17

166 15 2
                                    

"Pagi, Mel. Tumben banget lo jam segini udah duduk disini." Sapaku pada Melia yang baru kali ini dirinya datang ke kantor lebih cepat dariku. Tanganku meletakkan tas ke atas meja kubikelku dan melepas heels yang kugunakan saat pergi tadi kemudian menggantinya dengan sandal jepit berbulu dan berwarna cokelat kesayanganku.

Tidak terasa sudah hampir dua tahun aku mengabdi pada perusahaan ini. Sampai sejauh ini aku tidak pernah merasa kurang nyaman sedikit pun. Bosan dan jenuh tentu pasti pernah dirasakan oleh setiap pegawai, namun bukan berarti serta merta harus larut dalam keadaan itu, bukan?! Terlebih dalam beberapa bulan ke depan aku akan meraih gelar Sarjana Ekonomi ku dan mendapat promosi menjadi supervisor di sini.

"Pagi, Sa. Gue harus memanfaatkan waktu yang tersisa bersama Pak Tian dengan sebaik mungkin. Kabarnya beliau mempercepat resign-nya. Aduh, Sa. Kenapa orang ganteng cepat atau lambat selalu menghilang dari pandangan gue." Aku menggelengkan kepala mendengarkan celotehan tidak bermutu yang dilontarkan Melia.

Secara tidak langsung aku memang terpilih untuk mendapatkan promosi jabatan ini sebagai pengganti Pak Tian. Kabarnya, dirinya mendapat tawaran untuk menjadi Manajer Keuangan di perusahaan jasa konstruksi. Sebenarnya aku turut merasa kehilangan sosok cerdas Pak Tian meski dirinya tidak pernah membimbingku secara langsung, tetapi aku juga merasa bahagia dengan promosi jabatan ini. Apa ini juga berarti kalau aku merasa senang dengan kepergiannya?! Aku merasa seperti pemeran antagonis.

Tidak ada yang istimewa antara hubunganku dengan Pak Tian sejak dirinya mengantarku pulang bulan lalu. Kami hanya bertukar pesan sekali yang hanya mengucapkan selamat hari raya padaku.

"Larisa, kita perlu membahas job description kamu yang baru nanti. Nanti malam bisa?" Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat apakah aku memiliki kegiatan setelah pulang dari kantor.

"sepulang kantor, pak?" tanyaku memastikan.

"Ya. Bisa, kan?" Pak Tian mengangguk pasti.

"Bisa, Pak. Dimana?"

"Nanti kamu ikut saya saja. Biar lebih efektif." Aku hanya mengangguk mengiyakan sebelum Pak Tian berlalu meninggalkan ruangan Divisi finance.

---

Mendekati pukul setengah delapan malam, aku dan Pak Tian kini sudah berada di salah satu rumah makan khas sunda yang sebenarnya menurutku ini cukup jauh dari daerah tempat kantor ku berada. Tempat makan dengan suasana tradisional yang sangat kental ini benar-benar membuat nyaman seperti berada di rumah. Konsep saung yang berada di dalam ruangan tidak memberikan kesan sesak sedikit pun ditambah dibawah saung dibuat kolam kecil yang berisi ikan – ikan memberi kesan tenang. Soal tempat, ini memenuhi kriteria untuk masuk ke dalam list wisata kulinerku bersama Gery,tidak tahu kalau soal rasa nanti.

Ngomong-ngomong tentang Gery, laki-laki itu sama sekali tidak mengabariku hari ini. sombong sekali, mentang-mentang dirinya saat ini sedang ada di Riau. Ya, meski untuk urusan pekerjaan, aku yakin dirinya akan menyempatkan untuk mampir ke rumah. Ah, Harusnya aku memilih jurusan yang sama seperti Gery waktu kuliah dulu. Eh, tapi aku tidak yakin bisa bertahan sampai skripsi sih.

"Kamu mau pesan apa, Larisa?" Aku mengerjap begitu mendengar suara Pak Tian yang entah mengapa terkesan lebih lembut dari biasanya.

Aku mengambil menu dihadapanku dan membolak-balik mencari menu yang sekiranya dapat menjadikan tempat ini masuk dalam daftar wisata kulinerku sepenuhnya.

"Gepuk dan ice lemon tea, pak" sahutku seraya menutup menu dan menatapnya sekilas sebelum memberikan menu kepada mbak pelayan yang sedari tadi setia duduk di sampingku.

"Gepuk satu, ice lemon tea satu, Nasi timbel-nya satu, dan teh hangat tawar satu. oh ya, sambalnya di bikin dua porsi ya, mbak." Aku melongo mendengar penuturan terakhir Pak Tian.

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang