28

246 17 6
                                    

Sesuai perkiraanku sebelum berangkat, aku menunggu cukup lama di sini. Satu jam sudah kuhabiskan duduk di salah satu restoran cepat saji yang berada tepat di samping pintu kedatangan domestik.

Sejujurnya aku sudah tidak mengingat lagi cita rasa khas dari restoran ini. Terakhir kali mengunjungi restoran ini mungkin sekitar dua belas tahun yang lalu, saat aku masih menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama. Es krim cone rasa vanilla  dan cokelat yang dicampur bernama es krim monas menjadi favoritku dulu. Beruntung menu itu tidak hilang sampai saat ini aku memakannya.

Kepalaku berputar ke arah pintu yang terbuka karena didorong oleh seseorang. Laki-laki menggunakan kaos hitam dengan dilapisi jaket bomber berwarna dongker dan dipadukan dengan jeans dan sepatu converse berwarna senada tengah celingak-celinguk seperti mencari keberadaan seseorang. Dilihat dari pojok ruangan yang jauh ini pun aura Gery tetap terpancar. Terlebih Tas ransel yang tergantung di punggungnya serta topi hitam yang tersemat di kepalanya menambah kesan maskulin laki-laki itu.

Tanpa sadar aku tersenyum tipis memerhatikan sekitarku.  Beberapa perempuan muda bahkan dengan terang-terangan melihat ke arah Gery dengan senyuman lebar dan pipi yang merona. Untuk ukuran laki-laki, kulit Gery termasuk golongan putih meski pun aku merasa kulitnya menggelap dari terkahir kali bertemu. Rahang kokoh dan tatapan mata tajam memberikan efek tegas dan berwibawa dalam diri laki-laki itu. Andai saja Gery berjiwa bad boy, mungkin jumlah mantan pacarnya bisa membentuk girlband seperti Jkt48.

Gery tersenyum tipis sepanjang jalan menuju meja yang kutempati setelah berhasil menemukan tempat dudukku dengan sendirinya. Aku sengaja tidak memberikan isyarat apa pun seperti melambaikan tangan untuk mempermudah dirinya menemukanku. Rasanya sangat malas melepaskan topangan tangan pada daguku.

"Aku merasa ga dihargai. Pulang disambut dengan raut cemberut seperti itu," Gery melepaskan ranselnya kemudian menaruh di bawah meja sebelum menghempaskan dirinya pada kursi dihadapanku.

"Capek? gimana perjalanan?" Alih-alih menanggapi sindirannya, secara spontan aku justru menanyakan keadaannya. Rasa menyesal sedikit melingkupi diriku. Gery bisa besar kepala saat ini. Tetapi melihat raut lelahnya, meski ia berusahaan menutupi dengan senyuman, tanpa sadar aku sedikit simpati. Total perjalanan Gery hari ini kurang lebih delapan jam, dengan dua jam melalui jalur udara dan sisanya perjalanan darat dari Bontang ke Balikpapan.

"Nothing's special. Cuma aku merasa semangat aja pulang kali ini. Aku ga merasa capek sama sekali meski badanku pegal semua. Apa karena ada seseorang yang menunggu kepulanganku ya, La?!" Aku mendesis melihat Gery yang menaik-turunkan alisnya, menggodaku.

"Ngomong nih sama tisu bekas!" Aku melemparnya dengan tisu bekas aku mengelap lelehan eksrim yang mengotori meja sebelum bangkit meninggalkannya menuju pintu keluar.

"Aku pulang bukan buat dicuekin lho, La." Aku merasakan tangan yang melingkari bahuku sekarang. Dengan langkahnya yang besar, dalam sekejap dirinya sudah berhasil menyusulku yang sudah berjalan susah payah dengan langkah yang lebar.

Gery berbicara santai dengan nada pelan. Bahkan tatapannya tetap lurus kedepan dengan tangan kananya berada dalam saku jaketnya. Sangat santai. Berbanding terbalik dengan keadaan diriku saat ini. Melihatnya dari jarak dekat seperti entah mengapa seperti ada suatu perasaan yang melegakan menyeruak dari dalam diri.

Aku berdeham pelan untuk mengembalikan lagi kesadaranku, "Aku lapar." Sahutku singkat saat mata sudah kembali menatap lurus kedepan.

"Mau makan apa?" Gery semakin mengeratkan rangkulannya meski tatapannya tidak beralih sama sekali.

"Aku pengen cumi bakar." Dari sekitar satu minggu yang lalu, aku selalu melihat video seorang food traveler yang tengah menyantap cumi bakar berseliweran di explore instagramku. Aku bukan penyuka cumi, kalau disuruh memilih pun aku lebih memilih udang daripada cumi, tetapi sejak melihat video itu seleraku tergugah.

"Cumi? Lobster maksudnya?" Kali ini Gery akhirnya melihat ke arahku. Dahinya berkerut, memandang bingung padaku.

"Cumi, Ger."Dengan sabar aku meladeni pertanyaan bodohnya. Cumi dan Lobster jelas dua hal yang berbeda.

"Tumben? La, kamu ga- lagi-" Aku melotot padanya yang tengah memerhatikanku bolak-balik dari wajah ke perut.

"APAAN SIH?! YA ENGGAKLAH!" Rasanya aku tidak peduli lagi kalau suaraku terdengar oleh orang lain yang berada di selasar bandara ini. Refleks aku berteriak melihat Gery menuduhku tidak-tidak hanya karena aku terkesan mengidam?!

Bukannya merasa bersalah, Gery justru terkekeh geli. Entah menertawakan reaksiku atau justru menertawakan jalan pikirannya sendiri.

"Oke., Oke., Abisnya ini kali pertama kamu minta cumi. Biasanya kalau makan seafood yang dipesan kalau ga udang ya kepiting. Adanya di mana?" Gery kembali menarikku berjalan menuju pool taxi.

"Mang Engking," Aku menyengir lebar tanpa rasa bersalah ke arah Gery. Sedang laki-laki itu menatap sinis padaku, "Lho? Kamu tanya di mana, ya aku jawab." Aku berusaha membela diri meski tidak berhasil sama sekali.

"Ya kamu tahu kan kita sekarang di mana? dan lokasi Mang Engking itu di mana, Larisa" Aku meringis mendengar Gery mendesis kesal menjawab pertanyaanku.

Gubuk Mang Engking berada dalam satu komplek kampusku saat aku menempuh pendidikan diploma dulu. Mengingat jarak dari posisi kami saat ini menuju restoran seafood itu sangatlah tidak mungkin untuk digapai wajar saja kalau Gery meradang mendengarku berbicara tanpa berpikir.

Aku dan Gery tengah berada dalam antrean untuk mendapatkan taksi. Aku melirik jam tangan Gery yang berada tepat di samping leherku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, wajar saja kalau antrean ini tidak terlalu ramai seperti biasanya.

"Lebih baik ke Bandar Djakarta daripada ke Mang Engking. Mau?" Jemari tangan kanan Gery bergerak membenahi anak rambut yang menempel di dahiku. Dalam sekejap aku terpaku pada matanya yang menatap lurus padaku dengan sorot teduh. Terlebih jemarinya tidak berpindah dari atas kepalaku, mengelusnya dengan sangat lembut.

Selang beberapa detik, kualihkan tatapanku ke depan. Memutus kontak mata saat ini adalah yang terbaik yang harus dilakukan, "Pulang saja. Nanti aku pesan di restoran bawah saja. Kamu butuh istirahat." Aku menyebut rumah makan yang berada di ruko komplek apartemen kami. Aku melepas rangkulannya, mendahului laki-laki itu berjalan menuju taksi yang sudah ditunjuk oleh petugas.

"Makasih ya, La." Gery menahan tanganku yang akan membuka pintu belakang taksi. Tubuhku dengan spontan berbalik ke belakang, "Besok, take my time. Aku free satu minggu ini." Gery tersenyum hangat sembari tangannya mendorong pelan tubuhku untuk menyingkir dari pintu sebelum membukakannya untukku.

-------------to be continue----------------

Hiiii~~~

Sebelumnya aku mau minta maaf karena sebulan kemarin ga update sama sekali. Sejujurnya aku udah niat banget tapi apalah daya khayalanku tak sampai. 

Dari kemarin, entah kenapa aku lagi baper-bapernya sama moment La-Gery jadinya hari ini update lagi meskipun isinya cuma remahan moment La-Ger. Gaada alur cerita sama sekali karena part ini sama kemarin cuma fokus sama moment La-Ger yang diem-diem rindu.

"Kalau kata Dilan, rindu itu berat. Apalagi kalau ga diungkapin. Tapi kalau diungkapin, gengsinya yang berat." -Larisa

Happy reading :))

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang