15

192 12 0
                                    

Tidak terasa bulan penuh berkah ini akan segera berakhir. Tidak sampai satu minggu lagi Hari Raya Idul Fitri akan segera datang. Meski awal bulan lalu aku sudah pulang ke Pekanbaru tetapi kepulangan esok tidak mengurangi euforiaku untuk bertemu keluarga.

Ya, ini hari terakhirku menjalani aktivitas sebagai karyawan sebelum mendapatkan cuti selama kurang lebih dua minggu ke depan. Kepulangan kali ini bukan hanya sekadar untuk menghabiskan momen lebaran bersama keluarga tetapi juga karena pernikahan Kak Gianna yang akan dilaksanakan tepat empat hari setelah hari raya Idul Fitri.

Sejak satu minggu terakhir ini Kak Gianna gencar sekali menghubungiku, memastikan kalau aku tidak akan melewatkan moment istimewa dihidupnya. Aku sedikit merasa tak enak hati saat Kak Gianna dan Tante Lira memaksaku untuk memakai kebaya seragam dengan para perempuan di keluarga besar Gery. Acara pernikahan Kak Gianna ini adalah moment pertamaku berinteraksi dengan keluarga besar Gery. Ketika SMA, Gery selalu mengundang teman-teman kami yang lain baik laki-laki maupun perempuan sehingga aku tidak menjadi sosok yang begitu mencolok ketika itu. Tetapi nanti, kebaya seragam pastinya akan menarik perhatian.

Dering panggilan masuk dari ponsel mengalihkan perhatianku dari benda-benda yang berserakan di atas meja, menginterupsi kegiatan membereskan meja kerjaku sebelum pulang. Nama adik laki-laki dari Kak Gianna memenuhi layar ponselku.

'Gery Argantara is calling'

Aku tersenyum mengingat dulu laki-laki itu seringkali memprotes gaya penulisan nama untuk kontak di ponselku. Sebenarnya aku dan dia memiliki gaya yang sama, yaitu mencantumkan nama lengkap seseorang untuk kontak dan ditambahkan embel-embel institusi dibelakangnya. Namun, yang berbeda adalah kalau Gery menulis nama panggilan untuk seseorang yang merupakan teman dekatnya sedangkan aku hanya menghilangkan nama institusi untuk teman-teman terdekatku. Bahkan laki-laki itu hanya menulis namaku dengan 'La'. Kalau dia menyebutku terlalu kaku, maka aku menamainya terlalu malas.

"Halo, La. Pulang sendiri ya. Aku lembur nih tanggung biar nanti di rumah ga urus-urus kerjaan lagi." Seperti biasa, nada tanpa basa-basi Gery menyapaku begitu aku meletakkan ponsel ke telinga kiri.

"Iya. Jangan lupa makan malam. Jangan ganggu aku malam ini." Kebiasaan Gery kalau lembur adalah melewatkan makan malamnya dan kemudian mengganggu jam tidurku dengan menggedor pintu kamar tidurku untuk meminta dibuatkan sesuatu yang dapat dirinya konsumsi. Meski Gery adalah laki-laki mandiri yang suka bereksperimen dengan bahan-bahan masakan, tetapi itu hanya akan dilakukannya di hari sabtu atau minggu pagi hari. Ya, meski dalam satu bulan hanya melakukan satu atau dua kali.

"Kalau begitu masak sesuatu biar nanti aku tinggal makan." Aku memutar bola mata dengan kesal mendengar permintaannya. Laki-laki ini sungguh merepotkan.

"Ngga. Besok kita flight pagi, Ger. Aku belum packing. Capek." Menolak dengan nada tegas akan membuat Gery tidak meminta dua kali.

"Kalau begitu, kamu delivery bikin dua porsi."

"Ini bukan masalah aku ga mau repot masak atau delivery lebih. Tapi kamu harus makan tepat waktu lah. Aku kirim makanan aja ke kantor kamu nanti atau aku anterin sebelum pulang kalau kamu memang terlalu malas." Kebiasaan buruk Gery kalau sudah tenggelam dengan pekerjaannya adalah mengabaikan asupan gizi untuk tubuhnya. Kalau aku mengerjakan sesuatu dengan camilan, maka Gery hanya dengan secangkir kopi. Aku tidak terlalu mempermasalahkan kopinya, tapi situasinya. Laki-laki itu mengonsumsi kopi disaat perut kosong.

"Kamu kalau perhatian gini jadi lebih manis." Aku benar-benar ingin menendang tulang keringnya saat mendengar tawa yang begitu menggelegar usai menggodaku dengan kalimatnya yang begitu murahan, "Males, ah. Kamu ga peka kode banget. Tujuan aku kan biar ada alesan ke kamar kamu malem ini." Dasar laki-laki kurang kasih sayang.

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang