31

144 9 11
                                    

Kakiku melangkah dengan penuh percaya diri memasuki ballroom tempat resepsi pernikahan Yudha dan Yoana. Bibirku masih membentuk senyuman penuh kemenangan mengingat ekspresi Gery saat pertama kali melihat dress yang aku kenakan saat ini. Laki-laki itu melongo begitu aku membuka pintu kamar. Aku memang menyuruh Gery untuk menunggu di luar kamar selama aku bersiap mengantisipasi hal yang tidak-tidak terjadi, seperti aku batal menghadiri pesta dan dikurung di kamar sendirian, misalnya.

Sepanjang perjalanan menuju tempat ini Gery tidak berhenti bersuara. Sebentar-sebentar mendumel sendiri lalu mencoba memprotesku yang sayang sekali hanya kubalas dengan senyum tipis. Aku hanya memakai gaun yang panjangnya hanya sedikit berada di atas lutut, kenapa Gery harus berlebihan seperti itu?!

Sedikit di atas lutut?!

Aku berhenti sejenak dan menunduk memerhatikan ujung gaunku. Sesaat aku terpaku, bertanya dalam hati.

Benar. Hanya sedikit.

Kembali aku melanjutkan langkah. Aku meyakini dengan seratus persen kalau pakaianku masih masuk dalam kategori sopan dan semi tertutup. Hehe

"Mau kemana kamu?" Gery menarik tanganku dan mendesis tajam.

Aku menunjuk tempat dimana Nadia tengah melambaikan tangan ke arahku, "Nadia dan Reza di sana."

"Tetap bersamaku. Aku mau minum dulu. Melihat penampilanmu sekarang membuat darahku naik." Gery menarikku mendekati meja berbentuk bundar tempat gelas berisi air putih berjejer rapih. Matanya masih memancarkan aura permusuhan padaku.

Aku memilih untuk tetap dalam mode diam. Meladeninya saat ini bisa-bisa berujung kami menjadi pusat perhatian. Aku takut kalau-kalau pria ini meledakkan emosinya tanpa melihat situasi dan kondisi.

"Aku masih ga habis pikir alasan kamu berpakaian seperti ini. Kamu mau terlihat cantik? Kamu mau menjadi pusat perhatian? Apa kamu sebegitu depresinya sampai-sampai harus kehilangan jati diri seperti ini?!" Aku mendelik mendengar rentetan kalimat yang dikeluarkan Gery. Laki-laki itu menghempaskan gelas yang telah kosong dan menatapku tajam.

Kuhela napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Gery benar-benar merusak suasana hatiku, "Kita selesaikan ini nanti. Kontrol emosimu kalau tidak mau jadi perhatian orang-orang." Sahutku tegas.

"Benar. Kita harus selesaikan ini nanti." Gery mendesis dan masih mempertahankan tatapan tajamnya padaku.

Gery kembali menarik tanganku, melanjutkan langkah menuju sekumpulan teman-teman sekolahku dulu. Aku mendongak sebentar memerhatikan ekspresi laki-laki ini. Gery memang aktor yang baik. Wajahnya terlihat sangat ramah, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia baru saja marah-marah.

"Wah.. Wah.. Wah.. Melihat dari jauh tadi, gua pikir Gery bawa orang lain. Lo beda banget, Sa. Cantik banget." Aku hanya bisa tersenyum kikuk mendengar penuturan Ramzy. Laki-laki itu menyambut kedatanganku dan Gery dengan menatapku bolak-balik dari ujung kaki hingga kepala. Ramzy memang melontarkan kalimat yang biasa, namun caranya menatapku benar-benar membuatku risih. Terlebih dirinya bukan orang yang dekat denganku.

Dalam hati aku menyesali perbuatanku hari ini. Aku pikir orang-orang tidak akan memerhatikan sebegitu detailnya apa yang kukenakan sekarang. Rasa tidak nyaman menguar dari tubuhku.

Aku merasakan genggaman tangan Gery menguat. Kepalaku tidak mampu untuk terangkat, melihat wajah laki-laki itu. Lagi-lagi aku merasa kalah darinya.

"Ketemu orang jauh itu pertama kali yang dibahas kabar, Zy. Gimana Ger Jakarta? Banjir? Macet?" Reza mendekat ke arah Gery dan mengulurkan tangan. Gery melepaskan tanganku, menyambut uluran tangan Reza untuk berpelukan. Beruntung suasana kembali mencair. Tidak Heran, Reza memang sangat terkenal sebagai pencair suasana sejak sekolah dulu.

Melihat Gery yang sudah mulai membaur dengan teman-temannya, kakiku melangkah mendekati Nadia. Baru saja aku menginjakkan kaki di sampingnya, Nadia langsung menyerbuku dengan cacian.

"Udah gila lo, gua liat-liat." Singkat, padat, dan menusuk. Nadia berbicara dengan tatapan masih lurus ke depan.

