| EMPAT BELAS

1.7K 283 17
                                    

"Saya berterima kasih karena kamu membantu banyak untuk penyelidikan. Secepatnya, saya dan tim akan temukan Levin." Tanu menutup notes kecilnya, memberikan kartu namanya pada Age.

"Gue pamit." Ucap Age yang kemudian mengambil kartu nama Tanu dan meninggalkan ruangan.

Ia menyerahkan ponsel Levin sebagai barang bukti, menceritakan kisah kelamnya empat tahun lalu dengan Himawan Sadega—Shadow yang belum juga ditemukan sampai sekarang. Age tidak pernah menyangka kalau bajingan itu akan kembali, apalagi dengan status Pembunuh Sadis. Ia menghela nafas dan masuk ke mobil, pulang ke rumahnya bukan pilihan yang tepat untuk saat ini, Flat tempat tinggal Levin juga membuatnya makin pusing karena teman baiknya tak kunjung kembali. Age menyalakan mesin, membiarkan tangan dan kakinya menuntun kemanapun. Ia harus menenangkan diri.

Kejadian empat tahun lalu berputar bagai film setelah Age berhenti di tepi jalan. Ia merebahkan kursi dan memejamkan mata. Bayangan Tara yang memakai seragam putih abu-abu, menyandang ransel dan memegang tongkat di tangan kiri kembali menyapa ingatannya.

"Ge, angkatan kamu yang ketua osis itu kayaknya baik, ya?" Itu pertanyaan Tara saat pulang sekolah di hari pertama. Pertanyaan yang membuat Age melempar Tara dengan kaleng sprite kosong di tangan.

Andai Tara tahu kalau ketua osis yang ia kagumi itu adalah adik psikopat sekolah, maka Tara tidak sampai disekap dan dihajar waktu itu. Andai Tara tidak tahu kalau ketua osis itu kakak kandungnya.

Andai saja bajingan itu tidak dijamin oleh orang tuanya dan bebas berkeliaran dengan pisau dapur, mungkin kasus pembunuhan Shadow tidak akan terjadi.

Andai saja Tara tidak bertemu dengan keluaga Darmawan, mungkin nyawanya juga tidak akan terancam empat tahun lalu. Mungkin, Tara juga tidak memutuskan pergi dengan rombongan karya wisata.

Berbagai 'seandainya' menenggelamkan Age di dasar kenangannya. Ia berdoa, semoga kali ini ia juga tidak perlu bertaruh nyawa dan bertemu bajingan itu lagi.

______

"Nggak ada. Security sudah memeriksa di semua lantai, permpuan itu sudah kabur." Kepala Keamanan Rumah Sakit memberitahu Levin yang duduk di bangsal karena tidak bisa kembali ke kamar inap yang sedang diperiksa oleh kepolisian.

"Cctv luar rumah sakit, apa nggak jelas kemana dia pergi?" Levin kembali bertanya, suster di sebelahnya menepuk pundak Levin, memberi isyarat agar Levin berhenti bertanya dan istirahat karena luka robek di pinggangnya kembali berdarah.

"Kami sudah menyerahkan kasus ini pada kepolisian, Mas nggak perlu khawatir. Kalau benar kasus ini berhubungan dengan kasus pembunuhan di Jakarta, kepolisian sana pasti datang kemari nanti. Mas silahkan istirahat, kami akan hubungi keluarga Mas setelah ini." Kepala Keamanan itu tersenyum ramah, membujuk Levin untuk kembali istirahat dan berhenti memikirkan hal-hal yang ia tinggalkan selama disekap dan berada di rumah sakit.

"Silahkan istirahat." Suster menutup separuh tubuh Levin dengan selimut lalu meletakkan pakaian Levin yang diambil dari kamar inap ke laci meja di samping ranjang.

Adelia, nama perempuan itu terus menghantui pikirannya. Bagaimana bisa ia tidak curiga pada orang yang justru menolongdan menemaninya selama dirawat di rumah sakit?
Luka di pinggangnya masih terasa perih dan nyeri, tapi ia tidak bisa lama-lama berada di Bandung sementara pembunuh bajingan itu sedang jalan-jalan di Jakarta. Levin memperhatikan tiap sudut ruangan, hanya ada satu cctv di sudut dekat pintu kamar mandi. Bangsal tempat ia istirahat saat ini di isi oleh lima orang termasuk dirinya, tiga dari mereka sudah terlelap. Levin melirik wanita paruh baya yang masih duduk di ranjang sambil membaca Alkitab.
Levin memejamkan mata, berdoa semoga kali ini ia tidak dikejar pembunuh lagi.

TS[2] : SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang