Intro dari lagu Gravity milik Against The Current berdering memenuhi mobil yang membelah jalanan dengan kecepatan gila-gilaan. Ponsel berlogo Apple itu tergeletak di bangku sebelahnya, hampir sepuluh kali berdering dan Age tetap tidak menyentuh benda tipis itu. Ia fokus menyetir dan menulikan telinga dari klakson-klakson mobil yang disalipnya.
Ia berbelok ke kiri di perempatan, lagi-lagi klakson mobil yang berhenti mendadak karena ulah Age berbunyi, disertai umpatan kasar pemiliknya.
"Sialan." Age mengumpat setelah menyadari ada dua motor polisi yang mengejar di belakang. Mau tak mau, ia memasang earphone nirkabel, mengambil ponsel dan menekan speed dial nomor lima—Dion.
"Lo kemana? Counter rame."
"Yon, Tanu beneran abang lo?" Age bertanya, setengah berteriak karena sirine polisi berbunyi tepat di belakang.
"Lo dikejar polisi? Lo dimana? Dasar gila! Gue potong—
"Gue minta nomor telepon Tanu. Kalau nggak, lo telepon Abang lo itu, bilang kalau Age dikejar polisi karena lagi ngebut untuk cari Levin." Age menjelaskan, memotong rentetan pertanyaan Dion.
"Levin? Dia cuti, kan? Kemarin sore dia sms gue."
"Sialan." Age mengumpat saat salah satu motor polisi berhasil menyamai kecepatan mobilnya.
Oke, gue bawa lo ke tempat berharga yang bisa jadi pencerahan kasus nanti.
Age berbelok, masuk ke salah satu gang komplek dan nyaris saja menabrak tiang listrik kalau ia tidak buru-buru memutar kemudi. Polisi yang tadi mengejar di sampingnya sudah pindah ke belakang karena jalanan komplek yang tidak terlalu besar. Age tidak tahu tempat yang ia tuju bisa menyelamatkannya dari sidang akibat pelanggaran lalu lintas atau tidak, ia hanya berharap dugaannya benar dan Levin benar ada di sana.
Rumah mewah bekas kebakaran yang ada di ujung komplek adalah tempat pemberhentiannya. Seketika, teriakan-teriakan polisi menembus jendela dan terdengar olehnya. Age turun, mengangkat tangan.
"Mas, anda harusnya berhenti dari tadi. Denda anda bisa semakin berat." Petugas yang memarkir motor tepat di belakangnya, melepas helm. Perempuan, Age tidak tersenyum sama sekali, tidak berusaha menjelaskan. Pikirannya tertuju hanya pada Levin dan Shadow.
"Mbak bisa ikut saya ke dalam. Hubungi Brian Tanuga, dia pasti senang lihat tempat ini." Selesai bicara, Age langsung berlari ke dalam rumah lantai dua yang gosong di sana-sini itu. Ia mendobrak pintu lapuk ruang tengah yang terhubung dengan dapur.
"Hei! Kamu jangan kabur!" Seru polwan di belakangnya.
"Saya nggak akan kabur." Sahut Age yang menyalakan flash ponselnya untuk dijadikan senter. Ia kemudian pindah ke tangga menuju lantai dua, kamar di dekat tangga adalah tujuan utamanya sekarang. Ia masih sangat hafal setiap sudut rumah mewah yang terbakar itu.
Pintunya terbuka, Age mematung di ambang pintu. Bau anyir darah menusuk hidung, cairan berwarna merah segar itu tergenang di beberapa sudut, beberapa bercak di tembok sudah membuat semuanya makin jelas. Age tahu pasti siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya, pelaku yang sama dengan apa yang pernah menimpa dirinya dengan Tara empat tahun lalu.
"Astaga." Polwan yang mengikuti Age ke lantai dua itu menutup mulut dan hidung.
Tak lama, sirine mobil polisi terdengar. Age masuk ke kamar besar dengan atap yang sudah tidak ada itu. Sepatunya menginjak genangan darah, dadanya mendadak sesak. Ia bukan orang yang mudah menangisi kepergian sahabatnya, ia juga bukan orang yang histeris melihat mayat sahabatnya tergeletak, hanya saja, ini kali kedua ia berhadapan dengan kasus pembunuhan dan teror.
KAMU SEDANG MEMBACA
TS[2] : SHADOW
Mystery / ThrillerTime Series [2] : SHADOW He's not a vampire, not a night ghost. Just a Shadow. ••• RAYREBLUE Present ; SHADOW A Paranormal-Thriller Story. Copyright @April 2017