"Gua pikir gua keren" Sungutku yang dibalas dengan semburan ketawa dari Nadia. Aku hanya bisa tersenyum masam sembari berusaha memperbaiki mood yang terlanjur rusak. Mataku tertuju pada sekumpulan perempuan yang berada di samping Nadia, teman-teman Yoana dan beberapa orang yang pernah kulihat di acara buka bersama Gala waktu dulu.

"Hai, apa kabar?" Tanganku terulur, menyalami satu per satu dari mereka. Senyumku terbit seiring dengan moodku yang semakin membaik. Setelah berbasa-basi sebentar, aku kembali mengambil tempat di samping Nadia. Berada di tengah-tengah orang yang tidak begitu dikenal cukup melelahkan.

"Kezia di rumah sama siapa?" Aku teringat dengan putri kecil Nadia. 

"Ada mama nginep dari semalem. Lo dicariin mama, Sa. Katanya kangen tuh." Aku tersenyum mendengar kalimat Nadia. Aku memang cukup dekat dengan Mama Nadia. Sejak sekolah dulu, seringkali aku bermain bahkan sampai menginap di rumah Nadia.

"Besok gue ke rumah lo, deh. Bilang mama jangan pulang dulu sebelum Larisa datang." Sebelum pulang ke sini, aku memang sudah berniat untuk mengunjungi Nadia. Sejak lahir, aku belum pernah melihat Kezia secara langsung. Melihat kelucuan Kezia dari layar ponsel saat aku dan Nadia melakukan video call membuatku sangat tidak sabar untuk bertemu langsung.

"Ditunggu, Onty. Jangan lupa bawa sesuatu ya." Aku mencibir Nadia yang kini tengah menampilkan deretan giginya.

Mataku tergerak ke arah Reza dan Gery yang tengah berjalan menghampiri kami, "Ayo salaman dulu sama pengantin." Reza berujar sembari menggiring Nadia mendekati pelaminan.

Refleks aku berjalan mengikuti Reza dan Nadia dari belakang. Langkahku dihentikan oleh sebuah cekalan pada tangan kiriku, "Mau kemana?" Gery berujar santai.

Aku mengerenyitkan dahi mendengar penuturan Gery, "Salaman lah. Memangnya kamu ngga?" Aku pikir dengan Gery menghampiriku, sudah menunjukkan bahwa laki-laki itu akan mengajakku melakukan hal yang sama. Mengapa masih harus bertanya?! Aneh.

"Kenapa jalan sendiri? memangnya kuat?" Ekpressi Gery menunjukkan seolah laki-laki itu tengah mengejekku. Sial, kapan ini akan berakhir?!

"Ya sudah, Gandeng aku. Takutnya pingsan nanti di sana." Dengan kesal aku mengulurkan kedua tanganku ke hadapan Gery. Rasanya lelah sekali membantah laki-laki berkepala batu ini. Terserah dia mau berpikir seperti apa. Aku memilih untuk mengikuti jalan pikirannya mulai saat ini.

Gery terkekeh sebentar sembari menarik turun kedua tanganku dan mengambil tangan kiriku untuk digenggam. Kembali aku merasakan sebuah desiran saat Gery melakukan itu semua dengan sangat lembut. Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku, mengusir pikiran-pikiran aneh yang mencoba merasukiku.

Aku melepaskan tangan dari genggaman Gery saat mendekati kedua orang tua Yudha, berniat untuk menyalami mereka. Langkahku kembali terayun menuju ke arah Yoana dan Yudha. Senyumku semakin melebar saat Yoana menatapku. Kupeluk perempuan cantik yang berbalu baju adat ini sembali mengucapkan selamat. Yoana terlihat sangat bahagia.

"Makasih banget udah ngeluangin waktu untuk pulang, Sa. Aku terharu banget kamu mau repot-repot dateng ke sini." Yoana masih tersenyum hangat sembari menggenggam kedua tanganku.

"Sudah diundang, sudah seharusnya datang, Yo." Aku membalas senyuman hangat dari perempuan itu.

Langkahku berlanjut ke arah Yudha. Kuulurkan tangan sembari mengucapkan selamat. Yudha menyambut uluran tanganku dan tersenyum, "Makasih ya, Sa." Aku mengangguk dan kembali melanjutkan langkah. Aku merasa benar-benar lega. Aku bisa turut merasakan aura kebahagiaan yang mereka pancarkan.

Sayup telingaku mendengar suara dari belakang, "Jangan terlalu lama, Ger. Larisa nanti diambil orang" Itu suara Yudha. Aku mendengar Gery terkekeh sebentar, lalu membalas, "Ga ada yang bisa, Yudh" Aku melebarkan bola mata mendengar balasan Gery. Dih, pede sekali.

----------------------------------------------Happy Reading------------------------------------------------------------

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang