Ending

732 49 49
                                    

Sepuluh tahun kemudian

"Papa kapan pulang, Bunda?" Seorang anak perempuan berkulit putih, bibir kecil berwarna pink dengan muka mungilnya terlihat bosan menunggu sang Ayah keluar dari kantornya.

Mereka berdua kini tengah berada di sebuah kafe yang letaknya berseberangan dengan gedung tempat bekerja sang Ayah. Sesekali anak perempuan itu melongok ke arah pintu keluar gedung perusahaan dengan tatapan berharap.

"Sebentar lagi, Aca.... Sabar, ya, Sayang." Ucap wanita berusia dua puluh enam tahun yang berada di sampingnya. Tangan wanita itu mengambil semangkuk es krim yang berada di meja. "Makan ini dulu, yuk, sambil nunggu Papa biar Aca nggak bosen." Wanita itu menyendok es krimnya dan menyuruh Aca untuk membuka mulut kecilnya.

"Bunda, kalau es krimnya habis, Papa dateng, ya?" tanyanya dengan mulut yang penuh. Wanita itu mengangguk, ketika Aca sudah sibuk sendiri dengan es krimnya, ia membuka ponsel dan melihat pesan yang dikirim Farzan tadi.

10 menit lagi. Sabar ya.

Ia melihat jam saat ini, bahkan sudah lebih dari dua puluh menit. Ke mana Farzan? Ini lebih lama dari yang biasanya.

Wanita itu menutup kolom pesannya dengan Farzan lalu membuka satu nama yang masih awet di daftar kontaknya. Nama yang tak pernah menghubungi lagi, tak pernah berkirim pesan lagi, kontak yang mungkin jika diibaratkan sudah penuh dengan sarang laba-laba.

Sial(w)an

Selalu seperti ini. Ia masih berharap dengan seseorang yang sama. Perasaannya masih ada. Walau ia tak yakin Alwan masih mempunyai rasa yang sama.

"Assalamualaikum," pemilik suara bariton yang ditunggu Aca telah datang, masih lengkap dengan setelan kerjanya.

Wanita itu buru-buru mematikan ponselnya, bisa gawat jika Farzan tahu dirinya masih seperti ini setelah sekian tahun.

Aca tersenyum lebar menyambut kedatangan Ayahnya, "waalaikumsalam, Papa!" Diletakannya mangkuk es krim yang isinya sudah habis itu, melihat bibir anak perempuan itu penuh dengan es krim, Icha segera membersihkannya dengan tisu. "Masa ketemu Papa bibirnya belepotan begini?"

Farzan membuka jas maroon-nya dan duduk di hadapan mereka, lengan kemejanya ia gulung sampai siku, rambutnya yang berantakan malah membuat Icha jadi teringat semasa mereka bersekolah dulu.

Semuanya begitu menyenangkan, ia tidak berpikir bahwa masa-masa itu akan cepat sekali berakhir, Icha merasa kehidupannya benar-benar berubah karena sang waktu. Seperti roda yang berputar, Icha telah mengalami manis dan pahitnya kehidupan. Apalagi ketika melihat seseorang di hadapannya begitu sehat dan bugar, ia tak berhenti bersyukur karenanya.

Farzan yang sepuluh tahun lalu melakukan operasi kepala, akhirnya dapat hidup lagi dengan normal. Semuanya begitu tidak terduga, umur yang diperkirakan dokter tinggal satu tahun lagi tidak menjadi kenyataan karena Farzan masih bernapas hingga saat ini.

"Maaf ya nunggu lama, Sayang. Mau pesen apa? Aca makan es krim aja? Mau yang lain?" Tawar Farzan setelah pelayan mendatangi mereka dan memberikan dua buku menu.

Farzan membuka dan mencari menu andalannya. Namun titik fokusnya berubah ke arah wanita yang tiba-tiba meneteskan air mata, Icha segera menyeka air itu. "Maaf." Lirihnya, menyadari Farzan kini tengah beralih menatapnya.

"Kamu kenapa?" tanya Farzan khawatir. "Kamu nunggu terlalu lama?"

"Bunda kenapa?" kini Aca bertanya, membantu Icha menyeka air mata Bundanya.

Icha menggeleng, "nggak kenapa-napa, Sayang." Jawab Icha seraya tersenyum dan berdiri dari tempatnya. "Aku duluan, ya, Zan." Icha melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Farzan yang masih bingung dibuatnya.

Stupid Girl [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang