25

217 10 2
                                    

Mataku teralihkan dari layar komputer saat merasakan getaran dari ponsel yang terletak di atas tumpukan beberapa berkas pekerjaanku. Panggilan masuk dari nomor asing. Tak berniat menjawab, aku lebih memilih kembali menekuri angka-angka di hadapanku. Akan kuhubungi kembali ketika jam istirahat nanti.

Getaran berhenti pertanda panggilan itu berakhir. Tak ada pengulangan panggilan yang dapat kuartikan sebagai panggilan yang tidak begitu mendesak. Aku dapat bekerja lebih tenang tanpa harus repot-repot memikirkan orang pemilik nomor asing tersebut.

Satu jam berlalu, waktunya untuk menjernihkan pikiran dan mengisi kembali energi yang sempat terkuras sejak empat jam yang lalu karena terus berkutat dengan data-data pengeluaran perusahaan. Aku bersiap melangkah meninggalkan ruangan dan menuju kubikel para supervisor yang berada di satu ruangan denganku. Divisi yang kunaungi ini seringkali menghabiskan waktu makan siang bersama, tak heran kalau rasa kekelurgaan terasa sekali di lingkungan ini.

"Mba, Mas, yuk. Aku ke sebelah dulu ya," sapaku pada dua perempuan dan satu laki-laki pengisi kubikel tepat di depan ruanganku.

Ruangan sebelah yang kumaksud adalah ruangan khusus sembilan staff akunting yang terletak di bagian barat ruangan ini. Perbedaan yang kentara di sini dan di kantor lama ku dulu. Para staff di sini dikumpulkan dalam satu ruangan besar tanpa skat dengan pantry sendiri di bagian belakang ruangan dan terdapat televisi berukuran 32 inches tergantung di dinding samping pintu masuk.

Di dalam ruangan itu juga terdapat meja berbentuk persegi yang berukuran besar sebagai tempat untuk briefing divisi. Meja itu seringkali dialihfungsikan sebagai meja makan sembari bercengkerama. Sejauh ini aku benar-benar merasa senang sekali di lingkungan ini.

"Yuk, Sa. Beres-beres dulu ya," Mba Vina, ibu muda yang baru saja kembali dari cuti melahirkan, memberiku senyuman sembari membereskan barang-barangnya di atas meja. Begitu juga dengan Mbak Dian dan Mas Bowo.

Kakiku kembali terayun saat mendapat respon ketiganya. Aku tersenyum sumringah ketika semua staff-ku sudah berkumpul di titik antara pintu ruangan staff dan pintu area kubikel supervisor.

"Wah sudah siap, ya?" Aku menyapa sembari menyapukan pandangan kepada semua orang di sana.

"Kita ambil mobil dulu ya, Mbak," Reno, staff termuda di divisi ini, menunjukkan kunci mobil yang berada dalam genggaman tangannya. Aku melihat Reno, Ian, dan Andri bergerak menjauhi kerumunan usai mendapatkan anggukan dariku.

Setiap kali bepergian seperti ini kami biasanya menggunakan tiga mobil. Dan mobil yang menjadi langganan untuk digunakan pasti mobil milik tiga laki-laki termuda di divisi ini. Reno, fresh graduate yang baru bergabung dengan perusahaan dua bulan lalu menggantikan posisi mobil Tania. Ian dan Andri yang sama-sama berusia dua tahun di bawahku ini sudah bergabung sejak mereka menjalani program praktik kerja lapangan.

"Kuy. kuy," Suara Mbak Dian menggiring semua orang yang berada di sana berjalan keluar meninggalkan ruangan. Beruntung kantor divisiku terletak di lantai tiga hingga kami lebih sering menggunakan anak tangga demi menghindari antrean pada lift yang digunakan tak hanya oleh karyawan yang bernaung di perusahaan yang sama dengan kami.

Kurasakan getaran dari ponsel yang berada dalam genggaman tangan kiriku. Nomor asing yang sama. Kakiku masih terus melangkah menuruni anak tangga, mengejar rombongan yang berjalan di depanku. Jemari tergerak menggeser layar, menjawab rasa penasaran dari balik nomor asing ini.

"Halo. Selamat siang," Sapaku setelah memastikan ponsel menempel pada daun telinga.

"Siang, Sa. Ini gue Yoana," Aku tertegun sejenak mendengar nama itu. Langkahku terhenti hanya untuk memastikan kalau pendengaranku sedang tidak bermasalah. "Aku ganggu, Sa?" Mataku mengerjap pelan, mengembalikan kesadaran saat suara Yoana kembali menyapa. Aku tidak salah dengar dan ini tentu bukan mimpi.

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang