Arjuna sudah berjanji kepada Widya untuk sepulang sekolah menemui Lilian, psikolognya itu sebelum mampir ke rumah Herman. Dan disinilah Arjuna berada, di sebuah ruangan nyaman dengan sofa empuk dan banyak sekali camilan. Lilian, tahu betul tabiat Arjuna sejak kecil. Arjuna akan merasa sangat tidak nyaman berada di ruangan yang hanya ada satu sofa-bed dan satu kursi kayu. Terasa begitu sepi dan mencekam, begitulah kata Arjuna.
"Kamu kenapa lagi?" Tanya Lilian yang sudah lelah menangani Arjuna yang masih dibelenggu oleh oedipus complex.
Anak dari sahabatnya ini sebetulnya tidak salah. Betul. Apa salahnya memuja ibunya yang begitu kuat menghadapi kekejaman dunia hanya untuk mempertahankannya dalam rahim yang lemah? Yang salah justru Widya. Mengapa ia membiarkan Arjuna memupuk rasa sayang itu terlalu berlebihan. Widya yang dulu Lilian beri saran agar untuk menyekolahkan Arjuna di pondok pesantren agar intensitas pertemuannya dengan Arjuna semakin jarang, malah menolak. Widya tidak bisa berjauhan dengan anak sematawayangnya itu. Salah Widya.
"Mbak, aku tuh nggak suka kalau lihat mama selalu sebut nama ayah. Apa - apa ayah, aku nggak suka!" Cerita Arjuna menggebu - gebu sembari memakan popcorn yang disediakan oleh Lilian.
Lilian memang meminta Arjuna untuk memangilnya 'mbak' walau usia mereka berbeda tujuh belas tahun, sama seperti beda usia Arjuna dengan Widya. Lilian ingin Arjuna menganggapnya kakak agar Arjuna lebih nyaman bercerita dengannya ketimbang Arjuna melihatnya sebagai psikolog penangan orang kelainan jiwa. Itu akan semakin menyulitkan Arjuna untuk sembuh.
"Wajar, lah! Orang itu suami mamamu, orang yang dicintai sepenuh hati. Ibaratnya ya, Jun.. Widya tanpa Ari bagaikan laut nggak asin."
"Apaan, sih, mbak? Ini niat konseling apa lempar jokes receh? Serius aku sebel! Dulu mama bilang Arjuna lelaki satu - satunya yang bakal disayang, nyatanya sekarang ayah lebih diprioritaskan! Mbak tahu, kan, rasanya patah hati tapi nggak berdarah? Macam anu kejepit resleting. Macam mata nggak sengaja kena bubuk bon cabe! Perih, mbak, perih! Paham, nggak?"
Lilian hanya menganggukan kepalanya sembari menahan tawanya akibat mulut ceriwis Arjuna, "Ya.. Ya.. Apa yang mbak nggak ngerti tentang kamu itu?"
"Iya, bahkan mbak pasti tahu warna sempak aku sekarang ini!" sinis Arjuna yang berhasil membuat tawa Lilian pecah. "Ketawa aja terus! Bagus buat kesehatan kulit biar nggak terjadi keriputan dini."
"Nyinyir banget kamu ini, bener - bener fotokopiannya Widya kamu."
Perempuan yang umurnya sudah menginjak kepala tiga itu masih sempat - sempatnya membalas cibiran Arjuna, membuat Arjuna sendiri ingin sekali membenturkan kepalanya ke tembok.
"Pada intinya, mbak yakin kamu bisa sembuh," ujar Lilian, ia mengambil duduk tepat disebelah Arjuna sembari menepuk pundak Arjuna. Bersikap layaknya seorang kakak bagi Arjuna.
"Kok wejangan dari mbak dikit amat? Biasanya sampai adzan berkumandang baru berhenti, tuh! Kenapa? Udah nggak betah mau unyel - unyel Mas Erwin, ya?"
Baru saja menyebut kata Erwin, ponsel Lilian yang tergeletak diatas meja itu memunculkan id caller Erwin. Suaminya itu meneleponnya. Buru - buru Arjuna mengambil ponsel itu lalu mengangkatnya.
"Hallo, pengantin baru!" Canda Arjuna yang sudah bisa Erwin maklumi.
Arjuna meloudspeaker panggilan teleponnya agar Lilian dengar juga.
"Mbakmu mana?" suara berat nan gagah itulah yang berhasil membuat Lilian kelepek - kelepek kepada Erwin. Seorang advokat yang terkenal akan kewibawaan serta kecerdasannya menangani sebuah kasus.
Arjuna terkekeh, "Kangen main uyel - uyelan, ya? Sabar, bossku! Malam jumat masih lama, jangan nafsu. Aku mau culik Mbak Lilin dulu, sepuluh menit nongki di parkiran nggak bakal buat Mas Erwin mati, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Oedipus [#wattys2018]
Teen Fiction-Wattys longlist 2018- [Oedipus complex dalam aliran psikoanalisis Sigmund Freud merujuk pada suatu tahapan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak ketika hasrat anak untuk memiliki orangtua mereka dengan jenis kelamin berbeda, seperti anak le...