30

280 12 11
                                    

Aku sangat percaya dengan kalimat 'Karma does exist'. Peribahasa yang mengatakan tentang apa yang kau tanam maka itu lah yang akan kau tuai di kemudian hari benar-benar cocok untukku saat ini. Aku merasa berdosa karena mengerjai Faris dengan mengelilingi mall kemarin. Siang ini Tuhan membalaskan perbuatanku melalui Gery.

Gery merupakan salah satu contoh nyata dari definisi laki-laki metroseksual. Pria yang menjadikan penampilan di atas segalanya. Selera fashion-nya bahkan lebih baik daripada perempuan sekali pun. Percaya tidak percaya, Gery lebih sering berkaca daripada aku. Ketika semua dirasa sempurna, laki-laki itu masih akan tetap memandangi diri di cermin hanya untuk berkata, 'La, kata siapa manusia tidak ada yang sempurna?'. Arogan sekali, bukan?!

Sudah empat toko yang kami masuki dalam kurun waktu hampir dua jam ini. Tidak ada tanda-tanda darinya untuk mengakhiri pencarian ini. Jangankan menentukan untuk membeli baju yang mana, Gery bahkan masih belum memutuskan untuk memakai atasan batik atau kemeja biasa.

"Ger, kamu butuh waktu berapa lama lagi? keburu sore ini. Lagian kenapa baru mau nyari sekarang, sih?!" Aku menggerutu di belakang Gery yang sibuk membolak-balik deretan kemeja batik di depannya.

"Kamu udah ngeluarin kalimat itu dari tempat pertama yang kita masukin tadi. Seharusnya yang kamu keluarin itu dress yang kamu beli kemarin, biar aku bisa tau cocoknya sama baju yang mana. Lagian kenapa harus pakai disembunyikan segala, sih?! Aku curiga sama kamu." Mulutku bergerak mengikuti gerak mulut Gery. Mencibir perkataannya adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan sebagai bentuk luapan emosi saat ini. Lihat saja, dua kalimatku berbalaskan dengan rentetan panjang yang keluar dari mulutnya.

Sebenarnya aku sedikit bersyukur dengan planning Gery tadi malam. Sepanjang perjalanan pulang usai dari membeli dress kemarin aku berpikir keras bagaimana cara memakainya tanpa ketahuan ayah. Dalam hati aku mengamini perkataan Faris bahwa ayah tidak mungkin mengizinkan aku pergi dengan model baju yang seperti itu.

Telepon masuk dari Gery yang bermula dari menanyakan warna dress-ku berujung pada permintaannya untuk menemani-nya membeli atasan berwarna sama dengan milikku. Benefit yang aku dapatkan adalah Gery memesan satu kamar di hotel tempat acara pernikahan Yudha dan Yoana berlangsung untuk aku bersiap-siap.

Aku tentu tidak akan melewatkan kesempatan emas yang ditawarkan Gery. Meski aku yakin sekali akan mendapatkan protes dari laki-laki itu tetapi setidaknya Gery tidak akan memintaku untuk berganti dress karena sudah tidak ada waktu lagi yang tersisa.

"Siapa yang menyembunyikan?! Aku kan sudah bilang kalau dress-nya itu ada ditumpukan paling bawah, ketutupan sama peralatan make up-ku. Jadinya ya susah buat dikeluarin." Dengan refleks kepalaku mundur ke belakang begitu Gery memajukan wajahnya ke hadapanku.

"Pokoknya aku curiga ya, La." Gery menyipitkan matanya. Dengan sedikit sentakan, tangan kanan Gery menarik salah satu kemeja batik berlengan panjang yang berwarna senada dengan gaun-ku. Tanpa menghiraukan aku yang masih spot jantung dengan tindakannya barusan, laki-laki itu melangkah dengan pasti menuju meja kasir. Berteman bertahun-tahun dengan laki-laki itu ternyata tetap tidak menghilangkan rasa takutku padanya.

Aku masih diam membeku di tempat, sembari mata memerhatikan gerak-gerik Gery yang tengah melakukan transaksi di meja kasir. Gery menghampiri tak berselang lama kemudian dan langsung menarik tanganku menuju arah luar toko. Mataku tanpa sengaja memerhatikan kaitan jemari kami. Tanpa sadar tubuhku berdesir, rasa hangat dari genggaman tangan Gery seolah-seolah menjalar ke seluruh tubuhku. Aneh sekali, rasanya sudah ribuan kali tanganku berada di genggamannya, mengapa aku baru merasakan kenyamanannya sekarang?!

Baru saja Gery membuka pintu kamar, aku langsung berlari menuju kasur yang berada di tengah-tengah ruangan. Tanpa menghiraukan pelototan laki-laki itu, segera kurebahkan tubuhku di sana. Sekuat tenaga kutahankan mata agar tetap terbuka. Kenyamanan kasur ini takut-takut akan menggagalkan aku menghadiri acara nanti malam.

"Berlebihan sekali, seperti tidak bertemu kasur selama setahun. Lepas dulu sepatumu dan cuci kaki." Gery menghampiri setelah menyimpan semua barang-barang yang dibawa ke atas meja. Cepat-cepat aku menarik bed cover dan membelitkan ke seluruh tubuhku begitu Gery mengulurkan tangannya berniat untuk menarik tubuhku dari kenyamanan yang hakiki ini.

"La! Astaga! jorok sekali. Bangun, ga?!" Gery tidak menyerah rupanya. Tangannya terus bekerja, berupaya untuk membuka lilitan bed cover di tubuhku. Dia salah kalau berpikir aku akan menyerah dan menuruti kemauannya. Aku harus menang kali ini.

Dengan brutal, kulayangkan kedua kakiku ke depan. menendang bebas tanpa arah dengan harapan akan memukul mundur Gery karena berontakanku. Namun, sepertinya aku melakukan kesalahan. Tubuhku seketika membeku seiring dengan mataku yang terpaku pada wajah yang berjarak hanya sejengkal dari wajahku.

kebrutalan kakiku tanpa sengaja mengenai kaki Gery sehingga membuat laki-laki itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh menimpaku. Pikiranku benar-benar kacau saat ini. Aku takut Gery mendengar suara jantungku. Bisa habis harga diriku kalau Gery tau jantungku tengah berdegub kencang saat ini.

"Napas, La." Gery berbisik seraya matanya menatap lurus pada retinaku. Astaga! Aku benar-benar membenci Gery. Tuhan, maafkan pikiran liarku saat ini. Gery terlihat begitu menawan sekarang.

Aku menghembuskan napas dengan sangat perlahan. Ya ampun, aku bahkan tidak sadar kalau menahan napas sedari tadi. Kenapa sistem kerja tubuhku menjadi tidak normal, ya?!

"Menyingkirlah." Aku bergumam pelan. Mataku sudah tidak mampu menatap Gery lebih lama lagi.

"Kalau aku ga mau?" Aku memelototkan mata melihat Gery menyeringai dengan sangat menjijikkannya. Astaga! Andai kedua tanganku tidak terlilit Bed Cover, dirinya pasti sudah kudorong menjauh. Aku tarik kembali kata-kata yang menyebut kalau Gery menawan tadi. Gery tetaplah Gery. Laki-laki paling menyebalkan yang diciptakan Tuhan.

"Cepatlah, Ger. Badanmu berat." Aku memutar kedua bola mata. Malas menghadapi Gery dengan segala tingkah menyebalkannya.

"Latihan buat nanti, La" Gery bergumam pelan.

"Latihan ap..." Kalimatku terhenti dan mataku kembali melotot. Aku masih menatap kosong kedepan melihat Gery yang kini sudah menjauh dari badanku. Syok masih melandaku dengan kejadian yang beberapa saat lalu terjadi. Gery mengecup dahiku lalu tersenyum simpul dan mengacak pelan rambutku sebelum berdiri.


----------------------------------------------------------------

Haiiiiii... sejujurnya aku ga kepikiran untuk nerusin ini lagi. Tapi aku terharu banget waktu dapet notif ternyata masih ada yang nungguin cerita ini dan ngebaca cerita ini. Aku bikin cerita ini pada awalnya cuma kegabutan semata tanpa berniat untuk serius. Ditambah kesibukan-kesibukan lain membuat aku jadi lupa sama wattpad yang ujung-ujungnya lupa juga kalo aku masih punya cerita yang menggantung hehehe.

Makasih banyak ya buat siapapun yang masih mau ngebaca cerita ini.

Happy readiiiinnnggggg~~~~

Life CompanionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang