Kakiku melangkah memasuki lift yang akan membawa menuju unitku. Kusandarkan badan pada dinding lift usai menekan angka tempat dimana unitku berada. Beruntung hanya aku yang berada di sini, setidaknya aku bisa memejamkan mata tanpa perlu merasa tidak enak pada orang lain.
Pembahasan di mobil tadi sedikit banyak menguras tenagaku. Rasanya seperti berlari mengelilingi kampus saat aku masih berkuliah dulu. Aku tidak ingin gegabah mengambil keputusan sekali pun laki-laki itu begitu menunjukkan keseriusannya. Kejadian di masa lalu benar-benar memberikan pelajaran hidup bahwa segala sesuatu yang terburu-buru itu seringkali berakhir tidak sesuai dengan ekspektasi. Terlebih di usia ku saat ini seharusnya pikiran harus lebih matang lagi dibandingkan saat masih menjajaki masa sekolah dulu.
Tidak ada niatan sama sekali untuk memberi harapan tanpa kepastian padanya, tetapi memastikan apa yang dirasa terasa perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Kurasa kurun waktu dua sampai tiga bulan memang wajar untuk masa pendekatan dan pencocokan sebelum memutuskan langkah selanjutnya. Sejak dulu, laki-laki yang mendekatiku hanya mampu bertahan paling lama tiga bulan. Setelahnya, mereka mundur dengan teratur padahal aku tidak secara nyata dan tegas mendorong mereka menjauh meski juga tidak langsung menunjukkan keterbukaan akan ketertarikan yang sama seperti mereka lakukan. Aku hanya ingin semuanya mengalir, biarkan takdir Tuhan yang menuntunku ke arah mana akan bermuara.
Dentingan lift membuatku membuka mata. Kulirik bagian atas dari deretan tombol angka yang menunjukkan di lantai berapa aku berada. Kutegakkan badan begitu tahu bahwa aku sudah sampai di unit yang kutuju.
Mataku menyipit seiring menangkap sesosok laki-laki yang tengah bersandar di depan pintu unitku. Laki-laki itu masih mengenakan setelan kantor, kemeja dan celana dasar berwarna hitam, meski jauh dari kata rapih. Kemeja berwarna biru dongker yang dikenakan setengahnya sudah berada diluar celana dengan kedua lengannya tergulung hingga siku. Kepalanya tertunduk dengan mata terfokus pada ponsel yang ada digenggamannya. Aku menggelengkan kepala begitu sosok laki-laki itu sudah bisa kukenali.
"Ger, kamu ngapain?" Laki-laki itu mengalihkan perhatiannya ke arahku. Gery tersenyum dengan menampilkan deretan gigi dengan guratan lelah yang tergambar dengan jelas.
"nungguin kamu." Gery menegakkan badannya dan menyingkir dari pintu begitu aku sudah ada di hadapannnya. Matanya bergerak naik turun memandangiku dari ujung kepala hingga kaki.
"Apaan, sih!. Ngeliatinnya gitu banget." Aku jadi membekukan diri melihat tingkah laki-laki ini. rasa-rasanya jadi serba salah untuk melakukan apapun ketika dipandangi se-intens ini.
"Kamu berantakan banget sih, La." Ujarnya dengan nada prihatin yang dibuat-buat ditambah dengan gelengan kepala seolah-olah penampilanku sangat tidak layak.
"Ngaca dong, pak. Kamu jauh lebih parah penampilannya. Dari kapan kamu disini?" Galakku sambil lalu. Pasalnya aku sembari mengacak isi tas ransel untuk mencari kunci unitku
"Tadi kita parkir bersamaan. Mobilku tepat berada di belakang mobil Mas Tian. Aku sempat mengamati kalian dari dalam mobil di beberapa menit awal sampai. Tapi mungkin kalian terlalu asik berduaan sehingga tidak menyadari keberadaanku. Kamu satu jam di dalam mobil, ngapain saja, La? Kalian ga berbuat macam-macam, kan?" Aku tersentak begitu Gery menarik tubuhku dan menghadapkan ke arahnya. Aku pikir aku akan menemukan raut menyebalkan dari wajahnya sehingga aku dapat menyimpulkan kalau laki-laki ini hanya menggodaku saja melalui kalimatnya. Tetapi yang kutemui adalah justru raut serius dengan pandangan yang menelisik tajam ke arahku seolah-olah khawatir kalau aku benar-benar melakukan hal yang tidak-tidak bersama Pak Tian.
Bola mata berputar seiring helaan napas sebelum aku merespon tuduhan tidak berdasar laki-laki ini, "Aku ga sebodoh itu."
"Lho, siapa tahu. Mantan atasanmu itu bisa saja memanfaatkan kesempatan yang ada dengan sebaik mungkin untuk mengambil keuntungan atas dirimu. Sedangkan kamu.. kamu kan lemah terhadap laki-laki berwajah dewasa seperti itu." Aku melayangkan delikan ke arahnya. Aku tidak menyangka laki-laki ini mampu berpikir picik seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Companion
RomanceKatakanlah awalnya hanya pelarian masa lalu. Namun kini, itu bukanlah suatu masalah besar untukku. Aku sudah dapat mengikhlaskannya jauh sebelum dia menikah. Kesendirianku bukan lagi tentang ketidaksanggupanku menutup kisah lamaku. -Larisa Kania- Me...