Lama mataku menatap nanar pada layar ponsel. Berulang kali menarik napas demi menetralkan detak jantung. Aku mengutuk diri sendiri karena bertingkah seperti orang yang tengah dilanda cinta.
Jemari mulai bergerak menggeser layar dan menekan tombol mode loudspeaker. Ponsel kuletakkan di atas bantal sofa yang tengah kupangku.
"Halo, Lala," Aku mengerenyitkan dahi begitu mendengar suara bass Gery menyapa. Gery salah menelepon orang atau apa?!
"Maaf, salah sambung," Aku menyahut ketus.
"Ga kok. Ini benar nomor orang yang lagi kangen sama saya," Gery terkekeh geli diujung sana.
Bunyi ketukan pintu menyelamatkan Gery dari umpatan kasarku. Niatku tadi ingin memakinya karena sudah bertingkah aneh bin menjijikkan kalau saja bunyi ketukan pintu itu tidak terdengar begitu jelas di telingaku.
"Tunggu sebentar kalau ingin mendengar makianku. Aku mau mengambil pesanan dulu,"
Aku bangkit dari sofa dan menyambar dompet di atas meja sebelum berjalan menuju pintu depan. Benar saja, pesanan makananku datang.
Usai melakukan transaksi dengan memberikan satu lembar uang kertas berwarna biru, aku kembali menuju ruang tengah. Tidak ada yang spesial dari menu makan malamku ini, hanya satu paket ayam bakar dan es teh manis dari salah satu restoran franchise menengah di Indonesia.
"La?" Baru saja aku meletakkan makanan di atas meja, suara Gery kembali menyapa.
"Apa?!" Sahutku ketus.
"Jutek betul. Daritadi dipanggil ga ada respon, sekalinya merespon begini." Ohh ternyata barusan adalah panggilan sekian kalinya.
"Dibilang aku lagi ambil pesanan di depan tadi, Ger" Aku berujar malas. Kalau saat ini kami tengah berhadapan, mungkin Gery akan mengacak rambutku dengan kasar karena memutar bola mata saat berbicara.
"Dasar jomblo. Malam minggu bukannya pergi malah delivery makanan."
"Sudah lama ga ada kabar. Sekarang malah ngatain," Aku berujar sewot sembari memfokuskan diri pada makanan di hadapanku saat ini.
"Kamu sensitif sekali sih malam ini, La? kenapa? Kantor baru ga nyaman?" Gery mengubah nada suaranya menjadi serius.
Tanpa sadar, senyum kecil terbit dari bibirku. Aku membayangkan Gery duduk bersila di sofa sembari memfokuskan tatapan padaku. Dengan penuh antusias, dirinya akan mendengarkan setiap keluh kesahku baik tentang pekerjaan mau pun masalah kuliahku dulu.
Selesai aku mencurahkan seluruh emosiku, sahabat baikku ini akan menarikku mendekat. Merangkul bahu dan mengelus pelan suraiku. Gery tidak akan mengeluarkan suaranya sebelum deru napasku kembali teratur.
menenangkan.
Laki-laki itu selalu tahu kapan harus menyikapi ceritaku dengan serius atau bercanda. Ketika masalahku memang cukup serius, dirinya sama seperti ayah ketika menasihati tentang sekolahku dulu. Tetapi ketika menurutnya aku hanya terbawa perasaan, maka mulut manis laki-laki itu dengan senang hati akan melemparkan ejekan menyakitkan.
Aku benar-benar benci untuk mengakui.
aku merindukan Gery.
"Cuma kaget sama posisi baru. Gimana di sana? Betah kamu di tempat ga ada hiburan gitu?"
"Totalitas tanpa batas lah untuk masa depan. Ngomong-ngomong, lusa aku pulang."
"Dalam rangka apa?" Aku harus bersyukur karena tidak sedang mengunyah makanan atau bisa dipastikan akan tersedak mendengar penuturannya. Seingatku Gery baru menyelesaikan dua bulan dari total empat bulan kewajibannya di sana.
"Dalam rangka nemenin seseorang datang ke pernikahan mantan gebetan dan mantan musuhnya."
Dahiku berkerut, berpikir keras mencari maksud dari kalimatnya.
Satu detik. .
Dua detik. .
Tiga Detik. .
SIALAN!
Gery seratus persen berbicara tentangku.
"Maksudnya apa ya Bapak Gery yang terhormat?!" Aku menahan geraman. Laki-laki satu ini memang tidak pantas untuk dirindukan.
"Aku tahu kamu pasti nekad datang ke nikahan mereka. Dan kamu pasti butuh pundak seseorang Gery untuk menampung kesedihanmu."
Aku memutar bola mata, kesal. Sifat Gery yang sok tahu tentangku benar-benar memuakkan.
"Sok tahu banget kamu. Kalau tujuanmu pulang cuma buat nemenin aku, mending ga usah. Aku ga butuh kamu," Sahutku ketus.
"Jangan coba-coba datang sendiri ya, La. Kamu ga tahu apa yang bakal kamu hadapi nanti di sana," Nada memperingati terdengar dari seberang sana.
"Apaan sih?! Lebay kamu. Lagian aku ada teman ke sana."
"Siapa?" Nada suara Gery terdengar semakin serius.
"Ada pokoknya. Nanti ada waktunya kamu tahu." Aku bingung pada diri sendiri. Apa untungnya aku berbohong seperti ini. Ah, ini pasti karena alam bawah sadarku membenci sikap sok tahu laki-laki itu.
"Apa-apaan kamu?! Main rahasia begini. Ga ada lagi kamu main sembunyiin laki-laki yang dekat sama kamu ya, La. Cukup Tian aja, aku kebobolan," Nada suara Gery tidak santai sama sekali. Ingin sekali rasanya tertawa keras mengetahui respon Gery yang terdengar begitu posesif. Manis sekali.
"Udah ah. Aku mau tidur cepat malam ini."
"La, inget omonganku barusan."
"Iyaa"
"Ga ada laki-laki tanpa tahap seleksiku."
"Iyaaa, Ger. Apalagi?" Meng-iya-kan perkataannya adalah pilihan terbaik daripada harus mendengar omelannya sepanjang malam. Toh, memang tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatiku saat ini.
"Datang ke pernikahan Yudha dan Yoana bareng aku."
"Iyaa, Bapak Gery. Udah ya?"
"Aku flight malam. Jemput di Soetta, ya?"
"Astaghfirullah, kamu nyiksa aku?! Kenapa ga ambil di Halim, sih." Yang benar saja malam-malam aku harus melakukan perjalanan nan jauh ke Cengkareng sana. Memang sih sekarang ada kereta, jadi ga perlu susah-susah bermacet-macet ria. Tapi tetap saja menjengkelkan.
"Kalau ada juga aku ambil yang Halim. Pokoknya jemput, aku ga mau tahu." Gery si kekanakan mode on.
"Iya. iya. Udah, dong."
"Terakhir,nih"
"Ya udah, apa?! Buruan."
"Aku kangen kamu."
TUT.
Mati??
Aku menatap layar ponselku yang menampilkan sambungan teleponku bersama Gery telah berakhir.
Yang benar saja?? Gery memutuskan begitu saja setelah bilang kangen?!
Pertama, bukan Gery sekali bilang kangen se-frontal itu. Kedua, langsung matiin? Karena malu? God. Sama sekali bukan Gery, bertingkah malu-malu kucing seperti bocah SMP.
Tanpa sadar tanganku bergerak ke arah dada sebelah kiri.
Aku deg-degan?!
Karena Gery?
Dunia sepertinya akan runtuh.
========================================
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Companion
RomanceKatakanlah awalnya hanya pelarian masa lalu. Namun kini, itu bukanlah suatu masalah besar untukku. Aku sudah dapat mengikhlaskannya jauh sebelum dia menikah. Kesendirianku bukan lagi tentang ketidaksanggupanku menutup kisah lamaku. -Larisa Kania- Me...