"Zidane, gue baru tau. Lo bisa jadi sehangat ini. Kayaknya gue udah cairkan es lo itu ya?" katanya terkekeh.
"Iya, cuma lo. Sebelumnya gada," jawab Zidane.
"Gue balik rumah duluan ya?"
Angel mengangguk. Angel mengantar Zidane sampai ke depan rumahnya. Angel melambaikan tangannya dan saat itu juga motor Zidane melaju.
Angel kembali masuk ke dalam rumahnya setelah Zidane menghilang sepenuhnya dari pandangannya.
***
Mobil lain terparkir di halaman rumah Zidane. Ia bertanya-tanya siapa pemilik mobil itu. Rasa penasarannya terjawab begitu Zidane masuk ke rumah dan melihat ayahnya sedang duduk sama seorang wanita.
"Oh, Zidane udah pulang. Ini mama kamu," kata papanya memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya.
Zidane menatap wanita itu tidak minat. "Oh jalang kemarin? Maaf, Zidane ga berminat."
"Zidane! Papa selalu ajarin kamu buat jaga bicara kamu. Jangan ga sopan gitu, apalagi dia itu calon mama kamu!"
"Apa? Papa ajarin Zidane? Papa lagi mimpi kan? Becandaan mulu papa mah. Lucu, Pa."
"Anak ini! Yang benar saja? Siapa yang memberimu makan, membelikanmu pakaian dan menjagamu?!"
"Jaga Zidane? Kayaknya gapernah deh. Zidane ini udah kayak anak buangan, anak yang ga dianggap sama ayahnya sendiri. Lebih tepatnya Zidane kayak pengemis yang selalu minta-minta kasih sayang!" bantah Zidane.
"Lagipula Zidane ga pernah paksa papa buat beliin makanan, buat beliin pakaian, dan lainnya kan?" lanjutnya lagi.
"Zidane, tolong jangan seperti ini. Bahkan tidak ada satu hal pun yang tidak papa berikan untuk kamu, Zidane." Ayahnya berusaha membela diri.
"Ada yang papa ga kasih ke Zidane. Mana sosok ayah yang selama ini Zidane butuhkan? Gaada kan? Papa cuma kasi uang. Papa kira Zidane bisa hidup hanya dengan uang?!"
"Papa tau itu ga cukup. Makanya papa berusaha cari calon mama yang baik untuk kamu. Dan wanita yang di sebelah papa ini adalah calon mama kamu."
"Calon mama? Zidane ga akan pernah anggap kayak gitu. Zidane kan udah bilang gaada yang bisa gantiin posisi mama," kata Zidane lagi.
PLAK!
Terdengar bunyi tamparan yang nyaring. Membuat seisi ruangan hening seketika. Zidane menatap papanya sinis, "Bahkan papa tampar Zidane, hal yang ga pernah papa lakuin sebelumnya."
Tamparan itu cukup keras, sehingga membuat luka di dekat bibir Zidane. Zidane menghapus darah itu dengan kasar.
"Kayaknya dia lebih penting ya buat papa, Zidane mah apa? Ga penting banget di mata papa. Mungkin kayak butiran debu di mata papa, ga keliatan."
"Pergi kamu, Zidane!"
Zidane mengangguk dan mengatakan, "Oke, kalau itu maunya papa. Zidane juga ga butuh sosok ayah yang selalu ga di rumah. Zidane permisi."
Wanita ayahnya itu terlihat berjalan mendekatinya. "Di sana saja. Mau bicara apa?"
"Jangan pergi, Zidane. Tetap di sini, papa kamu lagi emosi. Orang yang emosi susah mengontrol apa yang dibicarakannya."
"Gapapa. Saya pergi aja, saya juga ga sudi di sini!" Zidane pergi dengan motornya, meninggalkan rumahnya dengan emosi.
Zidane pergi ke gedung tua itu, setidaknya hanya di tempat itu dia bisa merasa tenang. Entah sampai kapan dia akan berada di sana, tapi yang dia tau di sana dia akan tenang tanpa gangguan siapapun.
Karena tak ada orang lain yang tau itu salah satu tempat favoritnya, selain dirinya dan Angel.
***
"Apa, Om? Zidane pergi dari rumah?!" Ayah Zidane mengangguk. Ayah Zidane menceritakan kenapa Zidane bisa pergi dari rumah.
"Om kenapa tampar Zidane? Omongannya memang ga sopan, tapi ga harus tampar Zidane, Om."
Ayah Zidane terlihat sangat menyesal. "Iya, saya tau. Tapi saya susah mengontrol emosi saya. Saya merasa emosi yang mengontrol saya. Kejadian di mana saya menampar Zidane, terjadi begitu saja."
"Tolong, Angel. Tolong bawa Zidane kembali ke rumah ini."
"Sebenarnya Zidane selama ini salah paham. Dia tidak mengerti kejadian sebenarnya. Zidane hanya melihat berdasarkan sudut pandangnya, dan tidak mau mendengar penjelasan dari saya."
"Angel rasa sebaiknya, Om, kasitau alasannya ke Zidane. Jangan kasitau Angel, karena Angel ga berhak tau."
Theresa menatap Angel lama. "Angel, tolong bawa Zidane kembali. Zidane mungkin gasuka sama saya, tapi biar bagaimanapun, saya tetap menganggap Zidane sebagai anak saya."
"Tante, sabar ya. Untuk menerima sesuatu yang baru itu butuh waktu. Zidane cuma butuh waktu untuk terima tante." Theresa mengangguk, membawa Angel ke dalam pelukannya.
"Angel, cuma kamu satu-satunya harapan saya. Dan sepertinya cuma kamu yang bisa bawa Zidane pulang. Bantu saya ya?"
Angel mengangguk dan mengatakan, "Angel usahakan ya, Om." Setelah itu Angel pamit dan meninggalkan rumah Zidane.
***
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini. Jangan lupa vote dan comment-nya ya, saran dan kritikan kalian juga sangat dibutuhkan, buat lanjutin cerita lain!😉
Sincerely,
Fiona
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Boy
Teen Fiction"Lo bukannya terlalu bawel buat ukuran cewek sejenis lo?" tanya Zidane, cowok yang mendapat julukan pangeran es karena sikap dan sifatnya. "Terus lo? Bukannya lo terlalu dingin buat cowok sejenis lo?" tanya Angel, satu-satunya cewek bawel yang bisa...