| ENAM

2.2K 338 23
                                    

"Jadi, Tara bilang kalau dia nggak mau ikut keluar dari hutan?" Age bertanya setelah Damar menceritakan bagaimana ia bisa bertemu Tara.

"Iya, dia yang nolak. Katanya, dia bahagia tinggal sama keluarga yang ada di desa itu." Damar memainkan rubik milik Levin yang ia temukan di rak buku sekaligus rak televisi ruang tengah.

Age mengusap wajahnya, merebahkan tubuh di sofa sementara Damar masih asik bermain rubik yang baru kali ini ia coba. Tak lama, Levin keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang membalut dari pinggang sampai lutut. Age mendecak sebal sambil melempar bantal sofa, tepat mengenai kepala Levin.

"Apa, sih? nggak usah sange." Levin berujar dan masuk ke kamar, menutup pintu lalu menguncinya.

"Ndasmu!" teriak Age kesal.

Age memejamkan mata, mengulang kembali isi surat yang diberikan Tara. Bagaimana bisa perempuan yang sudah ia anggap layaknya adik kandung sendiri, justru merasa lebih bahagia tinggal di desa terpencil yang bahkan letaknya saja sekitar tiga jam dari jalan raya. Kenapa Tara memutuskan untuk tinggal disana? Tidakkah dia memikirkan kedua orang tua Age yang sudah mengharapkan anak angkat perempuan mereka kembali ke rumah? Dadanya sesak untuk beberapa detik. Ia hanya masih merindukan Tara, ya, merindukan perempuan itu sebagai seseorang yang pernah membuatnya merasa spesial. Satu fakta yang tak pernah diketahui siapapun.

Derit pintu membuat Age membuka mata, kembali memperhatikan Levin yang sekarang sudah mengenakan celana pendek hitam dan t-shirt nirvana kebanggaannya.

"Vin, itu kaos, nggak pernah lo cuci, ya?" Age bertanya dan merubah posisinya, duduk.

"Di sebelah lo, ada cewek pakai seragam sekolah."

"Tai lo!"

"Eh, setan, tuh, kalau digituin, malah ngikutin tahu, Bang." Damar menyahut, meletakkan rubik ke meja. Ia menyerah, permainan kubus itu hanya cocok untuk orang berotak encer.

"Bocah! Malah ikutan." Age memukul kepala Damar dengan bantal.

"Dia duduk di sebelah lo." Levin berujar dari dapur.

"Bangke lo, Vin!" Teriak Age yang buru-buru beranjak dan kabur ke dapur.

Levin terbahak. Ia tidak menyangka kalau Age ternyata sudah pucat karena takut. Untung saja anak itu bukan indigo, karena Levin yakin seratus persen kalau Age melihat wujud perempuan berseragam yang ia maksud, Age mungkin langsung jatuh pingsan dengan celana basah karena ngompol.

Cengirannya lenyap begitu aura aneh menyergap dapur. Levin berusaha tetap fokus pada bahan masakannya. Semakin ia menolak, maka sosok laki-laki itu semakin gencar mendekat dan mengganggunya. Levin memejamkan mata, menahan diri untuk tidak menoleh ke samping, karena ia tahu pasti sosok laki-laki yang mengganggunya dan Nata itu sedang berdiri tepat di samping Age.

"Bang, maafin gue karena harus lakuin ini. Gue nggak bisa lihat lo mendekam di penjara karena kasus pembunuhan. Gue tahu lo depresi berat, tapi, gue jauh lebih terpukul, Bang."

Entah sudah berapa kali sosok itu membagi masa lalunya pada Levin. Perlahan, Levin mulai terbiasa dengan interaksi itu. Asal sosok laki-laki itu tidak mengacaukan isi kamar dan membuat teman-temannya ketakutan, mungkin tak masalah.

TS[2] : SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang