Zidane pergi meninggalkan halaman sekolah, sampai di rumah dengan selamat. Seperti biasa tidak ada orang di rumahnya, hanya ada beberapa pembantu yang bekerja di sana.
"Zidane sudah pulang?" Zidane mengangguk dan masuk ke kamarnya. Di manapun Zidane berada, memang seperti itu orangnya, benar-benar irit bicara.
Bi Ida menghela nafasnya melihat anak tuannya. Bahkan tuannya pun jarang sekali terlihat di rumah apalagi sejak kematian istrinya. Hanya ada putranya di rumah sebesar ini.
Seperti biasa Bi Ida akan mengantarkan makanan ke dalam kamar Zidane. Entah dimakan atau tidak itu urusan belakangan, yang penting pembantunya sudah mengantar makanannya.
Bi Ida baru saja mau masuk, dan melihat Zidane sudah berjalan keluar kamar, pakaiannya juga sudah diganti. "Saya mau pergi keluar, cari angin," katanya.
Zidane memang selalu berbicara sebelum pergi, setidaknya membuat Bi Ida merasa lebih tenang, daripada Zidane pergi begitu saja tanpa kabar.
Sekretaris ayahnya mengatakan, "Jangan pulang terlalu malam, Zidane. Papa mu akan pulang nanti malam." Zidane tak menjawab dan memilih pergi.
Motornya dalam sekejap meninggalkan halaman rumahnya. Melewati jalanan Jakarta yang sangat ramai. Tujuannya adalah bangunan tua yang sering dikunjunginya, bangunan yang membuatnya merasa nyaman jika berada di sana.
Lampu merah sekarang, jadi Zidane berhenti. Tanpa sadar bahwa mobil di sebelahnya, ada seorang gadis yang terus menatapnya.
"Ada Zidane," gumamnya saat melihat motor di sebelahnya. Begitu lampu menunjukkan warna hijau, motor Zidane langsung melaju cepat.
"Pak, ikutin yang pakai motor itu. Agak cepet ya," pinta Angel karena takut kehilangan jejak. Supirnya mengangguk dan mengejar motor Zidane yang melaju dengan cepat.
Motor itu berhenti di bangunan tua, begitu juga dengan Angel. "Non, lama ga di sini? Saya buru-buru mau ke rumah sakit, anak saya sakit."
Angel sendiri tidak tau berapa lama dia ada di bangunan tua ini, tapi melihat supirnya yang terlihat sangat khawatir, Angel memutuskan untuk menyuruh supirnya pergi. Lagipula dia bisa pulang dengan taksi online, kan sekarang zaman sudah canggih dan praktis.
Angel masuk ke dalam bangunan tua itu dengan takut-takut. Tidak ada siapa-siapa di sana, tempatnya gelap, sepi sekali. Angel melihat Zidane menaiki tangga, maka Angel pun menaiki tangga yang sama.
Begitu Angel sampai di atas, Angel terkesima. Kota Jakarta terlihat menarik di lihat dari tempatnya berdiri sekarang.
"Lo ngikutin gue?" Angel terkejut mendengar ada suara tiba-tiba.
"Astaga, Zidane. Lain kali jangan langsung muncul gitu kenapa? Jantungan gue," protesnya.
Seperti biasa, Zidane memilih mengabaikannya dan duduk di ujung bangunan tua itu. Angel menatapnya takut.
"Zidane lo jangan bodoh. Hidup lo masih panjang, masih ada cita-cita yang perlu lo kejar, jangan bunuh diri gitu dong. Ga menghargai hidup."
Zidane menatap Angel bingung. "Gue cuma duduk loh."
Angel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "G-Gue kan mengantisipasi, siapa tau lo tiba-tiba bunuh diri? Nanti gue yang dikira bunuh lo gimana?"
"Lo bukannya terlalu bawel buat ukuran cewek sejenis lo?" tanya Zidane kesal, karena Angel mengganggu dirinya yang berusaha untuk mencari ketenangan.
"Terus lo? Bukannya lo terlalu dingin buat cowok sejenis lo?" tanya Angel mengikuti gaya bicara Zidane.
"Diem aja, jangan terlalu bawel."
"Ya emang gini dari bayi, gue mesti gimana dong?" Zidane tak menjawab. Membiarkan gadis itu, mencari ketenangan untuk dirinya sendiri dengan cara menutup matanya.
Tiba-tiba tangan Angel menyentuh bahunya, Zidane membuka matanya. Zidane melihat Angel berusaha duduk, sepertinya dia sangat ketakutan.
"Ngapain?"
"Ya duduk lah. Gue kan mau menikmati angin, kayak lo gitu. Tapi serem deh, kalau gue jatuh gimana?"
"Mati."
Angel memukul pelan bahu Zidane. "Kalau itu mah gue tau juga. Susah ya ngomong sama lo, makan hati bawaannya."
"Siapa juga yang suruh lo ngomong?" Rasanya Angel ingin sekali mendorong Zidane dari atas gedung itu karena Zidane sangat menyebalkan.
Mereka duduk di atas gedung itu sampai hari menjelang malam. Zidane berdiri dan berjalan lebih dulu meninggalkan Angel yang masih di belakangnya.
"Zidane, tunggu dong. Lo anterin gue bisa ga?"
Zidane menggeleng. "Gabisa."
"Yah masa lo tinggalin gue? Di sini seram tau, lo tega sama gue?"
"Siapa suruh ngikutin gue?"
Benar juga. Ngapain repot-repot mengikuti Zidane. Ah awalnya dia kan khawatir takut terjadi sesuatu dengan Zidane. Biar bagaimanapun Zidane adalah temannya.
"Mau ikut aja. Gaboleh ya?" Zidane seperti biasa tidak banyak bicara. Namun dengan sigap melepas jaketnya untuk membungkus tubuh mungil Angel.
Zidane mengantar Angel dengan selamat sampai di rumahnya. Angel kembali mengatakan terima kasih, tak lama kemudian Zidane meninggalkan rumah Angel.
***
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini. Jangan lupa vote dan comment-nya ya, saran dan kritikan kalian juga sangat dibutuhkan, buat lanjutin cerita lain!😉
Sincerely,
Fiona
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Boy
Teen Fiction"Lo bukannya terlalu bawel buat ukuran cewek sejenis lo?" tanya Zidane, cowok yang mendapat julukan pangeran es karena sikap dan sifatnya. "Terus lo? Bukannya lo terlalu dingin buat cowok sejenis lo?" tanya Angel, satu-satunya cewek bawel yang bisa...