"Halo, La. Sekitar lima menit lagi aku sampai di depan nih." Seperti biasa. Laki-laki itu hanya akan mengatakan apa yang menjadi maksud dan tujuannya meneleponku. Tidak ada kalimat pembuka penutup. Sejak Gery bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia yang di kelola asing, Laki-laki itu selalu menyempatkan untuk menghabiskan jam makan siangnya bersamaku. Kantor laki-laki itu memang hanya berjarak sekitar lima belas menit dengan kantorku.
Kini aku menempati salah satu unit apartemen di Jakarta Pusat karena sudah tidak ada lagi urusanku di Depok. Dulu, aku menahan untuk pindah karena aku berpikir mungkin akan mendapatkan lokasi untuk kelas ekstensi di sana. Sudah sekitar setengah tahun aku melanjutkan pendidikan akuntansi ku di kelas ekstensi khusus karyawan di perguruan tinggi yang meluluskanku, namun yang berlokasi di Jakarta.
Buru-buru aku merapihkan isi tas ku, men-checklist kembali barang-barang yang wajib ku bawa saat bepergian. Kubikelku yang berada di lantai lima belas tentu akan memakan waktu lebih untuk sampai di depan gedung kantorku. Aku bisa membayangkan ekspresi masam Gery menyambutku saat dia tiba lebih dulu daripada aku.
Dari depan lift mataku sudah menangkap Range Rover milik laki-laki itu di pelataran kantorku. Aku mengerenyitkan dahi begitu melihat sosok lain di dalam mobil itu. Ada laki-laki lain yang menduduki kursi samping kemudi. Sepanjang perjalanan menuju mobilnya, aku sudah menebak akan seperti apa tema makan siang kali ini.
"Maaf." Ketusku begitu melihat raut menjengkelkan siap menumpahkan omelan yang disuguhkan Gery ketika aku membuka pintu penumpang mobilnya. Gery hanya menghela napas sebentar sebelum memutar kepalanya kembali menghadap lurus ke arah depan dan menjalankan mobilnya.
"Maaf, maaf. Tapi masih diulangi." Astaga kekanakan sekali. Aku kira ini bukan suatu hal besar yang harus dibahas berulang-ulang. Aku memutar mataku jengah.
"Ya. Sebentar lagi yang protes justru akan minta maaf karena melakukan hal yang berulang-ulang." Gery melirikku sebentar dari balik kaca tengah. Aku yakin dirinya mengerti kalau aku menyindirnya.
"Hai, saya Abi." Laki-laki di samping Gery yang sedari tadi hanya memerhatikan perdebatan kami mengulurkan tangannya kepadaku.
"Halo. Larisa." Aku menjabat tangan yang diulurkan Abi lengkap dengan senyuman singkat yang menghias wajahku, "Teman kantor, Gery?" Aku melontarkan pertanyaan basa-basi. Tidak ingin menjalin hubungan bukan berarti aku harus bersikap dingin pada laki-laki yang dibawakan Gery untukku. Belum tentu pula laki-laki itu serta merta ingin memiliki hubungan denganku. Bisa saja dirinya hanya malas menolak keinginan laki-laki pemaksa yang berstatus sahabatku ini.
"Ya. Saya seniornya di kampus dulu. Kebetulan sekarang kita kerja di tempat yang sama." Aku hanya menganggukan kepalaku sebagai respon dari ucapannya. Laki-laki ini terlihat dewasa. Laki-laki berwajah serius tipe pencari istri bukan pacar. Kalau harus membandingkan Gery dengan laki-laki ini, dari segi fisik tentu Gery menjuarai. Laki-laki ini manis, kulitnya yang kecokelatan serta janggut yang menghiasi dagunya menambah kesan matang untuknya. Sedang Gery, laki-laki itu tidak akan membiarkan segala jenis rambut berada di wajahnya.
Hanya butuh sekitar sepuluh menit untuk sampai di rumah makan yang biasa aku dan Gery kunjungi. Tidak ada yang spesial, hanya karena pelayanan disini lebih dapat dikatakan cepat sehingga menjadi lebih efisien.
Sudah terlihat jelas kalau Abi mengikuti Gery hanya karena tidak enak pada laki-laki itu. Terbukti dari dirinya yang tidak mencoba untuk melontarkan banyak pertanyaan padaku. Atau laki-laki dewasa memang lebih pendiam.
"Mas Abi ini dulu pernah menjadi pembimbing kelompokku waktu di semester awal. Dia menjadi panutanku sewaktu kuliah dulu." Gery memulai promosi di tengah-tengah acara makan siang kami. Kebiasaan yang buruk, Gery selalu mengajak orang untuk berbicara di sela-sela makan. Ya, mungkin hanya untuk situasi nonformal seperti ini. Mana berani dia saat meeting dengan atasan menyela seperti ini. Meski serampangan, Gery adalah orang yang mengerti tata krama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Companion
RomanceKatakanlah awalnya hanya pelarian masa lalu. Namun kini, itu bukanlah suatu masalah besar untukku. Aku sudah dapat mengikhlaskannya jauh sebelum dia menikah. Kesendirianku bukan lagi tentang ketidaksanggupanku menutup kisah lamaku. -Larisa Kania- Me...