16

13.5K 765 2
                                    

Setelah selesai makan, Angel tak langsung kembali ke rumahnya. Angel mengajak Zidane ke bangunan tua. "Ngapain kesini?" tanya Zidane bigung sesampainya mereka di bangunan tua.

"Gatau, mau aja."

Keduanya menaiki tangga bangunan tua itu. Angin menerpa mereka begitu sampai di lantai teratas. Zidsne duduk di sebelah Angel seperti saat terakhir kali mereka kesini.

"Zidane, lo sama papa lo punya hubungan yang kurang baik ya?"

"Engga kok. Kata siapa?"

"Gaboleh bohong, Zidane. Gue gasuka pembohong. Dan gue ga setuju kalau lo jadi pembohong."

"Tapi kan ini privasi gue?"

"Iya sih. Yaudah gapapa kalau lo gamau cerita, gue ga bakal tanyain lagi. Maaf ya gue lancang," kata Angel menyesal. Seharusnya dari awal dia tidak menanyakan hal-hal seperti ini.

"Gue emang ga dekat sama dia."

Angel memilih untuk diam karena yakin bahwa Zidane akan melanjutkan kalimatnya. Daripada nanti dia salah bicara lagi, lebih baik dia diam dan mendengarkan dengan baik. Kadang, seseorang cuma perlu didengar kan?

"Sejak mama meninggal, papa selalu ga di rumah. Papa sibuk sama kerjaannya, gue gasuka itu. Tapi yang terutama bukan itu alasannya. Gue benci dia karena dia dengan teganya buang gue sama mama gue. Lalu balik lagi kayak ga punya rasa bersalah udah buang kami. Lalu karena papa juga, mama meninggal. Kenapa gue harus punya hubungan yang baik sama dia? Gue pikir bahkan ga pantas buat manggil dia papa."


"Mau gimanapun ceritanya, dia tetap papa lo. Kalau selama ini ceritanya bukan kaya gitu dan lo cuma salah paham gimana? Gue yakin papa lo bukan orang yang sebodoh itu."

"Tapi sayangnya, papa gue memang orang yang sebodoh itu. Lagian gue ga mungkin salah paham, jelas-jelas gue liat dengan mata kepala gue sendiri."

Angel menepuk bahu Zidane, menyemangati cowok itu. "Gue yakin papa lo ga mungkin ngelakuin itu. Pasti ada alasan. Lo perlu tanya papa lo alasannya apa, Zidane."

"Ga, gue gamau tau. Liat kejadian itu di depan gue, udah ngejawab semuanya. Tolong, gue gamau bahas ini lagi."

"Maaf, Zidane. Kita pulang aja ya?"

Zidane mengangguk. Zidane mengantar Angel dengan selamat sampai di rumahnya.  Sebelum Zidane pergi, Angel bertanya, "Foto pas kita di Perancis kemarin udah gue terima. Lo mau fotonya?"


"Gausah, buat lo aja."

"Zidane, ada undangan juga. Kita diundang ke Perancis lagi. Selain itu ada beasiswa dari Juilliard School."

"Gue udah dapet beasiswa dan undangannya."

"Oh, lo udah dapet juga? Gue kira belum. Lo pergi ke Perancis ga?" Zidane menggeleng.

Zidane mengatakan, "Ga deh. Gue gasuka di pesawat, perjalanannya terlalu panjang. Capek tau."

"Bilang aja lo gaada temen kan? Nanti kita perginya barengan aja biar lo ada temen, ga kesepian hehe."

"Tapi gue gamau pergi barengan lo, gimana?" ujar Zidane.

"Yaudah pergi sendiri aja. Yang kesepian kan lo bukan gue. Tapi kalau lo berubah pikiran, mau pergi, kabarin gue ya." Zidane mengangguk.

"Yaudah, gue balik ya?"

Angel mengangguk. "Hati-hati di jalan. Thanks for today!"

"Iya. Masuk sana, dingin di luar."

"Lo pergi dulu baru gue masuk."

"Apaan? Kok gitu?"

Angel melipat tangan di depan dadanya. "Suka-suka gue lah."

"Lo ga masuk gue ga pergi nih," kata Zidane.

"Ish. Yaudah gue masuk," gerutunya.

Setelah Angel benar-benar masuk ke dalam rumah, barulah Zidane pergi meninggalkan halaman rumah gadis itu. Ternyata, menghabiskan waktu dengan Angel tidak terlalu buruk menurut Zidane.


***

Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini. Jangan lupa vote dan comment-nya ya, saran dan kritikan kalian juga sangat dibutuhkan, buat lanjutin cerita lain!😉

Sincerely,
Fiona

My Coldest BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang