18

172 14 9
                                    

Tidak terasa sudah sebulan aku menyandang gelar Sarjana Ekonomi secara resmi, setelah melewati sidang dan wisuda yang dihadiri keluargaku, Gery, dan yang membuatku terkejut adalah kedatangan Pak Tian secara tiba-tiba.

Sejak Pak Tian resmi resign dari kantor, aku memang dapat dikatakan cukup sering berinteraksi dengannya. Laki-laki berusia enam tahun di atasku ini semakin berani menunjukkan eksistensi dirinya padaku. Tak jarang dirinya menjemputku pulang kantor, mengantarku kuliah, bahkan menungguiku untuk sekalian mengantarku pulang ke rumahku. Ya, unit ku lebih tepatnya.

Hampir dua kedekatan kami, aku masih belum bisa menerka ke arah mana perasaanku. Meski ku akui, aku merasakan kenyamanan bersamanya. Keterbukaan laki-laki itu akan perasaannya tidak membuatku terganggu sama sekali, bahkan aku merasa tersanjung dengan perlakuannya padaku. Pak Tian memperlakukanku dengan sangat baik dan tidak terkesan berlebihan khas pria dewasa.

Gery akan sangat marah padaku kalau dirinya tahu alasan dibalik jawaban tidak tahu ku setiap kali laki-laki itu bertanya tentang perasaanku pada Pak Tian. Meski jauh dari lubuk hatiku sudah mengikhlaskan pengkhianatan beberapa tahun lalu, rasa takut akan pengulangan kisah masih mendominasi hatiku. Entah mengapa, rasanya sulit untuk mempercayai semuanya. Terlebih, ada alasan lain yang membuatku tak berani sepenuhnya membuka diri untuk laki-laki itu.

"Larisa, saya sudah di lobby."

Gerakanku semakin cepat membereskan barang-barangku yang berserakan di atas meja setelah mataku membaca notifikasi whatsapp dari laki-laki mantan atasanku itu. Aku sudah memberitahu Gery untuk tidak perlu menjemputku ketika tadi kami bertemu untuk makan siang bersama.

Sejauh ini Gery tidak berkomentar apapun mengenai kedekatanku dengan Pak Tian. Sahabatku itu hanya sekali menanyaiku ketika aku mengenalkannya pada Pak Tian saat kami makan siang bersama. Itu momen satu-satunya Gery bertemu Pak Tian.

Gery hanya berpesan untuk belajar membuka diri padaku karena menurutnya setidaknya aku menunjukkan ketertarikan yang sama pada mantan atasanku itu. Aku sendiri belum berani untuk bercerita banyak pada Gery. Aku harus menerka perasaanku terlebih dahulu. Memberi kepastian pada diriku sendiri.

---

Aku terheran ketika mobil Pak Tian berjalan lurus melewati lobby dan malah bergerak menuju basement. Kami sempat mampir di salah satu restoran untuk makan malam sebelum Pak Tian mengantarku pulang. Sejak menemuinya di lobby kantorku, laki-laki terlihat lebih diam dari yang kukenal akhir-akhir ini. Laki-laki itu seperti kembali ke kepribadiannya yang kukenal sebagai supervisor di kantorku dulu. Dingin dan tanpa ekspresi.

"saya mau membahas sesuatu sama kamu." Kalimat Pak Tian menjawab keherananku pada mobilnya yang sudah terparkir meski dengan AC yang masih menyala. Tapi kenapa harus disini? Kenapa bukan pada saat makan malam tadi?!, "Setidaknya kalau pembicaraan kita terasa tidak nyaman terlebih untuk kamu. Kamu tidak perlu jauh kalau-kalau kamu mau menghindari saya nantinya. Kamu bisa langsung naik ke unitmu. Saya juga bisa lebih tenang karena kamu tidak perlu berkeliaran di jalanan sendirian." Sejujurnya aku tidak begitu paham dengan kalimat yang dilontarkan laki-laki yang tengah bergerak untuk menghadapkan dirinya padaku. Pikiranku beputar-putar mencari kemungkinan topik yang akan diangkat laki-laki ini padaku.

"Bapak membuat saya bingung." Responku seadanya karena aku tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab kalimat panjang lebarnya barusan.

"Saya sudah berapa kali bilang untuk berhenti memanggil saya dengan sebutan bapak, Sa. Saya bukan atasanmu lagi." Aku melirik ke arah Pak Tian yang protes masih dengan wajah kalemnya.

"Saya cuma bingung mau manggil dengan sebutan apa. Saya sudah nyaman dengan panggilan bapak." Jujurku. Beberapa kali permintaannya padaku untuk mengganti panggilanku padanya tidak sama sekali kugubris. Aku hanya menganggapnya seperti angin lalu. Toh, aku pikir itu bukan suatu masalah yang besar.

"saya tidak masalah kalau kamu panggil nama. Apalagi kalau kamu manggil saya dengan Mas Tian, saya jadi semakin yakin padamu." Aku mengerenyitkan dahi mendengar kalimatnya barusan, terlebih lengkap dengan ekspresi menggelikan. Laki-laki ini tadi masih menunjukkan ekspresi dingin sekarang malah menggodaku seperti ini. Rasa-rasanya tadi dia masih makan sambal yang banyak seperti biasanya, tidak ada makanan aneh yang masuk ke perutnya yang dapat membuatnya tiba-tiba menjadi aneh seperti ini.

"Iya, saya akan coba. Tadi kamu mau bicara apa?" sengaja aku mengalihkan masalah sepele yang seharusnya tidak perlu dibahas terlalu panjang.

Aku memerhatikan sosok laki-laki dihadapanku ini seketika menarik napas panjang dan terlihat gusar. Ekspresinya kembali seperti beberapa saat yang lalu. Berulang kali matanya menatap ke arahku kemudian ke arah persneling mobil.

"saya ga tahu apa yang ada dipikiranmu tentang saya, dari sikapmu selama ini, saya melihat ada batas yang dengan sengaja kamu ciptakan. Kamu masih meragukan saya, Larisa?" Aku menatapnya kaget. Ku netralkan kembali raut wajahku sesaat setelah aku bisa mengatasi keterkejutanku. Selama ini aku pikir aku tidak menarik diri atau bahkan menghindarinya. Aku berinteraksi layaknya seperti seorang teman biasa. Selama ini juga Pak Tian terlihat baik-baik saja, dirinya tidak pernah menyinggung hubungan kami yang memang masih tidak ada kejelasan ini.

"Kamu memang terbuka, Sa. Kamu mau berbagi cerita dengan saya dan saya benar-benar senang akan hal itu. Kamu seakan menganggapku cukup berarti. Tetapi saya tidak buta, Sa. Dibalik semua sikap hangatmu, kamu masih terlihat membangun dinding di hatimu. Dan dinding itu rasanya sangat sulit untuk saya hancurkan." Aku terhenyak mendengar nada lirih yang menjadi pengiring laki-laki ini melontarkan kalimatnya. Tatapan sendu Pak Tian membuatku sedikit merasa bersalah. Aku sudah berusaha untuk bersikap layaknya seorang perempuan jatuh cinta. Memposisikan diri senyaman mungkin agar dia dapat merasakan hal yang sama. Apa ketakutanku jauh lebih besar dari yang aku sadari selama ini?!

"Saya.. Maaf.. Tapi.. –"

"Kamu tidak perlu minta maaf, Sa. Ini bukan kesalahanmu. Saya ga tahu apa yang kamu hadapi di masa lalu tapi tolong, Sa, tolong katakan saya harus melakukan apa lagi untuk menunjukkan kalau saya tidak main-main dengan perasaan saya. Saya tidak dan tidak akan pernah mempermainkanmu." Aku menunduk memerhatikan kedua tangan Pak Tian kini menggenggam pergelangan tangan kananku dengan erat. Aku dapat merasakan getaran dibalik kuatnya genggaman tangan itu. Ya Tuhan, aku tahu ini salah, tetapi aku tidak bisa memungkiri kalau aku sudah menambatkan hati padanya.

"Saya cinta kamu, Sa. Beberapa waktu saya lewatkan hanya dengan melihatmu dari jauh ketika saat itu saya pikir kamu sudah memiliki pasangan. Akhirnya, saya memberanikan diri menghampiri setelah beberapa waktu hanya bisa memandangimu pulang bersama laki-laki yang kamu sebut sebagai sahabatmu. Kata-kata Melia yang mengatakan kalau kamu dan Gery hanya berteman, yang tidak sengaja saya dengar, menjadi titik tolak saya untuk memberanikan diri merealisasikan keinginan saya selama ini." Aku sama sekali tidak berani bergerak sedikit pun. Bahkan mataku masih setia menatap genggaman tanganya yang semakin mengerat. Bohong kalau aku terkejut dengan pengakuannya. Bohong pula kalau aku mengatakan aku tidak senang dengan hal itu. Aku merasa ini sangat tidak benar, tapi aku sungguh tidak bisa menampik ini semua.

Jemari Pak Tian melepas genggamannya pada pergelangan tanganku. Dengan lembut, jemari Pak Tian kini berada di dagu ku, menegakkan wajahku. Mau tidak mau, mataku kini berhadapan dengan sorot lembut di depanku ini.

"Let me touch your heart, please?" Bisik Pak Tian tepat di depan wajahku. Bibirku tertarik dengan sendirinya membentuk senyuman melihat tatapan lembut yang mampu membuatku tenang menatapnya.

"Saya.. saya butuh waktu.." Sahutku terbata. Aku tidak memiliki niat sama sekali untuk menggantungkannya seperti ini. Tapi, aku tidak akan bertindak gegabah seperti dulu lagi. Terlebih kali ini keadaannya jauh lebih kompleks.

"Saya tidak memaksamu, Sa. Saya akan menunggumu sampai kamu siap. Tapi saya harap, saya akan melihat binar di matamu kemudian hari. Bukan hanya tatapan hampa seakan kamu berada jauh padahal kamu dihadapan saya dan nyata."

Aku tidak mengerti maksud kalimatnya yang terakhir. Apa yang dirinya maksud dengan tatapanku?!

"Sekarang masuklah. Terima kasih untuk tidak kabur di tengah-tengah pembicaraan kita tadi." Pak Tian tersenyum lembut seraya mengelus pelan rambutku sebelum bergerak membukakan sabuk pengaman yang bahkan aku sama sekali tidak menyadari kalau aku masih memasangnya. Tidak terasa, hampir satu jam aku berada di dalam mobil ini dalam keadaan semua menyala. Mesin menyala, AC, bahkan radio pun masih memutar lagu dengan volume kecil. Aku benar-benar kehilangan fokusku pada sekeliling.

===

La - Gery atau Sa - Tian?! hehe

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang