengaja dan penuh semangat 45 menarik rambut yang kuikat menjadi satu kesatuan. Teori yang mengatakan kalau kakak dan adik itu hidup saling menyayangi adalah salah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Companion
RomanceKatakanlah awalnya hanya pelarian masa lalu. Namun kini, itu bukanlah suatu masalah besar untukku. Aku sudah dapat mengikhlaskannya jauh sebelum dia menikah. Kesendirianku bukan lagi tentang ketidaksanggupanku menutup kisah lamaku. -Larisa Kania- Me...