Zidane sedang duduk di ruang tamu dengan ayahnya. "Kenapa, Pa?" tanya Zidane tanpa basa-basi.
"Ada yang mau Papa omongin."
"Papa bukannya sibuk sama urusan Papa itu? Sama bisnis Papa atau sama wanita lain?"
"Jaga bicara kamu, Zidane!"
"Papa ngebentak Zidane? Berarti omongan Zidane benar ya? Selama ini Papa sibuk sama bisnis Papa kalau ga sama wanita Papa."
Ayahnya hampir saja ingin menampar Zidane, jika tidak ada sekretaris yang menahannya. "Tampar aja, Pa. Gapapa." Zidane melepaskan pegangan sekretaris tadi, memintanya untuk pergi ke belakang.
Tapi papanya tak memberikan reaksi. "Kenapa Papa ga berani?"
"Yaudah gapapa. Papa mau ngomong apa tadi?"
Ayahnya memperlihatkan Zidane undangan pernikahan. Zidane menatap ayahnya sinis, "Oh Papa mau nikah lagi?" Ayahnya mengangguk.
"Ya, nikahin aja orang di luar yang sana yang Papa suka. Zidane ga peduli, tapi Zidane kasitau, gaada yang bisa gantiin posisi Mama."
"Zidane, jaga bicara kamu. Dia itu bukan jalang! Dan Papa tegaskan sekali lagi, dia itu calon mama kamu."
"Papa mungkin anggap gitu, tapi Zidane enggak. Udahlah, Zidane ngantuk. Papa urus aja sendiri!" Tanpa banyak bicara, Zidane meninggalkan ayahnya yang terduduk di sofa.
Zidane kembali duduk di balkon. Tak ada bintang malam ini, mungkin bintang-bintang sedang bersembunyi. Zidane memainkan gitarnya bersamaan dengan ponselnya berbunyi. Nama Angel memenuhi layar ponselnya.
"Kenapa malam-malam telfon?"
"Gapapa, mau telfon aja. Gaboleh?"
"Lo kangen sama gue ya?"
"Idih geer banget. Gue ga kangen kali sama lo, ngapain juga gue kangen sama lo? Kayak gaada kerjaan aja."
"Kalau lo ada kerjaan, lo ga mungkin telfon gue."
"Yah kayaknya niat gue ketahuan ya? Oh iya, Zidane, gimana kabar lo? Baik-baik aja kan?"
"Ga baik nih. Jadi gimana?"
"Yah harus baik dong. Kalau ga, nanti gue sedih loh."
"Ga peduli sih."
"Ih Zidane jahat! Gamau temenan sama lo lagi."
"Emang kita temen?"
"Oh selama ini lo ga anggap gue temen? Aduh, Zidane, you hurt me. A lot. Gue sakit hati gara-gara lo, sakit banget."
"Lebay. Udah ah gue mau tidur, lo berisik. Ganggu aja."
"Selamat malam, pangeran dingin."
"Selamat malam, putri bawel."
"Bawel-bawel gini juga ngangenin. Tanpa gue pasti hidup lo bakal hampa. Ngaku aja, gue ga bakal ngejek lo kok. Tenang aja."
Sepertinya perkataan Angel ada benarnya. Jika Zidane tidak pindah sekolah dan tidak bertemu Angel, pasti hidupnya akan sepi. Akan seperti dulu, tidak ada perubahan.
Tapi bertemu Angel, hidupnya sedikit lebih berwarna. Setidaknya tidak hanya putih abu-abu seperti dulu sejak mamanya meninggalkannya. Angel memberikan warna dikehidupannya.
Setidaknya Angel sudah mengajarkannya cara untuk tersenyum lagi. Cara untuk bahagia lagi. Angel benar-benar mengingatkannya dengan mamanya sendiri.
Mungkin bertemu Angel, sudah direncanakan oleh mamanya. Agar anaknya ini bisa kembali bahagia.
"Iyain aja. Udah ye gue mau tidur."
"Eh bentar dong. Besok sekolah bareng ya? Lo jemput gue atau gue jemput lo?"
"Gue yang jemput lo."
"Oke, sekarang lo boleh tidur. Selamat tidur!"
Zidane mematikan panggilan mereka, dan menyimpan ponselnya di meja belajarnya. Zidane juga mematikan lampu tidurnya dan akhirnya tertidur.
***
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini. Jangan lupa vote dan comment-nya ya, saran dan kritikan kalian juga sangat dibutuhkan, buat lanjutin cerita lain!😉
Sincerely,
Fiona
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Boy
Teen Fiction"Lo bukannya terlalu bawel buat ukuran cewek sejenis lo?" tanya Zidane, cowok yang mendapat julukan pangeran es karena sikap dan sifatnya. "Terus lo? Bukannya lo terlalu dingin buat cowok sejenis lo?" tanya Angel, satu-satunya cewek bawel yang bisa...