Chapter 25 - Takdir

1.4K 100 3
                                    

Kamis, 8 Maret 2018. Kediaman Herry Hernawan, 11.37

Waktu makan siang. Biasanya kebanyakan karyawan atau siapapun yang kerja di kantor akan menghabiskan waktu makan siangnya di kantornya pula. Tetapi tidak dengan Pak Herry hari ini. Ia pulang cepat hanya untuk menyempatkan makan siang bersama keluarga kecilnya.

"Loh yah, kok cepat pulang?" tanya Iqbaal setelah menyaliminya.

"Jadi, kamu gak seneng kalau ayah makan siang sama kalian?" Senyum Iqbaal pun merekah saat mendengar kalimat itu. Sudah lama ia tak makan siang dengan ayahnya. Ia pun langsung bergegas menuju ruang makan bersama ayahnya.

"Wah, barusan nih makan siangnya lengkap," ucap Fildza saat menuangkan air ke dalam gelas.

Bunda tertawa, "Ini juga gara-gara bunda rayu pake rendang,"

Keempat insan yang berada di meja makan tertawa.

Makan siang pun berlangsung hening beberapa menit. Tidak ada yang membuka suara. Hanya tabrakan antara sendok dan piring yang menemani mereka.

"Tugas yang ayah kasih sudah sampai mana perkembangannya, Le?" tanya Pak Herry membuka pembicaraan. Fildza langsung mengangkat kepalanya, ia tahu kemana topik pembicaraan ayahnya itu.

"Gak ada perkembangan,"

"Kenapa? Apa kamu gak sanggup balasin dendam ayah?"

Kali ini, Bu Rike tertarik dengan pembicaraan ayah dan anak lelakinya.

"Bukan yah, tapi ini udah salah. Ayah selalu berusaha balas dendam ke keluarga Pak Dimas, padahal kematian Kak Bani itu bukan kesalahan Pak Dimas! Itu sudah takdirnya yah! Percuma, ayah ngelancarin dendam sana-sini, cuma bikin dosa!"

Pak Herry menghentikan kegiatannya. Ia menatap Iqbaal tajam.

"Jadi, sekarang kamu bela keluarga Dimas? Apa kamu sudah dipengaruhi oleh perempuan yang selalu ngemis harta sama kamu? Iya?"

Iqbaal memukul meja, selera makannya tiba-tiba saja hilang, "Ayah gak tau bagaimana (namakamu), ayah sudah salah nilai orang! Harusnya ayah sadar, kelakuan ayah ini sudah salah! Salah ayah!"

Plak

Satu tamparan kembali mendarat mulus di pipi kiri Iqbaal. Membuat bunda dan kakaknya berteriak histeris.

Iqbaal tersenyum, "Kenapa yah? Gak terima Iqbaal katain begitu? Harusnya ayah harus intropeksi diri!"

"Iqbaal!" Tegur bundanya. Tetapi, ia tak menggubrisnya.

"Ayah ngorbanin perasaan Iqbaal buat balas dendam ayah yang gak bermutu itu. Apa ayah kurang menyakiti keluarga Pak Dimas sehingga perasaan anakmu juga dikorbankan? Iya?"

"Cukup Iqbaal! Kamu sudah lancang sama orang tua!" Bentak Pak Herry sambil menunjuk anaknya tepat di depan matanya.

Iqbaal menghela nafasnya, "Maaf yah. Tapi semua ini demi kebaikan kita semua, kalian dulu adalah sahabat. Dan sekali lagi Iqbaal ingatkan, kematian Kak Bani itu ajal, yah. Ajal,"

"KELUAR KAMU DARI SINI! KEMBALI JIKA PIKIRANMU SUDAH KEMBALI JERNIH!" Perintah Pak Herry dengan suara tinggi dan langsung dituruti oleh Iqbaal. Ia keluar dari rumah itu dan memasuki mobilnya.

Pikirannya hari ini kacau. Sangat kacau. Ia sudah berani melawan orang tuanya. Air matanya pun kembali terjun. Ia membiarkan air mata itu mengalir. Biar saja orang akan mengatakannya seperti apa. Padahal, ia hanya berusaha mengingatkan ayahnya agar menyudahi pembalasan dendam ini.

Emosinya yang tak menentu membuat ia menyetir mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia seperti menyetir mobil di arena balap saat ini. Sangat laju. Ia tak habis pikir dengan ayahnya yang memanfaatkan (namakamu) sebagai batu lompatan dalam pembalasan dendam yang tak kunjung usai.

Victim of Feeling [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang