"Mampir makan dulu, ya. Muka kamu pucet," kata Aruna pada Arjuna yang tengah meringis sebab tulang hidungnya masih berdenyut nyeri.
Tiba - tiba Arjuna menoleh kearah Aruna yang tengah menyetir mobilnya itu, mobil Widya sih lebih tepatnya. Arjuna kaget dengan perhatian yang diberikan oleh Aruna. Senang, namun ada sedikit keterkejutan karena sikap Aruna yang melunak kepadanya. Memang benar, perempuan memang diciptakan serumit itu.
"Makan disini aja, ya?" Aruna menunjuk warung tenda yang tengah ramai di penuhi oleh manusi - manusia kelaparan berdompet tipis.
Warung pecel lele itu ialah warung andalan Aruna ketika dompetnya mulai krisis.
Arjuna mengangguk, "Boleh, deh."
Perempuan yang tengah kebingungan mencari tempat parkir mobil itu menjadi titik fokus Arjuna untuk terus melihatnya. Memang benar kata Widya, perempuan itu begitu tangguh.
"Ayo, turun," Arjuna tersentak kaget ketika Aruna mendapatinya tengah melamun.
Arjuna turun, lalu dengan sengaja menggandeng tangan Aruna hingga membuat wajah Aruna memerah.
"Lepas, Arjuna--"
"Aku masih pusing, nanti kalau aku jatuh gimana?"
Alasan! Cibir Aruna. Ia melihat sekelilingnya yang tengah menatap kearahnya. Aruna lupa kalau Arjuna masih memakai seragam putih abu - abu yang lusuh juga dirinya sendiri yang masih memakai seragam guru berwarna coklat muda.
"Nggak usah ditanggapi. Mereka nggak kasih kamu makan, kok. Diemin aja," Arjuna yang mengerti guru mungilnya ini tidak nyaman. Sangat mengerti karena di dalam sudut hati kecilnya pun begitu.
Mereka duduk lesehan dekat trotoar. Arjuna memesan ayam goreng, sedangkan Aruna memesan pecel lele yang menjadi menu andalannya disini.
Suasana canggung menyelimuti mereka berdua. Biasanya Arjuna yang begitu cerewet akan memulai membuka topik pembicaraan, namun karena keadaan Arjuna yang begitu menyedihkan ini membuat mereka duduk berdua dalam kesunyian. Sebetulnya ramai, namun mereka yang diam dan sibuk dengan urusan masing - masing.
"Ar, kamu--"
"Kenapa? Kamu mau membicarakan hubungan ini? Nanti saja, Arjuna. Saya tahu kamu masih pusing. Ini murni bentuk perhatian saya sebagai gurumu. Bukan bermaksud apa - apa."
Akhirnya Arjuna diam seribu bahasa sedangkan Aruna meruntuki kebodohannya. Harusnya Aruna diam saja, kalau ia sarkas seperti itu pastinya Arjuna akan diam dan mereka akan kembali canggung. Bodoh sekali. Aruna meminta Arjuna untuk terus berbicara dari gerak - geriknya, namun Arjuna tetaplah Arjuna si tuan tidak peka. Aruna menyuruhnya untuk nanti saja berbicara, maka nanti. Ia tidak membantah.
Pantesan jomblo terus, orang ini bocah nggak pernah peka! Runtuk Aruna yang kini suasana hatinya mulai tidak enak.
Untung saja makanan cepat datang, mereka makan dalam diam. Tidak ada adegan suap - suapan atau mengelap sisa makanan di sudut bibir masing - masing karena yang ada hanyalan kebisuan. Sebenarnya dua - duanya ingin bersuara, namun gengsi membuat mereka terdiam.
Lama kelamaan Arjuna tidak sabar, ia ingin berbicara yang sejujurnya kepada Aruna.
"Ar, aku mau ngomong. Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku gemes.. Aku frustasi kalau nggak cepet - cepet jujur ke kamu," intro dari Arjuna itu membuat Aruna tersedak duri dari ikan lele yang sangat menyakitkan.
Arjuna yang kebingungan itu langsung saja menyodorkan teh hangatnya kepada Aruna, namun ditolak oleh wanita tersebut. Aruna mengambil sekepal nasi, lalu ia telan. Lumayan, duri itu sudah hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oedipus [#wattys2018]
Roman pour Adolescents-Wattys longlist 2018- [Oedipus complex dalam aliran psikoanalisis Sigmund Freud merujuk pada suatu tahapan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak ketika hasrat anak untuk memiliki orangtua mereka dengan jenis kelamin berbeda, seperti anak le...