| EMPAT

2.4K 341 17
                                    

Diperhatikannya rekaman CCTV itu sekali lagi. Adegan demi adegan ia cermati dengan teliti.

Duar!

Pria itu tergeletak dengan kepala bolong. Tanu memutar ulang video hitam-putih tersebut.

Tok tok.

Tanu memandang pintu ruangannya yang dibuka. Pria berkacamata dengan sebagian rambut yang mulai memutih, masuk, senyumnya membuat Tanu memutar mata kesal.

"Telat banget, Om." Ucapnya sambil memutar laptop menghadap ke Pria yang baru datang dan dipanggilnya Om tersebut.

"Ada kesalahan fatal si pembunuh dari rekaman ini." Pria tersebut tersenyum puas seolah kasus ini akan segera terpecahkan.

"Aku harap, Om lagi nggak bercanda." Sahut Tanu.

"Pembunuh palsu itu menghadap ke CCTV. Psikolog amatir juga pasti tahu apa arti dari sorot mata sebelum dia melepaskan pelatuk."

______

"Medina udah nggak pulang sejak hari kedua penemuan mayat Sarah." Bianca memandang dua tetangganya yang speachless, tak menyangka kalau Medina setakut itu sampai memutuskan untuk tidak kembali.

"Lo tahu, nggak, kira-kira dia kemana?" Nata bertanya.

"Mungkin pulang ke rumahnya," Bianca menghela nafas, "Medina sama Sarah itu deket banget. Dia pasti trauma berat, kenapa kalian maksa banget mau ketemu dia? Nggak kasihan, kalau tiba-tiba dia ketakutan?"

Levin dan Nata saling lempar pandangan.

"Ya udah, makasih, Bi. Gue sama Levin balik dulu ke atas." Nata menyerah. Levin tersenyum tipis dan berbalik, menyusul Nata.

"Vin!" Seruan Bianca membuat Levin berbalik, "kalau lo masih penasaran sama kasus itu, lo bisa cari Medina ke rumahnya di Depok. Perumahan Elit deket kampus UI."

"Thanks, Bi." Sahut Levin yang kemudian pergi.

______

"Apa lo bilang? Gue gila? Elo yang gila! Lo yang bunuh Mama!"

Levin tersentak. Lagi-lagi, sosok lelaki yang mengikuti Nata masuk ke kamarnya, mencampuri masa lalunya ke dalam kepala Levin melalui mimpi.

"Lo lagi. Pergi sana!" Teriak Levin yang kepalanya pusing karena kaget.

Sosok itu perlahan mendekat dengan bola mata putihnya. Jantung Levin berdegup kencang. Ia meremas selimut karena tatapan itu mengunci tubuhnya untuk tidak kabur kemanapun.

"Kamu yang bunuh Mama! Kamu yang bipolar! Kamu yang -

Pyarr!

Levin tidak tahan dengan kilasan masa lalu yang memaksa masuk ke dalam kepalanya. Ia melempar bantal ke arah sosok laki-laki yang terus mendekat itu. Vas bunga di jendelanya pecah.

"Mati lo, Bang!"

Saudara kembar itu bergelut di dalam kamar mewah. Yang memakai baju hitam mencekik leher kembarannya yang berbaju putih. Adegan demi adegan membuat Levin semakin pusing. Sosok itu makin mendekat. Nafasnya tercekat begitu suara teriakan melengking perempuan dan hantaman benda dari kaca memenuhi kepalanya.

TS[2] : SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang