Zidane sedang duduk di kamarnya saat tiba-tiba tantenya menghubunginya. Zidane segera mengangkatnya.
"Kenapa, Tante?"
"Zidane masih bisa main piano kan?"
"Bisa, Tante. Kenapa?"
"Tante mau minta tolong kamu buat iringi anak temen tante main biola. Bisa ga?"
"Bisa, Tante. Kabarin tempatnya aja, sama partiturnya kirimin ke Zidane, supaya bisa belajar."
"Hmm.. Tapi di Perancis loh. Kamu gapapa tinggalin sekolah? Kalau kamu gamau, tante bisa bilangin ke temennya tante tadi."
"Gapapa, Tante. Nanti Zidane urus penerbangannya. Tapi penerbangannya mungkin besok, Tante."
"Oh iya, gapapa. Makasih ya kamu bersedia. Dan tentang papa kamu, nanti tante yang omongin sama papa kamu ya."
"Oke, Tante. Zidane tutup teleponnya ya? Zidane mau cari tiket dulu."
"Iya, Zidane. Makasih ya."
Sambungan panggilannya terputus. Zidane memang dekat dengan tantenya, bahkan menganggapnya seperti mamanya sendiri. Maka, sewaktu ada hal tertentu terjadi, yang dicari adalah tante dan pamannya, bukan ayahnya sendiri.
Zidane menghubungi tempat langganannya untuk membeli tiket pesawat dan meminta agar tiket itu diantar malam ini. Zidane mengeluarkan kopernya dan memasukkan beberapa pasang pakaian selama beberapa hari di Perancis. Zidane tak sengaja menjatuhkan kotak yang Angel berikan. Buku itu pun Zidane masukkan ke dalam kopernya. Siapa tau dia bosan, jadi dia bisa membaca bukunya itu.
Zidane memutuskan untuk pergi dan menukarkan uang di money changer. Jaket kesayangannya sudah ada dua di Angel, sepertinya dia harus memintanya kembali.
"Bi, Zidane pergi sebentar." Setelah pamit, Zidane langsung saja melajukan motornya.
Zidane masuk ke dalam ruangan dan menukarkan uang, tidak terlalu banyak, secukupnya saja. Lagipula Zidane bukan orang yang seboros itu. Setelah selesai menukarkan uang, Zidane pulang.
Zidane baru saja masuk ke kamarnya sesampainya dia di rumah, sedang duduk sambil melihat partitur yang tantenya kirimkan.
Tok! Tok!
"Masuk aja." Ayahnya masuk dengan tiket di tangannya. Ayahnya memberikan tiket itu kepada Zidane.
"Ini tiket kamu. Tadi tante kamu baru bilang ke papa soal penerbangan kamu. Besok sekretaris papa bakal urus surat ijin kamu." Zidane mengangguk.
"Yaudah kamu tidur aja. Kamu kena flight pagi kan?" Zidane kembali mengangguk.
Ayahnya meninggalkan kamarnya. Zidane memutuskan untuk tidur, mengingat jam 5 pagi dia sudah harus di bandara. Zidane benar-benar benci flight pagi.
***
Jam 4.30 pagi, Zidane sudah bangun dan sudah bersiap-siap. Zidane memutuskan untuk langsung pergi ke bandara sekarang.
"Pak, bisa antar saya ke bandara?"
"Bisa. Kemarin papa kamu udah kasitau saya kamu mau ke bandara."
"Oh gitu." Zidane berjalan lebih dulu masuk ke dalam mobilnya. Beberapa saat kemudian, supirnya masuk dan menyetir mobilnya ke bandara.
Perjalanan ke Perancis tentu saja akan sangat lama dan membosankan tanpa teman bicara. Ah menyebalkan sekali!
Sesampainya di bandara, Zidane langsung check-in. Zidane sudah biasa pulang pergi luar negeri sendiri, mengingat dia seorang pianis, jadi sering disuruh ikut lomba di luar negeri.
Tapi akhir-akhir ini, Zidane jarang mengikuti lomba-lomba seperti itu. Dan sampai di Perancis nanti dia akan kembali tampil, meski hanya menjadi pengiring.
Pesawat Zidane mulai terbang meninggalkan bandara. "Oh ini akan menjadi perjalanan yang panjang, bahkan sangat panjang," gumamnya.
***
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini. Jangan lupa vote dan comment-nya ya, saran dan kritikan kalian juga sangat dibutuhkan, buat lanjutin cerita lain!😉
Sincerely,
Fiona
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Boy
Teen Fiction"Lo bukannya terlalu bawel buat ukuran cewek sejenis lo?" tanya Zidane, cowok yang mendapat julukan pangeran es karena sikap dan sifatnya. "Terus lo? Bukannya lo terlalu dingin buat cowok sejenis lo?" tanya Angel, satu-satunya cewek bawel yang bisa...