| SEBELAS

1.8K 294 18
                                    

Jam sepuluh tepat. Suara beep dari kunci pintu digital terdengar, Age menghambur keluar dan mendengus setelah melihat Jihan yang baru kembali tanpa Nata.

"Levin belum balik?" Perempuan itu bertanya setelah membuka pintu.

Age menggeleng, lalu masuk dan menutup pintu Flat. Ia memutuskan untuk pulang setelah Levin datang. Perasaannya makin buruk tiap kali menghubungi Levin dan operator terus saja mengatakan kalau nomor itu tidak aktif.

"Bang." Damar muncul dari dapur dengan dua mangkuk mie rebus.

Age tak menjawab, ia berbaring di sofa. Otaknya memutar kejadian beberapa jam lalu saat ia berpapasan dengan laki-laki sialan yang nyaris membuatnya terjun dari atap gedung SMA Bhakti Nusantara. Empat tahun yang lalu, ia pernah bertaruh nyawa di menyelamatkan perempuan buta yatim piatu yang tinggal di panti asuhan yayasan Ayahnya. Perempuan buta yang sekarang memutuskan menjadi tarzan di hutan purba daerah Jogja yang penuh dengan kanibal serta mahluk aneh lainnya.

"Eh, hutan tempat lo nyasar itu, sekarang masih diselidiki polisi?" Age membuka mata dan bertanya.

"Nggak. Kemarin Pak Handoko telepon, katanya dia minta maaf nggak bisa melanjutkan penyelidikan di hutan purba. Akses masuknya terlalu sulit, jadi Pak Handoko dan timnya cuma masang pagar besi sebagai batas hutan lindung dan hutan bagian dalam." Damar menjelaskan lalu menyantap mienya. Tak ada Levin, maka tak ada makan enak, karena hanya Levin yang jago masak—berkebalikan dengan Adiknya, Chesa.

Tara di hutan purba tapi kemarin jelas sekali kalau bajingan itu di rumah sakit. Cari siapa? Emang dia sakit?

Tunggu, harusnya dia di penjara atas kasus empat tahun lalu.

Age tiba-tiba duduk, Damar kaget dan tersedak akibat ulah sahabat baik Levin itu.

"Damar, Tara serius masih sehat, kan?" Age bertanya dengan ekspresi serius yang jarang ia tampilkan.

"Iya, Bang. Itu surat yang huruf titik-titik itu, isinya apaan?"

"Jaga rumah, kalau ada apa-apa, langsung hubungin gue." Age bangkit tanpa menjawab pertanyaan Damar, ia menyambar jaket di sofa sebelah, memasukkan ponsel ke saku celana lalu pergi dengan kunci mobil di tangan. Tanpa perlu dijelaskan, Damar tahu kalau Levin pergi dan belum kembali sampai sekarang, ditambah tewasnya dua orang di klinik kesehatan jiwa dan keduanya adalah korban pembunuhan 'Shadow'.

Mie yang tak disentuh Age terpaksa diletakkan ke meja makan kecil yang menjadi sekat antara dapur dan ruang tengah. Setelah menghabiskan mie rebus buatannya yang tidak seenak buatan Levi itu, Damar memutuskan untuk menyalakan laptop danmencari berita terbaru tentang kasus pembunuhan yang mengincar penghuni Sudirman Flat belakangan ini.

Bunyi beep beberapa kali dari pintu Flat terdengar. Penasaran, Damar beranjak dan mendekat ke pintu pelan-pelan. Orang dibalik pintu itu salah memasukkan password. Dari intercom, Damar bisa melihat laki-laki dengan tudung jaket hitam dan topi hitam menutupi separuh wajahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, Damar buru-buru menutup menutup laptop dan membawanya ke kamar Levin. Lemari besar di dekat jendela kamar menjadi tempat persembunyian terbaik saat ini. Tepat setelah ia menutup pintu lemari, derit pintu depan terdengar.

Nafasnya tercekat, derap langkah nyaring memenuhi ruangan. Damar bernafas sepelan mungkin. Jantungnya makin tidak karuan saat pintu kamar dibuka. Langkah itu mendekat, Damar menahan nafas, memejamkan mata dan mendekap laptop erat-erat. Sudah cukup nyawanya hampir melayang di hutan, ia tidak mau mati mengenaskan di Apartemen Levin, besok ia harus pulang, jangan sampai ia kembali ke rumah dengan jasad penuh sayatan dan tusukan garpu.

"Belum kembali." Suara laki-laki itu terdengar pelan, berat dan agak serak. Sangat dekat dengan pintu lemari tempat Damar bersembunyi.

Langkah kembali terdengar, kali ini menjauh lalu tiba-tiba berhenti. Damar kembali bernafas sangat pelan dan menahan nafas (lagi). Derap langkah cepat membuat adrenalin Damar terpacu, tangan kirinya menutup mulut.

TS[2] : SHADOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang